Tajuk Rencana

Membenahi Etika Birokrasi

DUA hal yang teramat penting dalam mewujudkan good governance dan mendukung baik kebijakan maupun program yang dibuat pemerintah ialah transparansi dan partisipasi. Transparansi dapat diwujudkan dengan keterbukaan informasi publik.

Sementara itu, partisipasi antara lain dapat diwujudkan dengan membuka ruang dialog seluas mungkin. Bukan semata antarkementerian atau lembaga, melainkan juga kepada seluruh pihak yang terkait dengan kebijakan tersebut.

Karena itu, amat disayangkan jika muncul ‘perseteruan’ antara Bupati Kepulauan Meranti, Riau, Muhammad Adil dan jajaran Kementerian Keuangan. Bahkan, saat rapat koordinasi nasional (rakornas) yang membahas pengelolaan pendapatan dan belanja daerah di Pekanbaru, beberapa waktu lalu, sang bupati sempat mengeluarkan pernyataan kontroversial dengan menyebut pihak Kemenkeu sebagai setan atau iblis.

Kekesalan Adil dipicu dana bagi hasil (DBH) produksi minyak dari Meranti yang semakin ke sini semakin minim besarannya yang diberikan Kemenkeu. Hal tersebut, menurut dia, tidak sebanding dengan kenyataan di lapangan. Pasalnya, menurut Adil, harga minyak Meranti terus melonjak di tengah terkereknya harga minyak dunia dan naiknya nilai tukar dolar AS. Adil mengaku telah berulang kali menyurati Kemenkeu untuk melakukan audiensi, tetapi jajaran Kemenkeu meminta audiensi dilakukan secara online.

Adil pun mengadu kepada Kementerian Dalam Negeri dan semua akhirnya bisa dijalankan secara offline. Ucapan Adil tentu amat disayangkan. Sebagai pejabat publik, ia seharusnya bisa menjadi contoh yang baik kepada masyarakat. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian bahkan memberikan teguran keras kepada Bupati Kepulauan Meranti itu. Teguran Mendagri kiranya tepat.

Sebagai institusi yang membawahkan kepala daerah, sudah sepantasnya ia mengingatkan perilaku bawahannya. Sebagai pejabat publik, Adil kiranya memang perlu menjaga etika dalam berkomunikasi. Apa yang menjadi kegelisahan dan harapan dia sebenarnya bisa dikomunikasikan dan diselesaikan secara baik-baik sehingga tidak menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat.

Dirjen Perimbangan Keuangan Kemenkeu Lucky Alfirman sebetulnya juga sudah berulang kali menjelaskan kepada Adil soal formulasi pembagian DBH, yang sudah sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang. Dalam Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD) pun pembagiannya sudah diperluas ke daerah lain, bukan hanya dikembalikan ke daerah penghasil.

Kesalahpahaman semacam itu semestinya tidak perlu terjadi jika setiap kepala daerah memahami ketentuan tersebut. Entah apakah mereka membaca UU yang dimaksud secara cermat entah jangan-jangan regulasi tersebut kurang tersosialisasi dengan baik. Di sinilah pentingnya keterbukaan dan dialog yang terus-menerus antara pusat dan daerah. Jangan sampai kebijakan yang dibuat pusat tidak dapat dijalankan hanya lantaran pihak-pihak yang akan melaksanakan kebijakan tersebut tidak memahaminya.

Kemendagri melalui Dirjen Bina Keuangan Daerah mungkin bisa memfasilitasi pertemuan dan pembahasan lebih lanjut antara Pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti dan Kemenkeu, serta baik Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) maupun dengan pihak terkait lainnya, agar perkara itu dapat diselesaikan dengan baik. Tidak elok jika sesama aparatur pemerintah bertengkar dan jadi tontonan masyarakat.

Semoga kasus itu bisa menjadi pelajaran bagi semua pihak untuk berbenah menjadi lebih baik lagi dalam menjalankan birokrasi pemerintahan. Ingat, tugas setiap aparatur pemerintah ialah melayani publik. Bagaimana bisa memberikan layanan terbaik kepada masyarakat jika menjalin komunikasi sesama birokrat saja belum becus? Bagaimana pula mau mengurus orang lain jika mengurus diri sendiri saja tidak sanggup, hah?