Anies Baswedan: Momentum akan Sukses Bila Ada Kesiapan dan Rekam Jejak

Siaran PERS

Jakarta, 22 Februari 2022. Lembaga Survei KedaiKOPI meluncurkan buku “MOMENTUM: Karier Politik & Aktivitas Media Sosial” di bilangan Jakarta Selatan (22/2). Agenda peluncuran buku yang ditulis oleh Hendri Satrio, Tirta Mursitama, Firdaus Alamsjah dan Yosef Dedy Pradipto ini turut dihadiri oleh para tokoh mulai dari Anies Baswedan, Miing Bagito, Ronal Surapradja, Faldo Maldini, Sudirman Said dan tamu undangan lainnya.

 

Anies Baswedan mengatakan  bahwa seringkali momentum hadir di luar kendali kita, dan sering kita menyebutnya sebagai momentum setelah peristiwanya terjadi. Selain itu Gubernur DKI Jakarta ini juga menambahkan “Jika kita berbicara mengenai karir siapapun di wilayah politik, maka kita akan bertemu dengan yang namanya rekam jejak atas apa yang dikerjakan. Hal yang menarik adalah bila kesempatan ada, namun rekam jejak, delivery, dan kesiapan tidak hadir, (maka) pada saat itu momentum akan lepas begitu saja. Di sisi lain, kalau ada delivery, ada kesiapan, ada kesempatan, maka itu bisa dikapitalisasi menjadi momentum,” jelas Anies.

 

Anies juga menggarisbawahi bahwa sebuah disertasi sebagai karya akademik ketika harus dipertahankan di depan Dewan Penguji adalah hal biasa. Namun membuat disertasi menjadi sebuah bacaan populer, sebuah buku itu akan lebih menantang lagi. “Hari ini buku tersebut diluncurkan, selamat bagi Bung Hensat dan teman-teman. Semoga buku ini memperkaya wacana kita dalam berpolitik,” kata Anies.

 

Faldo Maldini dalam sambutannya mengatakan, setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan momentum. “Tidak ada diskriminasi di antara kita untuk mendapatkan momentum ini. Sebagaimana Presiden Jokowi memberikan pemerataan pembangunan yang tanpa diskriminasi,” kata Staf Khusus Mensesneg ini. Faldo juga meyakini bahwa bangsa Indonesia kedepan akan memiliki momentum, namun semua bergantung pada kita sebagai penggerak bangsa Indonesia. “Saya harap buku MOMENTUM karya Hendri Satrio ini dapat membuat para pencari momentum yang ingin membangun bangsa ini kedepan mendapatkan tempat,” kata Faldo.

 

Hendri Satrio mengatakan faktor utama yang mempengaruhi karir seseorang adalah momentum. Maka momentum itu harus dicari dan bila sudah didapatkan, momentum tersebut harus digunakan secara maksimal. Founder Lembaga Survei KedaiKOPI turut membeberkan tiga cara untuk mendapatkan sebuah momentum yaitu pertama adalah kepemimpinan transformasional, kemudian memiliki modal sosial dan terakhir pengalaman bisnis maupun organisasi.

 

Pria yang akrab disapa Hensat ini juga memaparkan bahwa di dalam buku karyanya menceritakan tentang perjalanan tokoh-tokoh bangsa yang berhasil dalam memanfaatkan momentumnya. Presiden Jokowi adalah salah satunya. Selain itu buku ini juga terdapat fakta menarik dari hasil disertasi yang dilakukan olehnya. Hensat menjelaskan mengenai aktivitas media sosial dan kaitannya dengan karir politik seseorang. “Dan yang juga penting dalam buku ini adalah, fenomena yang melukiskan bahwa aktivitas media sosial ternyata tidak berpengaruh siginifikan terhadap karir politik atau elektabilitas. Jadi bila ingin memiliki karir politik yang bagus, mau tidak mau (seorang politisi) harus mendapatkan dan memanfaatkan momentum, bukan (memanfaatkan) aktivitas media sosial Namun dalam hal ini Hensat tidak menepis fakta bahwa aktivitas politisi di media sosial dapat mempengaruhi popularitas politisi tersebut.

 

Koordinator Nasional Forum Solidaritas Kemanusiaan (FSK) Sudirman Said, memberikan perhatiannya pada modal sosial yang dijabarkan oleh Hendri Satrio. Dirinya mengamini bahwa modal sosial bagi seorang pemimpin merupakan hal yang krusial. Sudirman mengatakan Modal sosial harus dipupuk dengan integritas, karya, dan reputasi. Beliau manambahkan “modal sosial tak bisa diperoleh secara instan dan tidak dapat pula dibeli. Seorang pemimpin, di manapun dia berada, harus bisa mengakumulasi modal sosial mereka,” kata Sudirman.

 

Direktur Lembaga Survei KedaiKOPI, Kunto Adi Wibowo, Ph.D. memberikan pandangannya terhadap buku “MOMENTUM: Karier Politik & Aktivitas Media Sosial”. Dirinya terkesan dengan cara Hendri menjawab persoalan bagaimana cara seseorang mendapatkan apa yang menjadi momentum bagi dirinya, serta apa yang harus dilakukan bila seseorang telah mendapatkan momentumnya. Kunto mengatakan “Hendri menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan sederhana dan elegan. Pertama, Hensat mengumpulkan hasil bacaan dan diskusi bersama teman-teman di KedaiKOPI ditambah data-data Survei pilkada dan pemilu yang dimiliki KedaiKOPI untuk diracik dan mendapatkan kandidat faktor-faktor pemicu momentum. Ada banyak faktor pemicu momentum, namun sederhananya bisa dibagi menjadi dua bagian besar. Pertama adalah faktor di luar kendali kita dan kedua adalah faktor yang bisa kita kendalikan”.

 

Bagi politisi, Tubagus Dedi Miing Gumelar atau kerap dikenal sebagai Miing, Momentum memang harus bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin. Namun momentum hanya dapat dimanfaatkan dengan kecerdasan dan sensitifitas penerimanya. “Kecerdasan (di sini) tidak hanya berupa kecerdasan secara ilmiah, namun juga kecerdasan nurani”. Dirinya juga berharap agar buku ini dapat menjadi sebuah kekayaan intelektual bagi bangsa Indonesia.

Peristiwa Desa Wadas, Refleksi Tujuan Pembangunan Pemerintah

Siaran Pers

Jakarta, 15 Februari 2022

Peristiwa di Desa Wadas dapat menjadi refleksi mengenai tujuan pembangunan yang mengedepankan asas-asas kemanusiaan, keadilan, kejujuran, dan melindungi sesama. Hal ini disampaikan oleh Sudirman Said selaku Koordinator Nasional Forum Solidaritas Kemanusiaan Di dalam diskusi publik “Wadas: Panggilan Kemanusiaan dalam Pembangunan” yang diselenggarakan oleh Forum Solidaritas Kemanusiaan yang didukung oleh Lembaga Survei KedaiKOPI dan Institut Harkat Negeri (IHN) bersama Kemanusiaan pada Selasa, 15 Februari 2022 secara daring.

Sudirman mengatakan bahwa kita harus kembali mengalibrasi bagaimana cara mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, karena itu tujuan utama dari bernegara, terutama dengan sila ke empat yakni bermusyawarah dan berdemokrasi.

“Tujuan bernegara kita ingin mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, itu tujuan utama dari bernegara, caranya dengan sila ke empat, dengan bermusyawarah, berdemokrasi, kemudian musyawarah tidak mungkin dilakukan tanpa semangat bersatu. Maka kita pegang teguh persatuan Indonesia, kemudian persatuan hanya mungkin apabila di antara kita, saling menghargai aspek kemanusiaan, karena itu sila kedua kemanusiaan yang adil dan beradab,” imbuh Sudirman.

Anggota Komnas HAM Beka Ulung Hapsara mengungkapkan bahwa masalah tambang batu andesit di desa Wadas membuat warga terpecah belah menjadi dua sisi, antara pro dan kontra. Selain itu, di sisi lain, warga Desa Wadas juga menurutnya sedikit trauma dan banyak yang tidak berani pulang ke rumah mereka.

“Concern saya adalah soal relasi sosial, ini warga terpecah belah, di sisi lain warga ada trauma segala macam yang itu juga harus segera disikapi. Saya tidak melihat mana yang lebih besar, mana yang lebih sedikit, tetapi bagaimana kemudian suara-suara warga kita didengar kemudian kita lindungi haknya,” ungkap Beka.

Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil menyatakan bahwa pihaknya sudah meminta ke Gubernur, bahwa hak kepemilikan harus diakui, walaupun dalam UU Agraria Pasal 18 sudah diatur mengenai kepentingan bangsa negara dan masyarakat. “Hak kepemilikan itu bisa dicabut, tapi harus diingat, hak kepemilikan tidak hanya kepemilikan semata, tapi di situ ada unsur psikologis emosional di dalamnya, sehingga tidak bisa pendekatannya sok kuasa,” jelasnya.

Nasir Djamil juga sudah mengingatkan kepada pemerintah mengenai aspek psikologis emosional yang sebelumnya diabaikan oleh pemerintah. “Karena itu saya katakan kepada pemerintah, terkait dengan Bendungan Bener di Purworejo itu segeralah tunaikan hak rakyat dan bayarlah kompensasi kepada rakyat yang telah memberikan lahan mereka untuk pembangunan Bendungan Bener yang merupakan proyek strategis nasional,” katanya.

Nasir juga menyarankan pemerintah untuk mencari alternatif lain, dan untuk menghormati hak masyarakat yang ada di Wadas tersebut. “Kalau warga sudah menolak, alihkan ke tempat lain, hormati kemauan rakyat karena mereka ingin menjaga alam mereka,” tegas Nasir.

Di kesempatan ini, Miing Gumelar menyatakan bahwa orang-orang di Desa Wadas saat ini tidak dijaga rasa amannya. Menurutnya rasa aman adalah hak dasar dari warga negara Indonesia (WNI yang harus dilindungi. “Kalau sekarang mereka takut, berarti pemeritahan dari level bawah sampai atas melakukan tindakan pelanggaran terhadap konstitusi,” katanya.

Menurut Beka Ulung, apabila warga sudah ingin memutuskan apakah mereka menerimanya, hal ini harus berada di kondisi bebas tekanan dan intimidasi. “Ketika mereka memutuskan juga, memutuskannya dalam situasi kondisi bebas dari tekanan, bebas dari intimidasi, atau bebas dari provokasi. Itu yang penting yang perlu kita dorong bersama, sehingga nantinya Wadas punya solusi,” katanya.

Sementara itu Okky dan Miing juga menyarankan bahwa pemerintah saat ini harus merumuskan bagaimana pembangunan berjalan, tanpa mengganggu warga Wadas. “Ketika mereka menolak, ya sudah, gunakan kecerdasan pemerintah untuk mencari alternatif lain, pembangunan tetap jalan tanpa harus merusak tatanan sosial, adat istiadat penduduk lokal,” kata Miing.

Dari peristiwa ini Sudirman Said juga melihat ada beberapa hal yang keliru di sisi pemerintah, terutama dalam pengelolaan krisis. Bahkan, ia menyayangkan dialog dan komunikasi yang dilakukan pemerintah, seperti Menko Polhukam Mahfud MD dan Gubernur Jateng Ganjar Pranowo yang tidak mendinginkan publik, malah cenderung menutupi keadaan dan menyimplifikasi situasi seolah tidak ada hal yang rumit, sehingga letupan masalah terjadi di masyarakat.

“Padahal dalam krisis manajemen itu prinsip-prinsip mengelola krisis yang pertama-tama kita mesti menjelaskan apa adanya, karena semakin ditutupi, letupan-letupan berikutnya semakin kredibilitas dari pengelola krisis, semakin turun,” katanya.

Sudirman mengatakan bahwa kita harus kembali mengalibrasi bagaimana cara mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, karena itu tujuan utama dari bernegara, terutama dengan sila ke empat yakni bermusyawarah dan berdemokrasi.

Diskusi publik “Wadas: Panggilan Kemanusiaan dalam Pembangunan” yang diselenggarakan oleh Forum Solidaritas Kemanusiaan yang didukung oleh Lembaga Survei KedaiKOPI dan Institut Harkat Negeri (IHN) bersama Kemanusiaan. Diskusi ini dihadiri oleh Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil, Kornas Forum Solidaritas Kemanusiaan Sudirman Said, Anggota Komnas HAM Beka Ulung Hapsara, Budayawan Dedy Miing Gumelar, dan Penulis Okky Madasari sebagai pembicara.

Survei KedaiKOPI: Calon Luar Jawa Berpotensi, Calon Dari Jawa Mendominasi

Jakarta, 9 Februari 2022

Pemilu 2024 merupakan ajang yang hangat bagi para putra-putri terbaik bangsa untuk membuktikan dirinya mampu memimpin Indonesia. Lembaga Survei KedaiKOPI melakukan peluncuran survei “Peluang dari Luar Jawa” pada Rabu 9 Februari 2022 secara daring dan disiarkan secara langsung melalui kanal YouTube Total Politik dan Lembaga Survei KedaiKOPI. Salah satu temuan yang mengemuka dari hasil survei ini adalah kombinasi pasangan calon presiden dari Jawa dan wakil presiden dari luar Jawa paling banyak dilirik oleh pemilih dibandingkan dengan jika kedua pasangan calon berasal dari Jawa.

Direktur Lembaga Survei KedaiKOPI, Kunto Adi Wibowo, Ph.D. mengatakan bahwa “Survei Peluang dari Luar Jawa” adalah lanjutan dari survei yang diadakan oleh KedaiKOPI pada bulan November 2021 yang mendeteksi 61% pemilih ingin memilih calon presiden dari luar Jawa. “Ketika dipertajam melalui survei bulan Januari 2022, pemilih masih 50-50 menilai bahwa peluang capres dari luar Jawa besar, sedangkan 58,3% mengatakan calon dari luar Jawa berpeluang besar untuk menjadi wakil presiden, tutur Kunto dalam presentasi hasil surveinya.

Kunto mengatakan karena calon pemimpin dari luar Jawa didominasi oleh para gubernur maka Lembaga Survei KedaiKOPI mencoba menanyakan kinerja dari para gubernur yang berpotensi menjadi pemimpin Indonesia di 2024. “Kami menanyakan terkait kinerja gubernur, Gubernur NTB, Zulkieflimansyah dipersepsi sebagai gubernur di daerah Indonesia Timur yang paling memiliki kinerja baik, mulai dari penanganan COVID-19, pengentasan kemiskinan, pendidikan, dan keamanan. Sedangkan Gubernur Sumut, Edy Rahmayadi merupakan Gubernur di daerah Indonesia Barat non Pulau Jawa yang dipersepsi punya kinerja yang bagus. Di Pulau Jawa, Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta unggul dalam kinerjanya untuk menangani COVID-19, transportasi umum, pendidikan, dan kesehatan. Sedangkan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, pada survei yang dilakukan sebelum terjadinya peristiwa “wadas melawan”, dianggap berkinerja baik dalam mengentaskan kemiskinan, menciptakan lapangan kerja, keamanan, dan pencegahan dan pemberantasan korupsi.”

Menegaskan mengenai elektabilitas capres berdasarkan kelompok gubernur, Kunto menjelaskan bahwa Zulkieflimansyah sebagai salah satu calon potensial yang berasal dari luar Jawa juga unggul di wilayah Indonesia Timur dengan elektabilitas 42,6%. Sedangkan dari wilayah barat non-Jawa nama Edy Rahmayadi mengantongi elektabilitas tertinggi dengan 35,5%. Dan di antara Gubernur di Pulau Jawa, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo membukukan elektabilitas 39,2% disusul dengan Anies Baswedan dengan elektabilitas 33,9%.

Dirinya menambahkan, data dari survei menggambarkan kombinasi capres dari Jawa dan cawapres dari luar Jawa akan lebih banyak didukung oleh pemilih dengan beragam alasan. “Alasan responden dalam memilih kombinasi tersebut adalah pemerataan pembangunan, keseimbangan kekuasaan, dan memberi kesempatan bagi mereka yang di luar Jawa. Namun kombinasi pasangan dengan capres dari luar Jawa cenderung lebih sedikit didukung oleh pemilih dibandingkan dengan pasangan yang memiliki capres dari Jawa.”

Berbicara mengenai media sosial, Kunto menyebutkan dari temuan survei sebanyak 80.7% responden menyatakan bahwa kepala daerah harus memiliki akun media sosial namun pada kenyataannya lebih dari 80% responden menyatakan bahwa mereka tidak mengikuti akun media sosial kepala daerah manapun.

Terkait seberapa penting calon pemimpin memanfaatkan media sosial, selebriti Ronal Surapradja mengatakan, “Masyarakat secara umum akan cenderung “membeli” konten media sosial para politisi yang tentunya menggambarkan semua sisi positif kehidupannya saja. Dirinya juga memberi saran bagi para capres – cawapres bagaimana seharusnya menggunakan media sosial, “Don’t use social media to impress people, but to impact people, karena belum tentu mereka yang follow, like, dan comment akan memilih saat pemilihan nanti.”.

Pernyataan Ronal seakan diamini oleh hasil penelitian disertasi Analis Komunikasi Politik, Hendri Satrio (Hensat). Hensat menegaskan bahwa popularitas di media sosial tidak akan mempengaruhi angka elektabilitas. “Media sosial itu bukanlah wadah yang tepat untuk menaikkan elektabilitas melainkan hanya dapat meningkatkan popularitas.”

Bagi pendakwah, Akmal Sjafril, media sosial selain dapat membuat seseorang menjadi populer, namun juga memilki dampak negatif yaitu “onar”. Dirinya mengatakan “dari perspektif Islam, pemimpin yang baik adalah yang dicintai oleh rakyatnya dan pemimpin juga mencintai rakyatnya. Dan bagaimana pemimpin bisa dicintai oleh rakyatnya? yaitu dengan cara dikenal. Di sini lah salah satu fungsi positif media sosial, yakni untuk mengenalkan.”

Survei Peluang dari Luar Jawa, diselenggarakan pada tanggal 17 – 24 Januari 2022 dengan metode survei Face to Face Interview (Computer Assisted Personal Interviewing), kepada 1201 responden yang berada di 34 provinsi dengan Error Sampling sebesar ± 2.83% pada pada interval kepercayaan 95.0%. *

Narahubung: Kunto Adi Wibowo, Ph.D. (0821-1665-7021)

Unduh hasil survei selengkapnya dengan klik pranala berikut ini:

Laporan Survei Peluang dari Luar Jawa

Dapur KedaiKOPI: Nalar Publik akan Terjaga Bila Para Pemimpin Mampu Menghindar dari Benturan Kepentingan

Siaran PERS:

Dapur KedaiKOPI: Nalar Publik akan Terjaga Bila Para Pemimpin Mampu Menghindar dari Benturan Kepentingan

Jakarta, 04 februari 2022. Tindakan represif yang diterima publik dari Undang-Undang dan opini sesama kalangan publik dinilai membuat nalar kritis publik menjadi terdegradasi. Padahal, publik seharusnya dapat menerapkan salah satu fungsinya sebagai pengawas kebijakan pemerintah.

Dalam catatan Rekomendasi Akademi Jakarta 2022 yang bertajuk “Cegah Penghancuran Nalar Publik” dijelaskan bahwa permasalahan di Indonesia berakar pada praktik ekonomi- politik yang menyuburkan oligarki dan korupsi, penguasaan sumber daya secara tidak adil, pengabaian hak asasi manusia, serta kerusakan alam.

Bahkan Akademi Jakarta mendesak agar dilakukan perubahan menyeluruh di bidang pendidikan mulai tingkat paling dini hingga pendidikan tinggi, lingkungan hidup, kehidupan sosial, ekonomi dan politik.

Ketua Akademi Jakarta, Seno Gumira Ajidarma, menjelaskan bahwa dibuatnya rekomendasi di aspek pendidikan, lingkungan hidup, intoleransi sosial, ekonomi, dan politik karena banyak orang yang tidak berani mengemukakan pendapatnya saat ini akibat dari ketakutan publik yang membuat nalar publik sedikit mundur.

“Banyak orang itu baik-baik saja tapi tidak berani bicara, bahkan berani bicara setidaknya tidak bertentangan, ini merata, atas nama sopan santun, adab dan lain lain. Saya kira ini gejala yang tidak bagus, jadi kita buka, dengan menghapus segala macam sifat yang vulgar tidak etis, segala macam, orang biasa,” katanya.

Harapannya, rekomendasi ini dapat diterima oleh publik, karena itu yang menjadi tujuan utamanya. Selain itu, ia juga berharap dokumen ini dapat menginspirasi siapa pun yang membacanya, bahkan apabila hanya membaca judulnya saja. “Saya kira dengan orang baca judulnya orang akan berpikir, “Jangan-jangan saya yang hancur nih nalarnya”. Sehingga mereka langsung aware, mulai saat ini saya jangan sampai bertingkah anti nalar. Itu saja sudah cukup,” ungkap Seno.

Sementara itu, Ketua Institut Harkat Negeri, Sudirman Said, mengungkapkan bahwa dokumen ini penting, dalam kacamatanya, saat ini pengingkaran atau penghancuran nalar publik sudah menunjukkan tanda yang jelas, cepat, dan pasti.

“Sebagai publik, kita sering disuguhkan hal-hal yang mengganggu nalar. Contoh, negeri kita sangat kaya dengan sawit, dan eksportir sawit terbesar, tetapi mengapa masyarakat sulit mendapatkan minyak goreng, sehingga pemerintah mengeluarkan subsidi? Itu pun tidak sampai kepada sasaran. Pertanyaannya, apakah ini dapat diterima oleh nalar publik?” katanya dalam diskusi ini.

Sudirman juga menyayangkan suasana takut mengoreksi ini terus membelenggu publik. Bahkan, penilaiannya, saat ini kalangan akademis juga menunjukkan gejala serupa, padahal mereka seharusnya menjadi sumber-sumber dari pikiran bebas dan kritis. “Menurunnya sifat kritis menjadi warning, ini soal bangsa, soal besar. Karena tanpa kritis kita akan kehilangan ide terbaik untuk membangun bangsa ini. Keunggulan lahir dari keberagaman dan keberagaman muncul dari kebebasan berpikir dan berpendapat,” ungkapnya.

Analis Komunikasi Politik, Hendri Satrio, melakukan riset dan menemukan publik saat ini jauh dari berpihak pada kewajaran. Menurutnya, nalar publik dan kewajaran diterjemahkan sebagai keselamatan, keselamatan untuk diri sendiri dan keselamatan untuk keluarga.

“Kalau saya baca bukunya Pak Sudirman Said, Berpihak Pada Kewajaran. Terus kemarin saya baca dokumen Akademi Jakarta. Kemudian saya merinci kembali FGD yang dilaksanakan Lembaga Survei KedaiKOPI, hasilnya jauh pada berpihak kewajaran. Saya sadari dalam diskusi ini kita semua hidup dalam ketakutan. Sehingga nalar publik tidak digunakan lagi. ketakutan kita mempengaruhi kehidupan kita secara menyeluruh,” ungkapnya.

Pria yang akrab disapa Hensat ini juga berharap bahwa dokumen tersebut dibaca oleh siapa pun calon presiden yang akan maju di tahun pada tahun 2024 nanti. Sehingga, para politisi ini akan menggunakan nalar publik dengan cukup baik. Terutama saat ini publik membutuhkan tokoh yang cerdas dan visioner.

“Mudah-mudahan para politisi yang akan maju 2024 membaca ini. Salah satu survei dari Lembaga Survei KedaiKOPI ada pergeseran bandul politik pada kriteria Capres yang disukai masyarakat, sebelumnya masyarakat ingin presiden yang merakyat. Tetapi saat ini cerdas dan visioner mengalahkan merakyat. mudah-mudahan para capres membaca, sehingga mereka menggunakan nalar publik. Dan mudah-mudahan kemunduran bersama menjadi kemajuan bersama,” pungkas Hendri.

Diskusi Dapur KedaiKOPI yang bertajuk “Nalar Publik Barang Langka?” ini diselenggarakan pada tanggal 4 Februari 2022 dan mengundang Ketua Akademi Jakarta, Seno Gumra Ajidarma, Ketua Institut Harkat Negeri, Sudirman Said, dan Analis Komunikasi Politik, Hendri Satrio yang dilakukan secara virtual melalui kanal Zoom dan Youtube.