Pencetakan Surat Suara Pilgub Jabar Segera Rampung

Proses pencetakan surat suara untuk Pemilihan Gubernur Jabar 2018 telah mencapai 85 persen. Sebagian surat suara tersebut telah didistribusikan ke sejumlah KPU di tingkat kabupaten/kota di Jawa Barat.

Komisioner KPU Jabar Agus Rustandi menyatakan, surat suara yang dicetak untuk keperluan Pilgub Jabar mencapai 32.559 lembar. Saat ini proses pencetakan sudah mencapai 85 persen dan sebagiannya sudah didistribusikan. Agus juga mengatakan, sebelum tanggal 11 Juni seluruh surat suara sudah terkirim.

Menurut Agus, sejauh ini, ada beberapa daerah yang telah menerima distribusi surat suara mulai dari Kota Banjar, Kabupaten Ciamis, Kabupaten Pangandaran, Kabupaten dan Kota Tasikmalaya, Kabupaten dan Kota Cirebon, Kabupaten Garut, Kuningan, Kabupaten Bogor, Majalengka, Sumedang, Kota dan Kabupaten Bandung serta Kota Cimahi.

Agus juga memastikan proses distribusi surat suara bisa selesai sesuai jadwal. Selain itu pihaknya juga melakukan pengawasan secara ketat mulai dari saat pencetakan, pendistribusian dan pelipatan surat suara. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan. (Sumber: Detik)

Jelang Pemilu, Ratusan Ribu Warga Jateng Belum Miliki E-Ktp

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi Jawa Tengah mencatat 196.840 pemilih belum memiliki kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP). Padahal e-KTP merupakan syarat untuk memberikan hak suara dalam pemilihan kepala daerah atau pilkada Jawa Tengah 2018.
 
Menurut Ketua Bawaslu Provinsi Jawa Tengah, Fajar Subhi, dari sekitar 485 ribu calon pemilih yang tidak terdaftar dalam DPT (daftar pemilih tetap), 196.840 di antaranya belum memiliki e-KTP.
 
Dari hasil pengawasan selama sebulan sebelum waktu pemungutan suara pada 27 Juni 2018, jumlah terbanyak calon pemilih yang belum memiliki e-KTP berada di Kabupaten Tegal, yang mencapai 30.538 orang. Bahkan, di Kota Semarang, Bawaslu memperhitungkan masih ada sekitar 17.413 calon pemilih yang belum memiliki KTP.
Menurut Fajar, hal tersebut harus segera diselesaikan karena berkaitan dengan penyediaan surat suara. Fajar mengkhawatirkan, nantinya akan terjadi pemilih tanpa surat suara di beberapa daerah. Fajar menambahkan, proses penyiapan logistik, sudah memasuki proses pelipatan kertas suara. 
Fajar memperhitungkan jumlah surat suara yang dicetak sendiri mencapai 27,79 juta lembar. Perhitungan ini sudah termasuk tambahan 2,5 persen untuk mengantisipasi surat suara yang rusak dalam pilkada Jawa Tengah 2018. (Sumber: Tempo)

KPU Wajibkan Caleg Gunakan Silon Untuk Mendaftar

Komisi Pemilihan Umum (KPU) mewajibkan kepada seluruh peserta pemilu 2019, baik itu partai politik (parpol) untuk DPR dan DPRD maupun perseorangan untuk DPD, untuk menggunakan Sistem Informasi Pencalonan (Silon) dalam proses pendaftaran dan verifikasi pencalonan Pemilu 2019 di KPU sesuai tingkatannya.
 
Hal tersebut disampaikan Ketua KPU RI Arief Budiman dalam acara Bimbingan Teknis (Bimtek) Penggunaaan Aplikasi Silon dalam Pemilu 2019. Bimtek yang dilaksanakan empat gelombang ini diikuti oleh operator dari KPU kabupaten/kota dan kabag/kasubbag teknisnya.
 
Arief mengatakan bahwa penggunaan Silon wajib karena KPU tidak mungkin memeriksa ratusan ribu nama calon. Bisa saja terdapat calon yang mendaftar di Sumatera, tetapi juga mendaftar di Papua, bahkan bisa juga mendaftar di lebih dari satu parpol. Untuk itu, KPU menggunakan aplikasi Silon untuk verifikasi.
 
Arief juga menuturkan, pada Pemilu 2019 nanti jumlah daerah pemilihan (dapil) sebanyak 272 dapil, sedangkan jumlah kursi yang diperebutkan sebanyak 20.392 kursi, yang terdiri dari 575 kursi di DPR RI, 2.207 kursi di DPRD Provinsi, dan 17.610 kursi di DPRD Kabupaten/Kota.
  
Untuk itu, Arief berharap seluruh operator KPU bekerja cermat serta tidak salah dalam input data, terutama nama dan Nomor Induk Kependudukan (NIK), mengingat kedua hal tersebut yang dapat mengecek nama-nama calon itu tidak terdaftar di parpol lain, atau terdaftar di lebih dari satu daerah. (Sumber: KPU)
 
 

KPU Wajibkan Caleg Gunakan Silon Untuk Mendaftar

Komisi Pemilihan Umum (KPU) mewajibkan kepada seluruh peserta pemilu 2019, baik itu partai politik (parpol) untuk DPR dan DPRD maupun perseorangan untuk DPD, untuk menggunakan Sistem Informasi Pencalonan (Silon) dalam proses pendaftaran dan verifikasi pencalonan Pemilu 2019 di KPU sesuai tingkatannya.
 
Hal tersebut disampaikan Ketua KPU RI Arief Budiman dalam acara Bimbingan Teknis (Bimtek) Penggunaaan Aplikasi Silon dalam Pemilu 2019. Bimtek yang dilaksanakan empat gelombang ini diikuti oleh operator dari KPU kabupaten/kota dan kabag/kasubbag teknisnya.
 
Arief mengatakan bahwa penggunaan Silon wajib karena KPU tidak mungkin memeriksa ratusan ribu nama calon. Bisa saja terdapat calon yang mendaftar di Sumatera, tetapi juga mendaftar di Papua, bahkan bisa juga mendaftar di lebih dari satu parpol. Untuk itu, KPU menggunakan aplikasi Silon untuk verifikasi.
 
Arief juga menuturkan, pada Pemilu 2019 nanti jumlah daerah pemilihan (dapil) sebanyak 272 dapil, sedangkan jumlah kursi yang diperebutkan sebanyak 20.392 kursi, yang terdiri dari 575 kursi di DPR RI, 2.207 kursi di DPRD Provinsi, dan 17.610 kursi di DPRD Kabupaten/Kota.
  
Untuk itu, Arief berharap seluruh operator KPU bekerja cermat serta tidak salah dalam input data, terutama nama dan Nomor Induk Kependudukan (NIK), mengingat kedua hal tersebut yang dapat mengecek nama-nama calon itu tidak terdaftar di parpol lain, atau terdaftar di lebih dari satu daerah. (Sumber: KPU)
 
 

KPU Pertahankan Aturan Eks Narapidana Dilarang Nyaleg

Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan mengatakan lembaganya bakal menyerahkan rancangan peraturan KPU tentang pencalonan legislator ke Kementerian Hukum dan HAM pada Senin pekan depan. KPU menyatakan bakal tetap memasukan aturan larangan mantan narapidana korupsi menjadi calon legislator (caleg) di PKPU tersebut.
Menurut Wahyu, KPU mempertahankan aturan larangan mantan narapidana korupsi menjadi caleg karena berpijak pada PKPU tentang pencalonan Dewan Perwakilan Daerah yang telah lolos dalam pembahasan di DPR.
Dalam UU Pemilu, ucap Wahyu, memang tidak melarang mantan narapidana korupsi menjadi caleg. Adapun larangan mantan narapidana hanya terdapat di Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada. (Sumber: Tempo)

Setelah 2 Tahun, DPR Sahkan RUU Antiterorisme

Jakarta, 25 Mei 2018 – Revisi Undang-Undang Nomor 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme akhirnya akan disahkan pagi ini. Setelah alot dibahas selama sekitar 2 tahun, DPR dan Pemerintah akhirnya menyepakati keseluruhan isi RUU itu.

