Demokrasi Yang Baik Butuh Masyarakat Yang Cerdas

Demokrasi bisa menciptakan keadilan, keamanan dan kesejahteraan yang baik bagi rakyatnya, hanya jika basis politik masyarakat negaranya matang. Hal itu juga memiliki korelasi dengan tingkat pendapatan serta pendidikan.

Mantan Dubes RI untuk Republik Rakyat China Mayjen (Purn) Sudrajat pada diskusi dengan tema “Transforming the State for Justice and Security: Mission Impossible?” yang diselenggarakan dalam rangka Bali Civil Society and Media Forum di Gading Serpong, Banten, Selasa (5/12), menjelaskan bahwa warga dengan pendapatan dan pendidikan yang rendah memiliki kecenderungan basis politik yang tidak stabil. Mereka akan lebih mudah terperangkap dalam transaksi suara dalam pemilu dan hal tersebut mengarah pada kartel demokrasi.

Dalam kegiatan itu, turut hadir pembicara lain adalah DR. Dicky Sofjan dari Indonesian Consortium for Religious Study dan Eriyanto Nugroho dari Indonesian Center of Law and Policies Studies Foundation serta moderator Teguh Santosa

“Mereka yang memiliki uang akan memenangkan pemilu . Sehingga pada akhirnya, demokrasi hanya akan memproduksi pemimpin dengan kepentingan bak pengusaha dan jauh dari kepentingan masyarakat,” jelas Sudrajat.

“Bisakah kita mengharapkan keadian?” tanyanya.

Ia mengangkat Amerika Serikat dan Inggris sebagai contoh. Amerika Serikat baru memberikan izin bagi wanita untuk memilih di tahun 1920 dan Inggris di tahun 1941.

“Kenapa? Karena banyak orang di Amerika Serikat dan Inggris pada saat itu percaya bahwa perempuan memiliki kecerdasan yang kurang bila harus membuat keputusan politik,” jelasnya sambil menambahkan bahwa alasan yang sama juga diberlakukan pada warga Afrika-Amerika yang baru mendapatkan hak pilih mereka di tahun 1965.

Hal itu dilakukan karena bila demokrasi diproduksi oleh warga yang kurang cerdas, maka hanya akan menghasilkan demokrasi yang juga tidak cerdas

“Apakah kita bisa mengharapkan keadilan untuk disampaikan oleh demokrasi yang kurang cerdas? Kita bisa membayangkan jika calon legislatif dan calon presiden kita yang hanya membutuhkan syarat pendidikan minimum SMA dan pemilih yang bahkan buta huruf,” sambungnya.

Kondisi tersebut jelas akan memiliki dampak pada kualitas pemimpin dan kepemimpinannya.

“Kita saat ini memiliki one men one vote tanpa mempedulikan aspek kecerdasan,” tambahnya.

Lebih lanjut, Sudrajat menambahkan bahwa demokrasi dengan banyak partai akan hanya mempersulit pelaksanaan check and balaces dan hanya ada dua cara yang memungkinkan untuk melakukan hal itu.

“Pertama adalah dengan cara koalisi dan yang kedua adalah dengan power sharing atau bagi-bagi kekuasaan,” tuturnya.

Berlajar dari pengalaman, kolaisi sedikit tidak stabil karena setiap partai politik selalu menginginkan yang terbaik dari kepentingan mereka.

“Dan untuk mencapai tujuan itu, mereka mungkin berpindah dari satu koalisi ke koalisi lainnya,” ujarnya.

Sedangkan power sharing, atau bagi-bagi kekuasaan jelas akan mengarah pada bagi-bagi koalisi kabinet, bagi-bagi suara dalam parlemen. Hal tersebut jelas tidak menjauhkan mereka dari bagi-bagi korupsi.

“Untuk menyampaikan keadilan, keamanan dan kesejahteraan membutuhkan pemerintah yang kuat dan stabil. Stabilitas politik pada dasarnya fundamental bagi keamanan. Bagi kesejahteraan, kita membutuhkan lebih dari sekedar stabilitas, kita membutuhkan pemerintah yang berkelanjutan,” lanjut Sudrajat.

