Jakarta, 18 Juni 2018-Ketentuan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) yang tertuang dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu kembali digugat ke Mahkamah Konstitusi. Pasal 222 UU Pemilu menyebutkan pasangan calon diusulkan partai politik atau gabungan parpol peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR, atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya. Parpol yang memenuhi kualifikasi dengan mendapatkan dukungan yang besar dari rakyat bisa mengusung sendiri pasangan capres dan cawapres. Namun tentu akan ada parpol yang tidak memenuhi kualifikasi dan akan tersingkirkan dari pencalonan capres dan cawapres. Oleh karena nya banyak parpol yang menempuh jalan dengan berkoalisi. Sedangkan parpol yang kesulitan berkoalisi akan mencari jalan lain seperti menggugat ke MK.
Dalam menguji ketentuan ambang batas pencalonan presiden, MK boleh dibilang sangat konsisten. Ambang batas 20% tersebut sudah berlaku sejak penerapan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Dua kali ketentuan dalam UU No 42/2008 itu digugat dan MK tetap pada putusan menolak permohonan penggugat.
Kini, dengan telah dimasukkannya permohonan uji materi Pasal 222 UU Pemilu, bola kembali berada di tangan MK. Bila mengikuti konsistensi putusan, MK akan kembali menolak permohonan tersebut. Di sisi lain, tetap ada kemungkinan MK mengabulkan gugatan. Apa pun keputusan itu, MK diharap dapat memperhitungkan risiko yang ada. Permohonan uji materi yang terbaru sangat mepet dengan waktu pendaftaran calon presiden dan cawapres yang dibuka kurang dari dua bulan lagi. Tahapan Pemilu 2019 pun praktis sudah dimulai.