Rapat paripurna akan digelar di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (25/5/2018). Rapat dapat digelar setelah DPR-Pemerintahan mencapai kata mufakat dalam rapat kerja membahas definisi terorisme dalam RUU Antiterorisme tersebut.

RUU Antiterorisme sendiri mulai dikebut kembali pembahasannya di pertengahan Mei 2018. Setelah serangkaian aksi teror yang belakangan terjadi di RI, desakan agar revisi UU itu segera diselesaikan makin kencang.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo meminta agar RUU Antiterorisme segera diselesaikan. Bahkan, Presiden Joko Widodo juga sempat menyatakan akan mengeluarkan perppu, jika pada sampai bulan Juni mendatang RUU Antiterorisme belum juga diselesaikan. (Sumber: Detik)

Bupati Buton Selatan Terjaring OTT KPK

Tim Satuan Tugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Bupati Buton Selatan Agus Feisal Hidayat dan sembilan orang lainnya dalam operasi tangkap tangan (OTT) pada Rabu (23/5/2018) Malam.
Agus dan sembilan orang lainnya dibekuk lantaran melakukan suap terkait proyek di lingkungan Pemerintahan Kabupaten Buton Selatan.
Tak hanya mengamankan, dalam operasi kali ini, tim Satgas KPK juga menyita uang tunai sebesar Rp 400 juta yang diduga merupakan barang bukti suap. Diduga, uang tersebut digunakan untuk suap yang melibatkan Agus terkait dengan Pilkada Sulawesi Tenggara (Sultra).
Agus diketahui merupakan anak dari mantan Bupati Buton, Sjafei Kahar yang saat ini maju sebagai calon Wakil Gubernur Sulawesi Tenggara, mendampingi mantan Bupati Kolaka Utara, Rusda Mahmud.
Dugaan adanya keterkaitan antara suap yang melibatkan Agus dengan Pilkada Sultra ini mencuat karena salah satu pihak yang diringkus tim Satgas KPK merupakan konsultan dari lembaga survei. Selain konsultan lembaga survei, tim Satgas KPK juga turut mengamankan pegawai negeri sipil dan pihak swasta.
Meski demikian, Juru Bicara KPK, Febri Diansyah menyatakan masih belum dapat memastikan adanya kaitan antara suap yang melibatkan Agus Feisal ini dengan pencalonan sang ayah di Pilgub Sultra. (Sumber: Suara)

Cegah Kasus “#2019GantiPresiden” Terulang, KPU Jabar Kumpulkan Paslon

KPU Jabar menggelar rapat koordinasi dengan semua pasangan calon peserta Pilgub Jabar untuk mengantisipasi terulangnya kembali aksi pamer kaus ‘2019 Ganti Presiden’. KPU Jabar menggelar rapat koordinasi dengan semua pasangan calon peserta Pilgub Jabar. Rapat tersebut membahas terkait persiapan debat publik terakhir yang bakal digelar pada 22 Juni mendatang.

Calon wakil gubernur Jabar, Anton Charliyan meminta agar debat terakhir nanti betul-betul dipersiapkan secara matang. Dia mencatat ada beberapa hal yang dinilai perlu menjadi bahan evaluasi bagi KPU Jabar. Anton meminta agar tema debat publik itu tidak keluar dari konteks yang ada.

Sementara calon wakil gubernur Jabar Ahmad Syaikhu meminta agar ada aturan jelas mengenai tata cara pelaksanaan debat. Sehingga tidak ada multy tapsir aturan dari masing-masing kandidat atau pihak lainnya. Syaikhu juga berharap agar penyiapan tema bisa disosialisasikan jauh sebelum debat dilaksakanan.

Ketua KPU Jabar Yayat Hidayat menyatakan akan menampung semua masukan dari pasangan calon. Pihaknya akan melakukan banyak perbaikan agar debat pilgub terakhir bisa berjalan lancar dan berkualitas. (Sumber: Detik)

Jokowi Tunjuk Ali Mochtar Ngabalin Jadi Staf Khusus Kepresidenan

Jakarta, 23 Mei 2018 – Presiden Joko Widodo  mengangkat politikus Partai Golkar Ali Mocthar Ngabalin sebagai staf khusus Presiden. Ngabalin bersama lima penjabat eselon I lainnya telah bertemu dengan Jokowi di Istana Negara kemarin( Selasa, 22 Mei 2018).

“Kami keenam pejabat eselon I yang terdiri dari staf khusus Presiden dan Staf Kantor Kepresidenan di lingkungan Istana telah di terima secara resmi oleh bapak Presiden,” ungkap Ngabalin dalam keterangan tertulisnya.

Ngabalin yang dikenal juga sebagai mubaligh itu pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 2004-2009. Saat itu dia masih menjadi kader Partai Bulan Bintang, sebelum memutuskan pindah ke Golkar pada 2011. Tahun lalu dia pun sempat masuk bursa calon ketua umum partai Golkar menggantikan Setya Novanto.

Beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi juga menambah empat orang staf khusus untuk menangani berbagai persoalan yang terjadi. Mereka adalah Abdul Ghofar Rozin, staf khusus Presiden di bidang keagamaan domestik; Siti Dhzu Hayatin, staf khusus bidang keagamaan internasional; Adita Irawati, staf khusus bidang komunikasi; dan Ahmad Erani, staf khusus bidang ekonomi. (sumber: tempo.co )

KPU Tetap Larang Mantan Napi Korupsi Jadi Caleg Pada Pemilu 2019

Jakarta, 23 Mei 2018 – Komisi Pemilihan Umum ( KPU) tetap melarang mantan napi kasus korupsi untuk ikut dalam Pemilihan Legislatif 2019.  Komisioner KPU Viryan Aziz mengatakan KPU tetap berpegang pada rancangan Peraturan KPU yang melarang mantan narapidana kasus korupsi untuk ikut berpartisipasi dalam Pemilihan Legislatif 2019. Hal itu menyikapi kesimpulan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi II DPR dengan KPU di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (22/5/2018) kemarin.

“KPU tetap pada draf peraturan yang sudah dibuat. Kami tetap melarang mantan napi korupsi jadi caleg,” ujar Aziz saat dikonfirmasi kompas.com, Rabu (23/5/2018).

Sebelumnya Wakil Ketua Komisi II Nihayatul Mafiroh membacakan kesimpulan RDP bahwa Komisi II DPR, Bawaslu, Kemendagri menyepakati aturan larangan mantan napi korupsi dikembalikan peraturannya pada pasal 240 ayat 1 huruf g Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Ketua Komisi II Zainudin Amali menambahkan, DPR beserta Pemerintah dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga telah bersepakat agar KPU berpedoman pada Undang-Undang Pemilu.

Dalam Pasal 240 Ayat 1 huruf g, dinyatakan, seorang mantan narapidana yang telah menjalani masa hukuman selama lima tahun atau lebih, boleh mencalonkan diri selama yang bersangkutan mengumumkan kepada publik secara jujur dan terbuka bahwa dirinya pernah berstatus sebagai narapidana. Dengan demikian mantan narapidana korupsi pun bisa mencalonkan diri sebagai caleg. “Saya kira kan kesimpulan rapat sudah jelas. Bolanya sekarang ada di KPU,” kata Amali.

(sumber: kompas.com)