Memahami Metode Konversi Suara Undang-Undang Pemilu

Salah satu isu yang penting namun “terkalahkan” oleh polemik ambang batas pencalonan presiden dalam pembahasan rancangan undang-undang pemilihan umum akhir Juli 2017 lalu adalah terkait metode konversi suara.

Mengapa hal ini penting? Karena metode konversi suara adalah variabel utama dari sistem pemilu yang kita pilih. Jantung dari sistem pemilu ada pada metode konversi suara ini.

Metode penghitungan suara adalah cara mengkonversi suara menjadi kursi. Metode ini berpengaruh setidaknya pada tiga hal, yakni sistem kepartaian, derajat proporsionalitas, dan jumlah perolehan kursi.

Jika dilihat perbincangannya, metode konversi memang terkait hal teknis cara menghitung. Namun, di balik hitung-hitungan teknis matematis, ternyata akan menentukan nasib partai politik sebagai peserta pemilu legislatif dan sebagai institusi demokrasi itu sendiri.

Dalam konteks pemilu, dikenal dua metode konversi suara. Pilihan ke dalam dua metode ini didasarkan pada sistem pemilu apa yang kita pilih. Dalam sistem pemilu yang mayoritarian atau mayoritas, dikenal metode mayoritas mutlak dan mayoritas pluralis.

Ini metode sederhana karena sistem ini memungkinkan pemenang merebut semua kursi yang ada (the winners takes all). Sistem ini memungkinkan kandidat yang memperoleh suara terbanyak dapat menguasai atau mengontrol sebagian besar kursi dalam parlemen dan pemerintahan.

Namun, sistem ini memiliki beberapa kelemahan, yakni kecenderungan kaum mayoritas yang akan memenangkan kontestasi. Sementara kaum minoritas sulit memenangkan perwakilannya. Sistem ini dikenal juga dengan nama sistem distrik.

Sementara Indonesia sendiri menggunakan sistem pemilu proporsional. Salah satu alasan terbesarnya adalah karena pluralitas di Indonesia membutuhkan satu sistem yang memungkinkan semua pihak berkesempatan yang sama meraih posisi di sistem politik kita.

Dalam sistem pemilu proporsional dikenal dua metode konversi suara. Keduanya adalah Kuota dan Divisor. Metode Kuota dibagi lagi dalam dua cara, yakni Kuota Hare dan Kuota Droop. Kuota Hare dipahami sebagai sistem konversi suara menjadi kursi yang tidak asing bagi kita karena sudah digunakan dari pemilu ke pemilu.

Metode Kuota Hare ditemukan oleh Sir Thomas Hare (1806-1891), seorang ahli hukum Inggris Raya. Tujuan Hare adalah sistem pemilihan yang dapat menciptakan hasil yang proporsional bagi setiap kalangan. Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) menjadi kata kunci dalam metode Kuota Hare.

BPP sendiri diperoleh dari membagi jumlah suara sah di suatu daerah pemilihan (dapil) dengan jumlah kursi yang diperebutkan di dapil tersebut. Hasil dari penghitungan itu disebut sebagai BPP atau harga kursi di dapil itu. Penentuan siapa yang mendapat kursi tergantung seberapa besar perolehan suara partai politik terhadap BPP.

Dalam undang-undang pemilu yang digunakan di pemilu 2014 dan sebelumnya, jika sudah tidak ada suara partai mencapai BPP atau setelah dikenakan BPP di tahap pertama, masih ada sisa kursi yang diperebutkan di tahap kedua, maka suara partai politik yang terbesar dipastikan meraih kursi yang ada.

Dalam kasus ini, metode konversi suara Kuota Hare cenderung dinilai kurang dalam hal derajat proporsionalnya. Lihat saja dalam simulasi, Partai F yang meraih suara hampir tiga kali lipat dari Partai B, dan nilainya 143 persen dari BPP, meraih jumlah kursi yang sama dengan Partai B.

Padahal suara Partai B hanya sepertiga dari suara Partai F. Artinya untuk mendapatkan 1 kursi, Partai F harus mengeluarkan modal 143 persen dari BPP, sedangkan Partai B cukup 44 persen dari BPP dan sama-sama mendapatkan 1 kursi seperti Partai F.

Dari situasi ini ada “diskon” 56 persen bagi Partai B untuk mendapatkan 1 kursi dari BPP. Faktor inilah yang kemudian dilihat metode kuota “kurang adil” dan proporsional dalam menentukan kursi dari perolehan suara partai.

