Diskusi: Perempuan dalam Politik Indonesia
Jakarta, 6 Juni 2018-Jika kita hendak menelaah mengenai dinamika keterwakilan perempuan dan perpolitikan indonesia, tentu kita akan membicarakan affirmative action yang digagas oleh organisasi-organisasi perempuan di Indonesia. Menurut Anna Margret, seorang akademisi Ilmu Politik Universitas Indonesia dalam forum diskusi “Dinamika Keterwakilan Perempuan dalam Perpolitikan Indonesia: Perkembangan Terkini dan Proyeksi di Masa yang akan Datang” oleh Kedutaan Besar Australia (05/06), affirmative action merupakan sebuah kebijakan yang bersifat sementara dan instrumental. Pada forum diskusi yang turut dihadiri oleh Lembaga Survei KedaiKOPI, Anna Margret menjelaskan bahwa kebijakan ini merupakan sebuah alat atau instrumen yang bersifat sementara untuk mengoreksi ketimpangan sosial yang ada. Jika tujuan dari affirmative action telah tercapai, maka seharusnya kebijakan tersebut dihapus. Jika kebijakan tersebut masih berjalan, ini menandakan bahwa masih ada masalah sehingga tujuan belum tercapai.
Affirmative action untuk keterwakilan perempuan di parlemen dimulai dengan disahkannya UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang pemilu DPR, DPD, dan DPRD. Pada Pasal 65 ayat 1 UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD, menyatakan: “Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.”
Pada pemilu legislatif tahun 2004, affirmative action ini berhasil meningkatkan jumlah kandidat perempuan dalam kontestasi politik tersebut. Partai Golongan Karya atau Golkar berhasil mencapai sebanyak 28% jumlah kandidatnya adalah perempuan. Sedangkan perkembangan affirmative action pada pemilu legislatif tahun 2009 adalah dengan diterapkannya zipper system pada Pasal 55 ayat 2 UU Nomor 10 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa di dalam daftar bakal calon, setiap tiga orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya satu orang perempuan. Ini berarti jika suatu partai politik hendak menetapkan bakal calon nomor urut 1 hingga 3, maka salah satu diantaranya harus seorang perempuan. Hal ini turut didukung oleh data yang disajikan oleh Anna Margret bahwa nomor urut 1 sangat berpengaruh bagi caleg perempuan untuk mendapatkan kursi di parlemen. Sedangkan pada pemilu legislatif tahun 2014, Sri Budi Eko Wardani, akademisi Ilmu Politik Universitas Indonesia yang turut menjadi pembicara dalam forum diskusi tersebut, menyatakan bahwa affirmative action yang diterapkan adalah affirmative+, yakni affirmative + PKPU (Peraturan Komisi Pemilihan Umum). Kebijakan ini kemudian membuahkan hasil yang memuaskan dengan tercapainya caleg perempuan sebanyak 37% di tingkat nasional dan merupakan angka paling tinggi sepanjang sejarah dengan sebanyak 23% nya mendapatkan kursi di parlemen.
Selain mengundang dua akademisi dari Ilmu Politik Universitas Indonesia, Kedutaan Besar Australia turut mengundang dua anggota DPR RI dalam forum tersebut yakni Hetifah Sjaifudian dan Rahayu Saraswati. Menurut Hetifah Sjaifudian, partai politik memiliki peran vital terhadap keterwakilan perempuan dalam perpolitikan Indonesia. Ini disebabkan karena partai politik memiliki fungsi komunikasi politik, rekrutmen politik, serta kaderisasi. Hetifah juga menyampaikan bahwa keterwakilan perempuan di parlemen memiliki efek domino, terutama dalam hal penempatan perempuan di komisi-komisi DPR yang dinilai maskulin seperti Komisi II yang membidangi lingkup dalam negeri, sekretariat negara, dan pemilu, ataupun Komisi III yang mebidangi lingkup hukum, HAM, dan keamanan. Jika sudah ada perempuan yang memulai untuk menduduki posisi pada komisi-komisi yang dinilai maskulin seperti yang telah disebutkan sebelumnya, maka akan ada banyak perempuan lainnya yang menyusul untuk menduduki komisi-komisi tersebut.
Berbicara mengenai perempuan dan politik, Rahayu Saraswati berpendapat bahwa tidak lepas dari masalah strategi. Perempuan dalam kondisi alamiah telah memiliki social cost yakni double standard dan double burden. Seorang perempuan dituntut untuk bisa mengurus karir nya sendiri, suami, dan anak. Ini yang kemudian menyebabkan banyak perempuan yang mundur dari karirnya karena social cost tersebut. Menurut Rahayu Saraswati, untuk meningkatan keterwakilan perempuan di perpolitikan Indonesia dibutuhkan adanya pendidikan politik dan perempuan yang ahli pada bidangnya masing-masing untuk ditempatkan di komisi yang tepat.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!