Lembaga Survei KedaiKOPI terdaftar pada KPU untuk Pemilihan Umum 2019

Pada tanggal 18 Oktober 2018 lalu, Lembaga Survei KedaiKOPI resmi terdaftar di Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mengikuti kegiatan pemilihan umum (pemilu) di tahun 2019 mendatang. Sesuai dengan Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2018 bahwa tiap Lembaga Survei harus terdaftar secara resmi di KPU untuk melakukan pemantauan pemilu. Hal itu menjadi bagian dari upaya KPU dalam melakukan pengawasan terhadap kinerja lembaga survei selama Pemilu 2019 berlangsung. Untuk terdaftar di KPU, lembaga survei harus memenuhi beberapa syarat antara lain:

  1. Memiliki akte pendirian/badan hukum lembaga
  2. Susunan kepengurusan
  3. Surat keterangan domisili dari kelurahan/pemerintahan desa atau instansi pemerintahan setempat
  4. Pas foto berwarna lembaga 4×6 empat lembar
  5. Menandatangani surat pernyataan menjamin bahwa para lembaga survei tidak melakukan keberpihakan yang menguntungkan atau merugikan peserta pemilu.

Terdaftarnya lembaga survei di KPU ditujukan untuk mendorong terwujudnya suasana kondusif bagi penyelenggaraan pemilu yang aman, damai, tertib, dan lancar.

 

Acuan Moral yang Mempengaruhi Cara Pemilih Memberikan Suara

Jonathan Haidt, seorang Profesor dari New York University melakukan sebuah penelitian mengenai nilai moral yang tertanam di pikiran masyarakat. Moral pada dasarnya telah terkonstruksi sejak seorang individu itu lahir, dan dibentuk oleh faktor lingkungan dan budaya. Menurut Haidt, setidaknya terdapat lima nilai moral yang ada di pikiran masyarakat, yakni diantaranya adalah:

1.Care – harm: kebaikan, kelembutan, pemeliharaan
2.Fairness – cheating: keadilan, hak, dan otonomi
3.Loyalty – betrayal: patriotisme dan pengorbanan terhadap kelompok
4.Authority – subversion: kepemimpinan, termasuk menghormati otoritas yang sah dan tradisi
5.Sanctity – degradation: gagasan-gagasan keagamaan atau religiusitas.

Lima nilai moral ini kemudian yang membentuk persepsi individu dalam memberikan suara di pemilihan umum. Setiap individu memiliki prioritas yang berbeda terhadap kelima nilai moral tersebut. Ini yang kemudian menjadikan pilihan atau suara individu di pemilihan umum berbeda-beda.

Penelitian ini dilakukan tidak hanya di Amerika Serikat, namun juga dilakukan di beberapa negara lainnya yakni Kanada, Inggris, Eropa Barat, Eropa Timur, Australia, Amerika Latin, Asia Timur, serta Asia Selatan. Di beberapa negara tersebut, ditemukan pola yang sama mengenai prioritas nilai moral di masyarakat.

Temuan dari penelitian ini adalah setidaknya terdapat dua pola arus ideologi yang sama di masyarakat dalam hal memberikan prioritas terhadap lima nilai moral di atas yakni liberal dan konservatif. Kelompok liberal cenderung untuk memberikan perhatian atau prioritas lebih terhadap nilai moral care – harm dan fairness – cheating. Ini disebabkan karena kelompok liberal menolak dan melawan ketidaksetaraan serta eksploitasi. Sedangkan untuk kelompok konservatif, lebih memprioritaskan nilai moral loyalty – betrayal, authority – subversion, serta sanctity – degradation. Realisasi dari ketiga nilai moral tersebut adalah menjadi anggota yang baik dalam sebuah kelompok serta menjadi pendukung bagi tatanan sosial dan tradisi yang telah melekat di masyarakat.

Masyarakat kemudian akan memilih kandidat di dalam pemilihan umum yang dinilai atau dipersepsi sesuai dengan moral yang dianut.

Sumber:
The Guardian

Hari Santri Nasional

Hari Santri Nasional ditetapkan berdasarkan Keppres No. 22 tahun 2015. Ini adalah sebuah bentuk penghargaan pemerintah terhadap peran para santri dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

 

Jika menelusuri dari sejarah, tanggal 22 Oktober bertepatan dengan deklarasi Resolusi Jihad yang dilakukan oleh pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim Asy’ari di Surabaya tahun 1945. Di tanggal tersebut, K.H. Hasjim Asy’ari menyerukan untuk berjuang mencegah tentara Belanda kembali menguasai Indonesia melalui Netherlands Indies Civil Administration (NICA).

 

Dalam deklarasi tersebut, KH Hasyim Asy’ari menyerukan bahwa merupakan suatu kewajiban bagi setiap Muslim untuk membela tanah air dari penjajah. Seruan jihad tersebut kemudian membakar semangat para santri di kawasan Surabaya dan sekitarnya.

 

Para santri tersebut kemudian bergabung dengan tentara Indonesia untuk menyerang markas Brigade 49 Mahratta yang dipimpin Brigadir Jenderal Aulbertin Walter Sothern Mallaby. Selama tiga hari berturut-turut dari tanggal 27 Oktober hingga 29 Oktober 1945 serangan tersebut berlangsung hingga pada keesokan harinya pada 30 Oktober 1945 yang akhirnya menewaskan Jenderal Mallaby. Kematian Mallaby kemudian menjadi latar belakang pertempuran 10 November 1945 di Surabaya yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional.

 

Sumber: Tribun News

Religiusitas Masih Menjadi Faktor Pertimbangan Utama dalam Pemilihan Umum

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Scott Clifford dari University of Houston Department of Political Science dan Benjamin Gaskins dari Lewis & Clark College menemukan bahwa peserta pemilu yang tampil religius dinilai lebih baik dan lebih terpercaya. Identifikasi religiusitas peserta pemilu mencerminkan adanya bias yang kuat dan menyebar namun tidak disadari secara langsung oleh masyarakat Amerika Serikat dibandingkan dengan peserta pemilu non-religius.

 

Penelitian ini berdasarkan data dari survei nasional menunjukkan tantangan-tantangan yang dihadapi peserta pemilu non religius dalam merebut kursi kemenangan. Peserta pemilu yang non-religius tentu lebih sulit dan menghadapi tantangan yang lebih besar dibandingkan peserta pemilu yang religius di Amerika Serikat. Peserta pemilu yang terlihat religius oleh pemilih meningkatkan tingkat kepercayaan yang lebih tinggi.

 

Hal ini kemudian tidak jauh berbeda jika kita berkaca di pemilu Indonesia. Tokoh yang dinilai religius akan mendapatkan perhatian dan kepercayaan yang lebih tinggi oleh masyarakat dibandingkan tokoh yang non-religius. Lembaga Survei KedaiKOPI telah melakukan survei nasional pada bulan Maret 2018 lalu di 34 Provinsi mengenai faktor pertimbangan pemimpin yang akan dipilih masyarakat pada kontestasi pemilu.

 

Pada survei dengan Margin Of Error (MOE) +/- 2,97%, ditemukan bahwa salah satu faktor pertimbangan masyarakat dalam memilih calon presiden / calon wakil presiden adalah agama (10,0%) yang menempati posisi kedua. Sedangkan lainnya adalah dapat bekerja sama dengan presiden (11,5%), merakyat (8,3%), pintar (7,4%), jujur (7,1%), tegas (4,2%), kinerja (3,5%), berpengalaman (3,1%), anti korupsi (2,7%), baik (2,6%), kerja keras (2,4%), program kerja (2,2%), visi sama dengan presiden (2,1%), usia (1,9%), bisa bekerjasama (1,9%), latar belakang (1,5%), dikenal (1,4%), kemampuan (1,4%), militer (1,2%), tokoh (1,2%), sukses bijaksana (1,1%), lainnya (10,4%).

 

Selain itu survei ini juga menemukan bahwa salah satu latar belakang presiden yang diinginkan oleh masyarakat adalah sosok yang memiliki latar belakang agama yakni seorang ulama ((8,6%), menempati posisi ke-empat. Sedangkan latar belakang presiden yang diinginkan lainnya adalah militer (35,5%), pemimpin daerah (18,3%), pengusaha (9,5%), akademisi (7,9%), birokrat (4,9%), petinggi parpol (4,3%), pemuka adat (0,4%), dokter (0,3%), lainnya (10,3%).

Mengapa Dunia Menjadi Lebih Baik Jika Anak Perempuan Bersekolah?

Pada Juli 2018 lalu, World Bank merilis laporan yang menunjukkan bahwa penghasilan perempuan dapat meningkat hingga mencapai 30 triliun USD, jika perempuan mendapatkan pendidikan yang gratis, aman, dan berkualitas. Ini berarti bahwa pendidikan perempuan membawa keuntungan yang signifikan bagi ekonomi global.

 

Penelitian oleh McKinsey di tahun 2015 menemukan bahwa dengan mengeliminasi kesenjangan gender di masyarakat dapat meningkatkan pertumbuhan global setidaknya 12 triliun USD per tahun. Keuntungan lainnya terhadap kesetaraan gender adalah tercapainya kinerja bisnis yang kuat, berkurangnya ketidaksetaraan pendapatan, dan meningkatnya daya saing nasional.

 

Namun pada kenyataannya, hampir satu miliar perempuan di dunia memiliki keterbatasan kemampuan dan akses untuk bersaing di pasar tenaga kerja. Mayoritas dari perempuan yang dimaksud dalam konteks ini adalah perempuan yang tinggal di negara berpenghasilan rendah dan menengah, dimana negara tersebut memiliki angka pengangguran yang tinggi, kemiskinan, dan insekuritas.

 

Revolusi industri yang ke-4 (4IR) dan kemunculan digitalisasi, “big data”, otomatisasi, robot dan kecerdasan buatan (artificial intelligence) mentransformasi gaya hidup masyarakat, Akan ada banyak pekerjaan baru yang membutuhkan kemampuan menguasai teknologi, dan pekerjaan administrasi, buruh pabrik, lambat laun akan tergantikan oleh teknologi.

 

Salah satu agenda pertemuan Kelompok 20 ekonomi utama (G20) tahun 2018 pada bulan November mendatang di Bueno Aires, Argentina adalah membentuk suatu kesempatan baru untuk mengatasi isu di atas. Argentina telah memasukan tema “Future of Work” dan membentuk G20 Education Working Group pertama yang berfungsi untuk mengurus persoalan pembiayaan pendidikan, pekerjaan, serta keahlian lainnya di kehidupan sehari-hari.

 

G20 ini sendiri merepresentasikan sekitar 90% PDB global, meliputi negara maju dan berkembang. G20 termasuk negara-negara rumah bagi sepertiga anak perempuan yang tidak sekolah. Dengan agenda G20 di atas, diharapkan isu mengenai kesetaraan gender ini dapat diatasi setidaknya dimulai dari 20 negara anggota G20 tersebut.

 

Jika masyarakat sipil mengambil langkah fundamental untuk menjamin 12 tahun pendidikan bagi setiap perempuan, setiap komunitas akan mendapatkan manfaat, setiap sektor akan berkembang, dan ekonomi akan tumbuh.

 

Sumber:

Full Force: Why The World Works Better When Girls Go to School (Malala Fund)

 

Apa yang Indonesia Butuhkan untuk Membangun Ekonomi dengan Ilmu Pengetahuan?

Di era modern dewasa ini, terdapat pergeseran industrial economy menjadi knowledge economy, dimana basis utama dari faktor pendorong pertumbuhan ekonomi bukan dilihat dari produksi melainkan dari penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Faktor penyebab pergeseran industrial ini adalah ditemukannya internet serta World Wide Web. Knowledge economy menempatkan ilmu pengetahuan sebagai inti dari proses pembangunan.

Menurut Bank Dunia, knowledge economy (Ekonomi dengan Ilmu Pengetahuan) yang sukses dibangun dari kebijakan publik yang mendukung sains dan teknologi, riset, inovasi, pendidikan, dan pembelajaran sepanjang masa.

Bagi negara berpenghasilan menengah seperti Indonesia, pemerintah harus mempertimbangkan dan memutuskan berbagai kebijakan yang penting untuk meninggalkan ekspor dan perindustrian yang tidak berkelanjutan menuju ekonomi berbasis pengetahuan. Salah satu contoh industri yang tidak berkelanjutan adalah industri ekstraktif.

Lalu bagaimana kondisi ekonomi berbasis ilmu pengetahuan di Indonesia dan tantangan apa saja yang dihadapi oleh Indonesia pada ekonomi berbasis ilmu pengetahuan tersebut? Berikut artikel selengkapnya:

Apa yang Indonesia butuhkan untuk membangun ekonomi dengan ilmu pengetahuan?

File 20181007 72130 10ewu61.jpg?ixlib=rb 1.1
Di dunia yang didorong oleh teknologi, kecepatan dari penciptaan dan diseminasi ilmu pengetahuan membuatnya semakin penting untuk pertumbuhan ekonomi dibandingkan lima puluh tahun yang lalu.
www.shutterstock.com

Arnaldo Pellini, University of Tampere

Bagi negara berpenghasilan menengah seperti Indonesia, pemerintah harus mempertimbangkan dan memutuskan berbagai kebijakan yang penting untuk meninggalkan ekspor dan perindustrian yang tidak berkelanjutan menuju ekonomi berbasis pengetahuan. Contoh industri yang tidak berkelanjutan adalah industri ekstratif.

Ekonomi berbasis pengetahuan, atau knowledge economy, didasarkan atas produksi, diseminasi dan penggunaan ilmu pengetahuan untuk meningkatkan pertumbuhan dan pembangunan. Teori sumberdaya manusia, atau juga dikenal sebagai human capital theory, menempatkan ilmu pengetahuan sebagai inti dari proses pembangunan selama tahun 1960an. Kini, di dunia yang didorong oleh teknologi, kecepatan dari penciptaan dan diseminasi ilmu pengetahuan membuatnya semakin penting untuk pertumbuhan ekonomi dibandingkan lima puluh tahun yang lalu.

Menurut Bank Dunia, knowledge economy yang sukses dibangun dari kebijakan publik yang mendukung sains dan teknologi, riset, inovasi, pendidikan, dan pembelajaran sepanjang masa.

Hal-hal ini juga menjadi landasan dari sistem ilmu pengetahuan yang menghasilkan bukti-bukti dan riset dibutuhkan untuk membuat keputusan kebijakan, serta landasan pembuatan anggaran yang dirancang untuk memperkuat ekonomi berbasis ilmu pengetahuan.

Di Indonesia dan negara-negara berpenghasilan menengah yang lain, para pembuat kebijakan menghadapi berbagai kesulitan untuk membangun sistem dan kemampuan berbasis pengetahuan ini. Terdapat ketiadaan keinginan politik untuk menyokong riset sains dan teknologi. Kebanyakan pegawai negeri juga tidak terlatih untuk mengembangkan kebijakan berbasis bukti. Pada saat yang bersamaan, ada keterbatasan juga dalam kerangka regulasi.

Pada saat yang sama, program bantuan pembangunan internasional cenderung fokus terhadap peningkatan kapasitas think tank atau organisasi riset kebijakan untuk menghasilkan riset daripada perbaikan kemampuan badan-badan pemerintah untuk menggunakan ilmu pengetahuan dalam penyusunan kebijakan.

Saya adalah co-editor dan salah satu penulis dari Knowledge, Politics, and Policy Making in Indonesia. Salah satu poin yang kami buat di buku tersebut adalah bahwa ilmu pengetahuan yang dihasilkan dan dibagikan oleh think tank atau organisasi riset (baik swasta maupun publik) memang penting namun tidak cukup dalam penyusunan kebijakan yang dapat meningkatkan potensi sosio-ekonomi Indonesia. Kemampuan yang kuat untuk menggunakan ilmu pengetahuan juga sama pentingnya.

Penelitian kami telah menunjukan bahwa sektor publik Indonesia harus mengatasi beberapa tantangan.

Tenaga kerja sektor publik

Data dari Komisi Aparatur Sipil Negara menunjukkan bahwa pada tahun 2016 hanya sekitar 6% dari 4,5 juta aparatur sipil negara—termasuk 1,7 juta guru dan tenaga kerja kesehatan serta peran-peran teknis lain—berpendidikan S2, sedangkan hanya 0,3% memiliki gelar doktor.

Meskipun beberapa kementerian memiliki konsentrasi personil berpendidikan tinggi yang cukup banyak (contohnya adalah Kementerian Pendidikan dan Budaya, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian), namun secara keseluruhan terdapat kesenjangan keahlian riset antara aparatur sipil negara. Hal tersebut membuat berbagai badan pemerintahan dan administrasi kesulitan untuk secara mandiri mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan penelitian yang mereka butuhkan untuk menyokong pembuatan kebijakan serta untuk mengevaluasi kualitas riset dan penelitian yang telah mereka minta.

Proses pembuatan kebijakan yang terstruktur

Di Indonesia, dua proses penyusunan kebijakan nasional yang utama adalah perencanaan pembangunan jangka pendek dan panjang serta perancangan peraturan perundang-undangan.

Semua perencanaan pembangunan adalah tanggung jawab Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Secara umum, proses perencanaan yang sangat ketat dan terstruktur.

Para staf Bappenas menggunakan kajian latar belakang yang dibuat secara internal atau ditugaskan kepada pihak eksternal untuk menyediakan informasi yang dibutuhkan proses perencanaan pembangunan. Namun dana yang disediakan untuk kajian-kajian tersebut sangat terbatas dan harus digunakan dalam satu tahun anggaran untuk jumlah penelitian tertentu yang tidak bisa diubah. Karena kekakuan regulasi tersebut, badan-badan pemerintah tersebut bergantung pada donor internasional untuk mendanai penelitian-penelitian yang tidak bisa mereka dapatkan sendiri karena ketiadaan fleksibilitas anggaran.

Bentuk riset yang telah ditentukan

Dalam lingkup peraturan perundang-undangan, menurut Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dalam pembentukan peraturan dan regulasi wajib ada naskah akademik untuk tiap proses formulasi kebijakan. Naskah-naskah tersebut mengikuti format spesifik yang menjelaskan kebutuhan hukum dari permasalahan yang disorot, latar belakang teoretis dan empiris serta analisis peraturan perundang-undangan yang ada. Sebaliknya, regulasi yang ada tidak menaruh penekanan yang cukup pada penelitian yang menilai program dan kebijakan perkembangan mana yang efektif, mana yang tidak serta mengapa.

Lebih banyak pengetahuan atau lebih pintar menggunakan pengetahuan?

Indonesia telah menoreh prestasi yang penting dalam pengentasan kemiskinan dengan mengurangi jumlahnya lebih dari setengahnya dari posisi tahun 1999 menjadi 10,9% pada tahun 2016. Perekonomian Indonesia diprediksi akan menjadi terbesar keempat di dunia pada tahun 2045. Pemerintah sedang merancang strategi-strategi untuk bergerak menuju pembangunan ilmu pengetahuan dan inovasi sebagai pilar perkembangan ekonomi.

Dalam waktu dekat ini, badan-badan pemerintahan kemungkinan besar akan dibanjiri data, riset dan analisis dari program dan proyek pembangunan serta organisasi multilateral. Terlebih lagi, inovasi data secara eksponensial telah meningkatkan jumlah data dan analisis yang dapat dihasilkan oleh badan pemerintahan melalui teknologi digital.

Kemampuan untuk mengidentifikasi dan mendapatkan ilmu pengetahuan yang dibutuhkan pada saat yang tepat dengan kualitas yang sesuai sangat penting bagi pembuat kebijakan masa kini dan masa depan. Kemampuan tersebut akan semakin bertambah penting seiring dengan berkembangnya negara-negara berpenghasilan menengah seperti Indonesia menjadi ekonomi berbasis pengetahuan dan memasuki Revolusi Industri Keempat.The Conversation

Arnaldo Pellini, Member of EduKnow Research Group at the University of Tampere (Finland), University of Tampere

Sumber asli artikel ini dari The Conversation. Baca artikel sumber.

 

Plastik Mikro Masuk ke Dalam Tubuh Anda dengan Cara yang Tidak Terbayangkan

Dewasa ini, semakin banyak aktivis yang berperang untuk melawan pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh sampah plastik. Tidak hanya mencemari lingkungan, sampah plastik ini diketahui juga membahayakan hewan-hewan laut seperti penyu, paus, dan hewan laut lainnya. Cukup banyak hewan-hewan laut yang ditemukan mati karena mengkonsumsi sampah plastik.

Sampah plastik yang dikonsumsi oleh hewan-hewan laut ini adalah plastik mikro yang berdiameter antara 5 milimeter hingga 100 nanometer.

Peneliti kemudian menemukan bahwa sampah plastik ini juga rentan untuk dikonsumsi secara tidak sengaja oleh manusia. Ini disebabkan karena plastik mikro tersebut mengkontaminasi rantai makanan.

Plastik mikro yang secara tidak sengaja akan masuk ke dalam tubuh kita ini berasal dari dua sumber, yakni laut dan non laut. Jika dari laut, plastik mikro berasal dari ikan, kerang, serta garam laut. Sedangkan dari non laut, plastik mikro dapat berasal dari ampela ayam, madu, bir, serta air minum dalam botol.

Berikut artikel selengkapnya:

Anda memakan plastik mikro dalam cara yang tak terbayangkan

File 20180719 142420 198ymd2.jpg?ixlib=rb 1.1
Kita mungkin makan mikroplastik dari air di botol plastik, ayam, bahkan debu!
shutterstock

Christina Thiele, University of Southampton dan Malcolm David Hudson, University of Southampton

Kita semakin sadar bagaimana plastik mengotori lingkungan hidup kita. Perhatian akhir-akhir ini tertuju pada bagaimana plastik mikro, yang berdiameter antara 5 milimeter hingga 100 nanometer, memenuhi lautan da masuk ke dalam makhluk-makhluk yang hidup di dalamnya. Itu berarti plastik mikro telah memasuki rantai makanan, dan pada akhirnya, tubuh kita.

Namun ikan dan kerang bukanlah satu-satunya sumber makanan kita yang mengandung plastik mikro. Dan bahkan, nyatanya sumber-sumber lain yang tidak berasal dari lautan bisa jadi lebih mengkhawatirkan.

Sebagian kerang yang dikonsumsi di Eropa bisa mengandung sekitar 90 plastik mikro. Konsumsi kerang cenderung sangat beragam antarnegara dan antargenerasi, namun penggemar berat kerang mungkin bisa memakan hingga 11.000 plastik mikro dalam setahun.

Sulit untuk mengetahui secara pasti berapa banyak plastik mikro yang mungkin kita konsumsi dari ikan. Kebanyakan penelitian hingga saat ini hanya menganalisis lambung dan isi perut dari organisme ini, yang biasanya dibuang jika akan dikonsumsi. Namun sebuah studi menemukan plastik mikro dalam hati ikan, mengisyaratkan bahwa partikel bisa melewati jaringan pencernaan dan masuk ke organ tubuh lain.

Plastik mikro juga ditemukan dalam ikan kalengan. Jumlah yang teridentifkasi rendah, sehingga rata-rata konsumen mungkin hanya akan mengkonsumsi hingga 5 plastik mikro dalam satu porsi ikan yang disajikan seperti ini. Partikel yang ditemukan juga mungkin berasal dari proses pengalengan atau dari udara.

Bahan makanan dari laut lain yang menjadi sumber plastik mikro adalah garam laut. Satu kilogramnya bisa mengandung lebih dari 600 plastik mikro. Jika anda memakan garam sesuai batas maksimum konsumsi harian sebesar 5 gram, maka hal itu menunjukan bahwa anda setidaknya mengonsumsi tiga plastik mikro sehari (meski banyak orang yang memakan lauh lebih banyak dari jumlah yang disarankan).

Meski begitu, penelitian lain menemukan kadar plastik mikro yang berbeda-beda pada garam laut, kemungkinan karena perbedaan cara ekstrasi. Hal ini merupakan masalah yang tersebar dalam penelitian mengenai plastik mikro, sehingga sulit atau bahkan tidak mungkin untuk membandingkan penelitian satu dengan yang lainnya. Contohnya, sebuah studi tampak hanya fokus pada mikrofiber (serat-serat mikro dari bahan buatan seperti poliester) sedangkan studi lainnya hanya mencari plastik mikro yang lebih besar dari 200 mikrometer.

Penelitian mengenai garam yang disinggung di atas tidak berusaha untuk mengambil dan menghitung seluruh plasik mikro dari sampel garam laut yang ada, melainkan memperkirakan jumlahnya berdasarkan proporsi partikel yang ditemukan. Ini berarti penelitian tersebut mungkin menunjukkan bahwa dalam 1 kilogram garam mengandung 600 plastik mikro, namun jumlah aslinya bisa jauh lebih tinggi.

Sumber non-laut

Kendati temuan-temuan di atas, penelitian lain menunjukan bahwa terdapat jauh lebih banyak plastik mikro dalam sumber makanan kita yang tidak berasal dari laut. Hewan darat juga memakan plastik mikro, meskipun tetap sama seperti pada ikan, kita cenderung tidak memakan organ-organ pencernaannya. Terdapat data yang terbatas mengenai sisi ini dari industri makanan, tapi sebuah studi tentang ayam yang diternakkan di kebun di Meksiko menemukan rata-rata terdapat 10 plastik mikro per empedal ayam, salah satu makanan lezat di beberapa bagian dunia.

Ilmuwan juga menemukan plastik mikro
pada madu dan bir. Kita mungkin menelan sepuluh plastik mikro per satu botol bir.

Terdapat hingga 241 plastik mikro per liter dalam air dalam kemasan.
Shutterstock

Mungkin sumber plastik mikro terbesar yang kita konsumsi adalah air minum dalam botol. Ketika peneliti memeriksa berbagai jenis gelas dan plastik botol air, mereka menemukan plastik mikro pada sebagian besarnya. Air minum botolan sekali pakai mengandung antara dua hingga 44 plastik mikro per liter, sedangkan botol yang dapat dikembalikan (didesain untuk dikumpulkan di bawah skema deposit) mengandung antara 28 dan 241 plastik mikro per liter. Plastik mikro berasal dari kemasannya, hal ini berarti kita mungkin terpapar lebih banyak ketika kita mengisi ulang botol plastik untuk mengurangi limbah.

Terdapat pula bukti bahwa plastik mikro dalam makanan berasal dari debu-debu dalam ruangan. Penelitian terbaru memperkirakan kita bisa mendapatkan dosis tahunan sekitar hampir 70.000 plastik mikro dari debu yang menempel pada makan malam kita, dan itu hanya salah satu bagian dari makanan sehari-hari kita.

Jadi, betul kita memang memakan sejumlah kecil plastik mikro dari produk-produk laut. Namun mungkin hanya butuh minum satu liter air dalam kemasan botol sehari untuk mengonsumsi lebih banyak plastik mikro daripada seorang penggemar berat kerang. Dan pertanyaan lain yang belum terjawab oleh ilmuwan kita tentang plastik mikro dalam makanan kita adalah seberapa besar kerugian yang sebenarnya mereka sebabkan.

Christina Thiele, PhD Candidate in Marine Microplastics, University of Southampton dan Malcolm David Hudson, Associate Professor in Environmental Sciences, University of Southampton

Sumber asli artikel ini dari The Conversation. Baca artikel sumber.

 

 

Mendesaknya Evaluasi Kebijakan Mitigasi Bencana, Belajar dari Jepang

Dalam beberapa bulan terakhir, Indonesia mengalami rentetan bencana alam gempa bumi yakni di NTB, Sulawesi Tengah, serta di Bali dan Jawa Timur pada dini hari tadi. Ribuan korban jiwa, luka berat, serta hilang berjatuhan akibat bencana alam tersebut.

Sebagai negara yang berada di jalur Lingkaran Api Pasifik (Ring of Fire), sudah seharusnya pemerintah Indonesia mengantisipasi dan memitigasi bencana gempa bumi. Pemerintah Indonesia telah mengadopsi berbagai kebijakan pengurangan risiko bencana–termasuk kebijakan untuk pembangunan gedung dan rumah tahan gempa sejak tahun 2004 setelah bencana gempa bumi dan tsunami di Aceh. Namun sayangnya realisasin kebijakan tersebut belum sepenuhnya berjalan dengan baik.

Sebuah penelitian yang dilansir The Conversation kemudian menjelaskan bahwa Indonesia bangkit dan sadar akan pentingnya dan gentingnya upaya pengurangan risiko bencana terutama gempa bumi. Berikut artikel selengkapnya:

Gempa Palu: mendesaknya evaluasi kebijakan mitigasi bencana, belajar dari Jepang

Wignyo Adiyoso, University of Brawijaya

Belum hilang kepedihan akibat gempa bumi di Lombok Agustus lalu yang menyebabkan lebih dari 500 orang tewas, kini dampak gempa bumi yang diikuti tsunami di Sulawesi Tengah menyebabkan kematian lebih dari tiga kali lipat dibanding gempa Lombok. Puluhan ribu orang di Sulawesi jadi pengungsi secara tiba-tiba karena rumah mereka hancur.

Selain faktor episentrum, kedalaman gempa, dan kekuatan gempa, kerusakan akibat gempa diyakini karena struktur dan mutu bangunan yang tidak tahan gempa. Bahkan bangunan publik penting seperti menara Air Traffic Controller (ATC) Bandar Udara Mutiara Sis Al Jufri Palu ikut roboh.

Gempa Lombok yang menyebabkan sekitar 390.000 orang mengungsi, 125.000 rumah rusak, 18 jembatan ambruk, dan 153 ruas jalan dan tiga tanggul rusak menunjukkan mutu bangunan menjadi salah satu yang memperburuk jatuhnya korban. Dalam gempa dan tsunami Palu, hampir 70.000 rumah rusak.

Data Tim Pemutakhiran Peta Gempa Indonesia 2010 dan 2017 mengungkap bahwa gempa bumi dan tsunami menjadi penyebab utama kerusakan rumah dan bangunan (73%) serta penyebab korban tewas (62%) dibanding bencana lainnya yang terjadi di Indonesia.

Dengan kesadaran bahwa Indonesia berada di Cincin Api dan gempa bisa terjadi kapan saja, sebenarnya seberapa siap kita dan pemerintah mengantisipasi dan memitigasi bencana gempa bumi?

Kejadian bencana di Indonesia dalam 10 tahun terakhir.
BNPB

Implementasi mitigasi gempa

Setelah bencana tsunami Aceh 2004, meski belum sempurna, Indonesia telah mengadopsi berbagai kebijakan pengurangan risiko bencana–termasuk kebijakan untuk pembangunan gedung dan rumah tahan gempa.

Bahkan sebelum 2004, Menteri Pekerjaan Umum telah mengeluarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) SNI 03-1726-2002 tentang Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Rumah dan Gedung. Tata cara perencanaan ketahanan gempa tersebut diperkuat dengan Peraturan Menteri No. 05/PRT/M/2016 tentang Izin Mendirikan Bangunan.

Sayangnya, kebijakan tersebut bagus di atas meja, tapi mandul dalam pelaksanaan. Banyak masyarakat, pengembang, kontraktor, dan aparatur pemerintah yang tidak mematuhi dan menerapkan peraturan tersebut. Dengan sistem desentralisasi, kewenangan pemberian Izin Mendirikan Bangunan (IMB) berada di kabupaten dan kota, yang pelaksanaan pengendalian IMB-nya seringkali masih lemah.

Meski belum detail, sejak 2010 pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum bekerja sama dengan lembaga-lembaga terkait telah merilis Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia. Namun, peta gempa ini belum tersebar di masyarakat, salah satu faktor pembangunan rumah tahan gempa terhambat.

Peta ini mestinya menjadi dasar untuk menyusun kebijakan pengurangan risiko bencana. Peta bahaya yang telah diperbaharui pada 2017 lalu, dengan jelas memberikan informasi zona merah (rawan gempa) di provinsi dan kabupaten kota di seluruh Indonesia. Belum tersebarnya informasi ini menjadi penyebab masih rendahnya kesadaran masyarakat terhadap mitigasi bencana.

Selain itu, ada persepsi di masyarakat bahwa biaya pembangunan rumah tahan gempa mahal. Padahal sudah banyak yang membuat dan mempromosikan rumah tahan gempa lebih murah. Meski bervariasi, menurut sebuah penelitian di Tennessee Amerika Serikat, penambahan biaya pembangunan rumah baru tahan gempa mulai sekitar 5–10% dari biaya pembangunan rumah yang tidak tahan gempa.

Sedangkan biaya tambahan untuk retrofitting atau memperkuat rumah supaya tahan gempa bisa lebih murah lagi, hanya sekitar 1-3% dari biaya pembangunan rumah yang tidak tahan gempa. Biaya tambahan juga tergantung jenis bangunannya. Meski lebih mahal, mestinya masyarakat diberikan kesadaran bahwa biaya ekstra tersebut harus dilihat sebagai investasi. Manfaatnya akan terasa bila rumah kita diguncang gempa.

Masyarakat dan arsitek bangunan juga tidak familiar dengan pedoman pembangunan rumah tahan gempa. Padahal rancangan bangunan dan rumah tahan gempa tidak terlalu sulit. Rumah tahan gempa misalnya, cukup berbahan ringan seperti kayu, bambu, atau baja ringan.

Dalam pedoman tersebut sebenarnya juga sudah dijelaskan secara detail dan dilengkapi dengan gambar. Setelah gempa Yogyakarta 2006, pemerintah daerah mensosialisasikan kepada insinyur dan para mandor bagaimana cara membangun rumah tahan gempa. Hal ini perlu kampanye dan sosialisasi yang lebih baik lagi dan terus menerus.

Pengalaman Jepang

Untuk efektivitas kebijakan mitigasi gempa, tak ada salahnya kita belajar dari Jepang. Negara ini menghadapi ancaman bencana yang besarannya hampir sama dengan Indonesia.

Kebijakan pembangunan gedung dan rumah tahan gempa telah menjadi kebijakan yang luas dan mengikat ketat warga negaranya. Sejak Gempa Besar Tokyo 1923 yang menewaskan 143.000 orang, Jepang mulai memperkenalkan bangunan tahan gempa. Pada 1950-an ketentuan bangunan gempa diterapkan dan telah beberapa kali direvisi dengan adanya gempa bumi besar, yaitu Niigata (1964), Miyagi (1978), Kobe (1995) dan Sendai (2011).

Setiap izin pembangunan gedung dan rumah wajib menyertakan persyaratan teknis bukti tahan gempa. Bila tidak, pemerintah tidak akan memberikan izin.

Bagaimana dengan bangunan yang sudah berdiri dan belum mengadopsi bangunan tahan gempa? Untuk bangunan publik yang masih berdaya guna lama, pemerintah menerapkan retrofitting. Sedangkan bangunan yang masa pakainya tidak lama, diganti dengan bangunan baru yang tahan gempa.

Dalam menegakkan kebijakan untuk rumah tahan gempa, pemerintah memberikan subsidi dan bantuan teknis kepada warga yang ingin retrofitting rumahnya. Pemerintah secara berkala melalui berbagai media menyebarluaskan pentingnya dan tata cara membangun dan melakukan retrofitting. Arsitek dan mandor diberi pelatihan dan diberi sertifikasi terkait pengetahuan pembangunan rumah tahan gempa dan bahaya kebakaran serta hemat energi.

Tidak hanya itu, pemerintah Jepang juga memberikan bantuan kepada warga yang berupaya mencegah bencana. Misalnya pemerintah memberikan bantuan peralatan seperti plat baja khusus pengikat lemari atau perabot rumah tangga yang rawan jatuh ketika terjadi gempa.

Beberapa pemerintah daerah dan lembaga non-pemerintah di sana memberikan bantuan peralatan siaga bencana seperti senter, obat-obatan, makanan siap saji tahan lama, air minum dan wadahnya yang tahan lama disimpan dalam menghadapi bencana. Semua kebijakan itu tanpa diminta oleh warga, tapi disediakan dan difasilitasi oleh pemerintah.

Rumah tahan gempa dan asuransi bencana

Belajar dari gempa Lombok dan Palu, seharusnya pemerintah dan masyarakat Indonesia bangkit dan sadar akan pentingnya dan gentingnya upaya pengurangan risiko bencana.

Sebagai gambaran, menurut data Badan Nasional Penanggunalan Bencana (BNPB), pada 2017 terdapat mencapai 2.862 bencana. Dana kebencanaan di Indonesia minim. Tapi lebih dari itu program-program kebencanaan kurang sistematis dan kurang terkoordinasi.

Program-program seperti pembangunan gedung dan rumah yang tahan gempa harus menjadi prioritas. Masyarakat yang hidup di zona merah gempa perlu diberikan pemahaman pentingnya membangun rumah tahan gempa. Pemerintah perlu menyebarkan pedoman dan bahan informasi yang sederhana dan mudah dipahami masyarakat awam. Pemerintah juga perlu memberikan subsidi bagi masyarakat yang mau membangun rumah baru tahan gempa dan yang melakukan retrofitting.

Kebijakan lainnya adalah mengembangkan asuransi bencana. Model transfer risiko bencana telah menjadi kebijakan penting di negara-negara lain seperti Cile, Selandia Baru, Cina, Malaysia, dan Singapura. Asuransi bencana secara prinsip sama dengan asuransi pertanian yang juga sudah mulai dilaksanakan di Indonesia.

Dewan Perwakilan Rakyat, lembaga keuangan, swasta dan pemerintah sebaiknya duduk bersama untuk mendorong penerapan asuransi bencana. Untuk mencegah dampak gempa seperti di Lombok dan Palu serta gempa-gempa sebelumnya terjadi lagi perlu penerapan kebijakan dan program mitigasi bencana yang konsisten dan sungguh-sungguh.


CATATAN EDITOR: Artikel ini telah diperbarui untuk memperbaiki kesalahan tata bahasa.

Wignyo Adiyoso, Visiting Researcher at Research Centre of Conflict and Policy (RCCP) of Faculty of Administrative Sciences, University of Brawijaya

Sumber asli artikel ini dari The Conversation. Baca artikel sumber.

 

 

 

Hubungan antara Kebebasan Ekonomi dan Kesejahteraan Masyarakat

The Fraser Institute, lembaga think tank dari Kanada, mempublikasikan laporan tahunan Economic Freedom of the World (EFW) yang ke-22 di akhir bulan lalu (29/09). Berdasarkan laporan tersebut, terjadi peningkatan yang cukup signifikan terhadap kebebasan ekonomi di dunia selama 25 tahun terakhir.

Pada tahun 1990, nilai rata-rata kebebasan ekonomi untuk negara industri yang memiliki pendapatan tinggi adalah 7,18 dari skala 0-10. Sedangkan nilai kebebasan ekonomi untuk negara berkembang adalah 5,28 dengan kesenjangan sebesar 1,90 poin bila dibandingkan dengan negara industri berpendapatan tinggi. Tahun 2016, kesenjangan tersebut berhasil diperkecil sebesar 46 persen, dimana negara nilai kesenjangan negara berkembang dengan negara industri berpendapatan tinggi tidak lebih dari 1,06 poin. Peningkatan tersebut terjadi karena adanya liberalisasi perdagangan dan adanya stabilisasi daya beli dengan memerangi inflasi.

Laporan EFW ini kemudian menunjukkan bahwa terdapat hubungan erat antara kebebasan ekonomi dengan indikator penting dari masyarakat termasuk kekayaan, pengentasan kemiskinan, harapan hidup, ketidaksetaraan,kematian bayi, dan kebahagiaan. Negara dengan tingkat kebebasan ekonomi yang tinggi berdasarkan laporan tersebut memiliki kekayaan yang lebih tinggi, pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat, serta angka harapan hidup yang lebih tinggi. Selain itu, negara dengan tingkat ekonomi tinggi kerap memiliki tingkat kebebasan sipil dan politik, kesetaraan gender, dan kebahagiaan yang tinggi pula.

Untuk mengurutkan peringkat kebebasan ekonomi tiap negara, EFW menganalisa 42 indeks terhadap lima area utama yakni pemerintah, sistem hukum dan hak kepemilikan, sistem keuangan yang sehat, kebebasan perdagangan internasional, dan regulasi).

Hongkong kemudian kembali menempati peringkat pertama sejak tahun 1980, dengan Singapura menempati peringkat kedua sejak tahun 2005. Negara-negara lainnya yang menduduki peringkat 10 besar adalah Selandia Baru, Swiss, Irlandia, Amerika Serikat, Georgia, Mauritius, Britania Raya, Australia, dan Kanada (dua negara terakhir menempati peringkat 10). Sedangkan tiga negara yang termasuk ke dalam negara yang paling tidak bebas adalah Argentina, Libya, dan Venezuela.

Sumber:

Foundation for Economic Education (FEE)

Asian Para Games 2018

Pada hari Sabtu lalu (06/10), upacara pembukaan ajang olahraga Asian Para Games 2018 telah berlangsung. Asian Para Games merupakan sebuah ajang olahraga dimana peserta dari ajang tersebut adalah atlet-atlet difabel atau penyandang disabilitas.

Awal mula lahirnya penyelenggaran Asian Para Games adalah sebuah multisporting event bagi atlet difabel yang digelar pertama kali di Oita, Jepang yang bernama Far East and South Pacific Games for the Disabled atau FESPIC Games.

Tujuan utama dari penyelenggaran FESPIC Games ini adalah untuk meningkatkan kesejahteraan penyandang disabilitas melalui partisipasi dalam ajang olahraga, memperdalam nilai pengertian dan persahabatan antar-penyandang disabilitas, dan mendukung rehabilitasi bagi penyandang disabilitas melalui aktivitas olahraga.

Pada tahun 2006, Asian Paralympic Committee mengambil alih ajang olahraga FESPIC dan kemudian menjadi penyelenggara pertama Asian Para Games di tahun 2010 yang bertempatan di Guangzhou, China. Asian Para Games kemudian disepakati sebagai ajang multisport empat tahunan bersamaan dengan penyelenggaraan Asian Games. Asian Para Games 2018 ini sendiri merupakan edisi yang ketiga setelah Asian Para Games pertama di Guangzhou tahun 2010 dan yang kedua di Incheon pada tahun 2014.

Sumber: Kompas