JAKARTA – Lembaga Survei KedaiKOPI melakukan survei mengenai persepsi masyarakat terhadap rencana penyesuaian tarif Kereta Rel Listrik (KRL) berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK), pembatasan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertalite dan kenaikan PPn 12%.
Direktur Riset dan Komunikasi KedaiKOPI Ibnu Dwi Cahyo mengatakan, survei ini melibatkan 1.100 responden dari kawasan Jabodetabek dengan metode survei Online-Computerized Assisted Self Interview (CASI).
Ibnu mengatakan, hasil survei itu menunjukkan mayoritas masyarakat tidak setuju dengan wacana penyesuaian tarif KRL berdasarkan NIK.
“Survei menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat (78,5%) tidak setuju dengan rencana penyesuaian tarif KRL berdasarkan NIK. Alasan utama penolakan ini adalah ketidakpercayaan masyarakat terhadap efektivitas kebijakan berbasis pendataan NIK untuk menargetkan subsidi dengan tepat sasaran”, ujar Ibnu kepada wartawan.
Ibnu mengatakan, banyak masyarakat merasa rencana penyesuaian tarif KRL ini akan menambah beban ekonomi yang semakin berat, terutama di tengah kenaikan harga kebutuhan pokok lainnya.
Di sisi lain, survei ini mencatat bahwa hanya 20,6% responden yakin penyesuaian tarif KRL berbasis NIK akan tepat sasaran. Ibnu mengatakan, masyarakat merasa khawatir data pribadi yang terintegrasi dengan sistem penyesuaian tarif bisa menimbulkan risiko penyalahgunaan data.
“Sebagian besar responden juga menganggap prosedur penggunaan NIK untuk tarif KRL akan memperumit proses layanan dan berpotensi meningkatkan kemacetan di gerbang masuk stasiun,” kata Ibnu.
Lebih lanjut, kata Ibnu, rencana kebijakan pembatasan subsidi Pertalite juga menuai keberatan dari masyarakat, dengan 55,6% responden menyatakan ketidaksetujuan mereka.
Berdasarkan data survei, masyarakat khawatir kebijakan tersebut akan menaikkan harga Pertalite, yang pada akhirnya berpotensi mengerek harga-harga kebutuhan dasar lainnya.
“Masyarakat menganggap subsidi BBM seharusnya tetap dipertahankan bagi masyarakat berpenghasilan rendah, mengingat tingginya ketergantungan mereka terhadap BBM bersubsidi”, terangnya.
Di sisi lain, Ibnu menjelaskan, banyak masyarakat yang merasa bahwa pembatasan subsidi Pertalite itu justru merugikan masyarakat berpenghasilan rendah. Sistem yang masih amburadul menjadi sorotan utama masyarakat tak setuju akan adanya pembatasan subsidi tersebut.
“Terkait pembatasan subsidi Pertalite, 58,6% responden merasa kebijakan tersebut tidak akan tepat sasaran dan bisa menyulitkan mereka yang memang membutuhkan subsidi. Banyak dari mereka menyoroti ketidaktepatan sistem pendataan penerima subsidi yang dinilai masih amburadul dan memerlukan perbaikan mendasar agar tidak merugikan masyarakat berpenghasilan rendah”, jelas Ibnu.
Selain kedua isu tersebut, Ibnu mengatakan, survei juga menemukan bahwa sebagian besar responden (83,2%) menolak wacana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%.
Ia menyebut mayoritas responden (83,2%) merasa kenaikan PPN akan semakin menambah tekanan ekonomi masyarakat di Jabodetabek yang sudah menghadapi beban biaya transportasi dan BBM yang berpotensi naik.
“Isu kenaikan PPN menjadi kekhawatiran tersendiri bagi masyarakat, terutama karena dampaknya tidak hanya pada satu sektor tetapi mencakup berbagai aspek kehidupan,” ujar Ibnu.
Menyikapi hasil survei ini, Ibnu menambahkan bahwa pemerintah sebaiknya mempertimbangkan pendekatan kebijakan yang lebih partisipatif.
“Penting untuk mendengarkan aspirasi publik agar kebijakan tidak menimbulkan resistensi yang besar. Masyarakat berharap adanya kebijakan subsidi yang lebih transparan dan aksesibel bagi yang benar-benar membutuhkan,” ungkapnya.
Ibnu menegaskan bahwa pemerintah harus mempertimbangkan dampak sosial dari kenaikan pajak di tengah kenaikan harga BBM dan tarif transportasi.
“Kebijakan ekonomi yang menyentuh kebutuhan pokok seperti BBM dan transportasi harus mempertimbangkan daya beli masyarakat, terutama kelas menengah ke bawah yang paling terdampak,” tutup Ibnu Dwi Cahyo. (*)