Derajat proporsionalnya masih dianggap belum kuat. Alasan memperkuat derajat proporsionalitas inilah sehingga kemudian dalam Undang-Undang Pemilu yang disahkan pada 20 Juli 2017 cenderung memilih metode divisor. Metode ini dinilai memiliki derajat proporsionalitas yang lebih kuat dibandingkan metode kuota.

Metode Divisor
—————

Metode divisor melakukan konversi suara menjadi kursi dengan cara membagi perolehan suara masing-masing partai politik dengan angka-angka tertentu. Hasil pembagian dari angka-angka tersebut kemudian dirangking, dari yang angka terbesar sampai terkecil sesuai dengan jumlah kursi yang diperebutkan dalam dapil tersebut.

Angka rangking pertama mendapatkan kursi pertama, angka rangking kedua mendapatkan kursi kedua, angka rangking ketiga mendapatkan kursi ketiga, dan seterusnya, sesuai jumlah kursi yg tersedia. Angka-angka yang dipakai patokan untuk membagi suara tersebut terbagi dalam tiga jenis, yakni Divisor d’Hond (1/2/3/4,5,…), Divisor Sainte Lague (1/3/5/7,9,..), dan Divisor Sainte Lague Modifikasi (1,4/3/5/7,..).

Undang-Undang Pemilu yang baru disahkan 20 Juli lalu memilih angka pembagi 1,3,5,7 atau Divisor Sainte Lague. Nama Sainte-Lague diambil dari nama ahli matematika Perancis Andre Sainte-Lague yang memperkenalkannya dalam artikel yang ditulis tahun 1910. Jika pada metode kuota diperlukan bilangan pembagi pemilih, di metode divisor tidak diperlukan BPP karena angka pembaginya sudah ditentukan sejak awal.

Untuk menggunakan metode Divisor Sainte Lague, langkah pertama adalah membagi semua perolehan suara partai dengan angka pembagi pertama (1), kemudian dilanjutkan dengan membaginya dengan angka pembagi kedua (3) dan seterusnya, disesuaikan dengan jumlah kursi yang diperebutkan di dapil tersebut.

Hasil pembagian dari angka pembagi pertama dan seterusnya kemudian dirangking. Rangking pertama meraih kursi pertama, rangking kedua peraih kursi kedua, dan seterusnya sampai jumlah kursi yang terakhir di dapil tersebut habis.

Jika kita simulasikan pada contoh kasus yang sama yang sebelumnya diperhitungkan dengan metode kuota, terdapat perbedaan yang cukup signifikan. Partai F sebagai partai yang meraih suara terbanyak di dapil tersebut mendapatkan dua kursi dengan metode sainte lague. Padahal di metode kuota, partai ini hanya meraih 1 kursi.

Sementara Partai B yang sebelumnya di penghitungan metode kuota mendapatkan satu kursi, dengan Sainte Lague, partai ini gagal mendapatkan kursi. Dari dua metode penghitungan konversi suara menjadi kursi ini terlihat metode Sainte Lague memiliki derajat proporsionalitas lebih tinggi dibandingkan metode kuota.

Dalam rilisnya, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyebutkan, metode divisor lebih menjamin kesetaraan antara persentase perolehan suara dan persentase perolehan kursi. Dengan demikian, lebih ada kesetaraan atau proporsionalitas bagi parpol.

Perludem tidak melihat metode ini dalam konteks soal menguntungkan partai besar atau merugikan partai kecil, namun menghitung menggunakan rumus agar sesuai dengan asas pemilu yang dianut, yakni adil dan demokratis.

Lebih penting juga metode konversi suara ini tentu akan menjadi indikator sejauh mana partai-partai besar dan tentu partai partai menengah dan sekaligus partai-partai baru berhitung di dapil mana mereka akan bisa bermain dan berpeluang mendapatkan kursi.

Tentu saja dengan penghitungan kursi yang habis di tingkat dapil, tidak menjamin sebuah partai besar menguasai di satu dapil tertentu, bahkan bisa sebaliknya. Partai yang kuat di suatu dapil berpeluang memenangi banyak kursi di dapil tersebut, meskipun secara nasional partai tersebut tidak termasuk partai besar.

 

Sumber: https://kompas.id/baca/riset/2017/07/31/memahami-metode-konversi-suara-undang-undang-pemilu/

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *