Bom Bunuh Diri Perempuan: Bagaimana Teroris Melakukan Propaganda Radikalisasi Terhadap Perempuan Indonesia

Jakarta, 26 Juni 2018-Pada Mei 2018 lalu, Indonesia dikejutkan dengan rentetan serangan bom teroris. Kepolisian Negara Republik Indonesia mengumumkan bahwa jaringan ekstrimis lokal, Jama’ah Ansharud Daulah (JAD), yang berafiliasi dengan ISIS, bertanggung-jawab atas serangan bom tersebut.

Sebagai negara dengan mayoritas Muslim terbesar, Indonesia telah berusaha dengan keras untuk memblokir jaringan teroris lokal. Baik pemerintah maupun LSM, termasuk institusi internasional, telah mengalokasikan anggaran dan berkolaborasi untuk mengimplementasikan beragam program deradikalisasi. Namun dengan adanya keikutsertaan anak-anak dalam rentetan serangan bom teroris membuktikan bahwa program ini belum berhasil dalam menjalankan misinya membasmi teroris.

Keterlibatan perempuan dalam bom bunuh diri, yang disebut sebagai amaliyah (pengorbanan atau serangan bunuh diri), bukan merupakan suatu fenomena yang baru di Indonesia. Pada tahun 2016, Indonesia dikejutkan dengan kemunculan bom bunuh diri pertama oleh seorang perempuan bernama Dian Yulia Novi. Dalam sebuah interview, Novi mengatakan bahwa dia terinspirasi oleh status Facebook oleh ekstremis yakni yang merupakan seorang ulama dan pejuang ISIS. Pernikahannya dengan M. Nur Solihin, anggota jaringan teroris lokal yang terinspirasi dengan ISIS, pada awalnya untuk mempersiapkan bom bunuh diri Novi di istana negara yang kemudian gagal dilaksanakan.

Serangan terbaru yang berlokasi di Jawa Timur, menggunakan metode yang berbeda, terutama dengan adanya keterlibatan anak-anak. Pelaku dari serangan bom di tiga gereja di Surabaya adalah Dita Oepriarto, Puji Kuswati, dan keempat anaknya yang paling muda berusia sembilan tahun. Keenam nya tewas beserta dua belas orang jemaat gereja. Pada hari yang sama, Kabupaten Sidoardjo menjadi saksi atas meledaknya bom di sebuah apartment yang dihuni oleh keluarga yang beranggotakan lima orang. Kedua orang tua dari keluarga tersebut meninggal beserta satu dari ketiga anak mereka. Sehari setelahnya, Tri Murtiono, Tri Ernawati dan ketiga anaknya, termasuk anak perempuannya yang berusia delapan tahun, meledakkan diri mereka di kantor pusat polisi dan menewaskan keluarga tersebut kecuali satu dari anak mereka.

Para ahli berargumen bahwa latar belakang dari keterlibat perempuan dalam kelompok teroris adalah ideologi. Menurut para pengikut ISIS, Muslim sejati seharusnya menjawab panggilan pemimpin ISIS, Abu Bakar al-Baghdai untuk pindah ke Suriah dan membangun dan memelihara wilayah ISIS. Para pejuang membutuhkan istri dan ibu dalam upaya regenerasi dari kelompok teroris. Selain itu, motif lainnya adalah kekecewaan perempuan terhadap negara asalnya. Keberanian ISIS dalam melakukan propaganda melalui media, terutama media sosial dan video game telah meyakinkan sebagian perempuan Muslim untuk pindah dari negara asalnya dan menjalani hidup yang lebih baik di bawah daulah Islamiyah (Negara Islam). Meskipun begitu, banyak pula yang kecewa khususnya setelah melihat dan mengalami kebrutalan dan janji-janji yang tidak terpenuhi.

Pada tahun 2010, dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh para akademisi dari Victoria University of Wellington, mereka melakukan interview terhadap seorang perempuan yang menamakan dirinya Umm Mujahid (Ibu dari pejuang laki-laki)–mujahidin sebutan untuk pejuang laki-laki dan mujahidat sebutan untuk pejuang perempuan. Beliau berharap nama tersebut akan menjadi sebuah doa dan berharap agar anaknya bisa menjadi mujahid di masa yang akan datang dan bisa membawanya ke surga. Ideologi semacam ini telah tertanam dalam hati dan pikiran para perempuan yang teradikalisasi. Karena itu, tidak mengherankan jika pengeboman di Indonesia mulai melibatkan perempuan dan anak-anak.

Sumber: The Conversation

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *