Menakar Pilpres Pasca Putusan MK: Hensat Yakin megawati Tak Akan Marah Jika Gibran Putar Haluan Politik dan pakar HTN Sebut Putusan MK Problematik Bagi Tata Negara

JAKARTA – Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan permohonan uji materi terkait batas usia capres dan cawapres menarik banyak perhatian.

Pada putusan tersebut MK mengabulkan uji materi batas minimal usia capres-cawapres tetap 40 tahun kecuali sudah berpengalaman sebagai kepala daerah baik ditingkat provinsi maupun kabupaten atau kota.

Hal tersebut turut dibahas dalam acara OTW 2024 yang diselenggarakan Lembaga Survei KedaiKOPI dengan tema “Menakar Pilpres Pasca Putusan MK” di Jakarta, Selasa 17 Oktober 2023.

Dengan menghadirkan narasumber Yusril Ihza Mahendra (Pakar Hukum Tata Negara), Feri Amsari (Peneliti Poshdem Univ Andalas) dan Hendri Satrio (Analis Komunikasi Politik). Turut hadir dan melakukan orasi kebangsaan Lamdahur Pamungkas (Wapresma Univ. Trisakti) dan Afiq Naufal (Sekjen Sema Univ Paramadina).

Pada kesempatan tersebut, terkait teka-teki cawapres Ganjar Pranowo, Hendri Satrio mengatakan selama sepuluh tahun belakangan ketua umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri selalu memilih cawapres yang tidak akan menjadi kompetitor presiden di periode selanjutnya.

“Maka dengan premis tersebut, bisa saja Mega memilih Ma’ruf amin lagi. kita bisa saja sebut dia kuda hitam. Ini bisa menandingi ke-NU-an Cak Imin. Dan kuda hitam kedua adalah menteri PUPR Basuki Hadimulyono,” katanya.

Terkait putusan MK yang dinilai membuka jalan bagi Gibran Rakabuming untuk menjadi cawapres Prabowo Subianto, pria yang akrab disapa Hensat ini mengatakan dirinya yakin jika Gibran pindah haluan politik, Megawati tidak akan marah. Namun hal ini justru membuat rakyat akan semakin marah pada Gibran.

“Sekjen PDIP Hasto sudah mengatakan rakyat dan partai sudah memberikan yang terbaik kepada keluarga tersebut dan saat ini biar rakyat yang menilai.”

Feri Amsari mengatakan putusan MK tidak konsisten dan sarat kejanggalan, hal tersebut dapat dilihat pada perubahan 180 derajat antara putusan pagi dan sore. “Kalau bicara konsistensi putusan, maka ini sangat tidak konsisten dan tidak open legal policy,

“Pada tiga putusan pertama, ketua MK tidak ikut memutuskan perkara. Alasannya konflik kepentingan. Namun di putusan 90 dia terlibat. Kenapa konflik kepentingannya hilang? Padahal penggugat adalah fans Gibran, dan kakak iparnya adalah ayahnya Gibran,” kata Fery bertanya.

Ia meyakini putusan tersebut terdapat kepentingan tertentu di dalamnya. “Jadi ini lengkap sudah. Hakim konstitusi Mahkamah Konstitusi menyimpang dari konstitusi. Dan tidak lazim menurut saya aturan pertandingan diubah menjelang pertandingan dimulai, karena itu pasti jadi biang keributan. Jadi ini banyak nilai yang tidak fair dalam penyelenggaraan Pemilu 2024,” tambahnya.

Sementara itu Yusril Ihza Mahendra mengatakan dirinya sempat terkecoh dengan putusan MK yang pertama, “tapi sampai pada putusan ke-4 kita semua terkejut dan nampaknya ini anti klimaks terhadap 3 putusan sebelumnya. Dan bagi saya putusan terakhir ini problematik. Putusan yang berlaku adalah diktum putusan dan itu mengalir dari hulu ke muara,” paparnya.

Ia menyebutkan jika ditelaah secara mendalam putusan MK tidak mengalir dari hulu ke hilir. Sehingga dirinya berpendapat hal tersebut mengandung cacat hukum yang serius dan mengandung penyelundupan hukum.

“Kalau kita lihat putusan ini memang bukan putusan bulat, ada dissenting dan concurring opinion. Kenapa yang dissenting dibilang concurring? ini yang saya bilang diselundupkan.”

Yusril menambahkan bahkan putusan MK ini paling tidak harus ditindaklanjuti oleh KPU. Namun peraturan KPU tidak rontok sendirinya dengan adanya putusan MK. Karena dalam peraturan KPU masih disebutkan syarat jadi capres-cawapres itu minimal berusia 40 tahun.

“Dan jika putusan problematik dijalankan, maka masalah tidak akan selesai. Problem akan terus berlanjut entah sampai kapan,” tutupnya. ***