“Kesimpulan saya, hanya kualitas demokrasi yang bagus yang akan menciptakan pemimpin yang baik dan pemimpin yang baik akan meproduksi kualitas pemerintahan negara yang juga baik yang mampu menyampaikan keadilan, keamanan dan kesejahteraan,” tutupnya.

 

Sumber: http://politik.rmol.co/read/2017/12/06/317191/Demokrasi-Yang-Baik-Butuh-Masyarakat-Yang-Cerdas-

Ngopi Bareng dari Sebrang Istana: Haruskah Negara Terus Berutang

Poster Ngopi NGUTANG edit 2 opt

Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) akhir Agustus lalu merilis total utang pemerintah pusat mencapai Rp3.825,79 triliun. Angka ini naik Rp45 triliun dibandingkan posisi akhir Juli 2017.

Tambahan utang ini digunakan untuk kenaikan belanja produktif di bidang pendidikan, infrastruktur, kesehatan, transfer ke daerah dan dana desa, serta belanja sosial. Lainnya, beban utang ini juga adalah warisan masa lalu. Utang ini merupakan akumulasi sejak pemerintahan Orde Baru hingga sekarang. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani utang pemerintah selama ini lebih banyak digunakan untuk membayar atau mencicil utang di masa lalu, bukan untuk kegiatan produktif.

Akibat utang ini, pemerintah saat ini memang menarik utang untuk membayar bunga utang. Saat menjelaskan soal Rancangan APBN (RAPBN) 2017, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengakui utang itu telah membuat keuangan negara tidak sehat dan mengalami defisit keseimbangan primer senilai Rp 111,4 triliun. Keseimbangan primer adalah total penerimaan dikurangi belanja negara tanpa pembayaran bunga utang. Bila keseimbangan primer ini defisit, itu berarti pemerintah menarik utang untuk membayar bunga utang.

Jumlah utang ini belakangan membuat Presiden Jokowi menuai kritik. Pemerintahannya dianggap menambah beban hutang terlalu banyak. Kritik ini misalnya, muncul dalam beberapa survei yang dilakukan KedaiKOPI ketika ditanya tentang hal yang membuat mereka tak puas pada pemerintahan saat ini.

Tapi pemerintah punya banyak alasan tentang utang ini. Selain akibat warisan masa lalu, beberapa hal tidak bisa ditunda pembiayaannya. Diantaranya; investasi terhadap Sumber Daya Manusia (SDM) yang tidak bisa menunggu karena indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia yang tertinggal. IPM Indonesia di bawah 70, sementara negara lain sudah di atas 73. Kedua, 10,7% masyarakat Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan dan membutuhkan intervensi pemerintah untuk memutus siklus kemiskinan tersebut.

Lainnya yang tertinggal adalah infrastruktur. Dibanding negara-negara yang infratrukturnya minim, Indonesia masih berada di bawah. Infrastruktur Indonesia dibanding negara-negara anggota G20 pun masih di level bawah.

        Nah, haruskah negara terus berhutang? Ngopi Bareng dari Sebrang Istana akan mengudang sejumlah narasumber untuk membahasnya.

 

Narasumber:

  • Ekonom Universitas Brawijaya, Prof. Candra Fajri Ananda, Ph.D
  • Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF)
  • Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat, Andi Nurpati
  • Wakil Sekretaris Jenderal PKB, Daniel Johan

Moderator

Hardy Hermawan (Jurnalis)

Dan akan diselanggarakan pada

Hari/Tanggal: Kamis, 23 November 2017

Waktu            : 12.00-15.00 WIB (dibuka dengan makan siang)

Tempat          : Restoran “Ajag Ijig” Jl. Ir. H. Juanda No. 14, Gambir, Jakarta

Ngopi Bareng dari Sebrang Istana “Mana lebih dulu: Daya Beli Masyarakat atau Infrastruktur?”

 WhatsApp Image 2017 11 13 at 17.35.22

 

KedaiKOPI (Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia) kembali menggelar dikusi publik, NGOPI BARENG SEBERANG ISTANA. Diskusi untuk membahas persoalan terkini. Di bulan November, diskusi membahas “Mana lebih dulu: Daya Beli Masyarakat atau Infrastruktur?”

Seperti yang ramai diberitakan, sejumlah perusahaan retail di Ibukota telah menutup beberapa gerainya. Bahkan, pamit untuk selamanya. Fenomena ini memunculkan wacana bahwa telah terjadi penurunan daya beli masyarakat. Kendati, Pemerintah pada sudut pandang berbeda karena pembangunan infrastruktur kian dipercepat.

Namun, sejumlah kalangan juga khawatir jika pembangunan infrastruktur ini tidak memberikan multiplier effect sesuai harapan? Jadi mana prioritas seharusnya, daya beli masyarakat atau infrastruktur?

Diskusi publik ini akan diadakan pada hari Rabu, 15 November 2017 pukul 12.00-15.00 (dibuka dengan makan siang) dan bertempat di Restoran “Ajag Ijig” Jl. Ir. H. Juanda No. 14, Gambir, Jakarta (https://goo.gl/maps/3fLrX1nocey).

Acara disuki publik (Ngopi Bareng dari Sebrang Istana ini menghadirkan beberapa narsumber yang ahli dalam bidangnya yaitu Ekonom & Menko Maritim 2015-2016, Rizal Ramli, ketua DPRRI 2015-2016 dari Partai Golkar, Ade Komarudin, Wakil Sekjen DPP PDIP, Erico Sutarduga, Sekjen DPP Partai Amanat Nasional (PAN), Eddy Soeparno, Wakil Ketua Umum Partai GERINDRA, Ferry Juliantono, Pengamat Kebijakan Publik, Agus Pambagyo dan Pendiri Lembaga Survei KedaiKOPI, Hendri Satrio

Moderator: Vivi Zabkie (Deputi Direktur Lembaga Survei KedaiKOPI)

Untuk informasi lebih lanjut bisa menghubungi Tifa (082210125516) atau Reza (0818414748).

 

 

KedaiKOPI (Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia) telah menggelar berabagi diskusi terkait dengan persoalan publik terkini sejak 2003. KedaiKOPI juga melakukan serangkaian riset dan survei.

Dorong Daya Beli, UMP Harusnya Naik 9,50 Persen

Jumlah kenaikan upah minimum provinsi dinilai masih belum cukup untuk mendongkrak daya beli masyarakat yang melemah. Ekonom Indef, Bhima Yudhistira menjelaskan, dengan kenaikan upah sebesar 8,71 persen, upah riil hanya naik sebesar 5,00 persen.

Read more

BPS Prediksi Pertumbuhan Ekonomi Sulit Mencapai 5,2 Persen

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan III tahun ini mencapai 5,06 persen. Padahal pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi pada akhir tahun ini harus mencapai 5,2 persen.

 

Read more

PELAMBATAN PERTUMBUHAN RETAIL FMCG INDONESIA

Tahun ini FMCG hingga September mengalami perlambatan pertumbuhan dimana growth hanya mencapai 2.7% sedangkan rata-rata pertumbuhan normal tahunan mencapai 11%.

Read more

Indonesia Consumer Buying Trend

Ini merupakan 9 customer behavior trends dalam cover storynya. Tak disangkal, memahami perilaku konsumen di sebuah wilayah adalah mutlak bagi pemasar.

Selengkapnya silahkan [klik disini]

Pemuda Indonesia di zaman NOW, Masih Bangga Menggunakan Bahasa Indonesia

 Jakarta 27 Oktober 2017. Menyambut hari Sumpah Pemuda yang diperingati setiap 28 Oktober,  Lembaga survei KedaiKOPI melakukan jajak pendapat melalui akun media sosial twitter  dengan mengangkat tema terkait hari Sumpah Pemuda.
 
Jajak pendapat dilakukan dari tanggal 25 -27 Oktober 2017 dengan dua pertanyaan yang mewakili makna persatuan dan cinta tanah air yang tersirat dalam cita-cita pemuda dan pemudi yang bersumpah bersatu dalam satu tanah air, bangsa dan Bahasa pada tahun 1928 silam. Nah bagaimana reaksi pengikut twitter @SurveiKedaiKOPI?
 
Dari pertanyaan jajak pendapat @SurveiKedaiKOPI ‘Mana diantara tindakan ini yang Kopikers lakukan untuk menunjukkan rasa persatuan Indonesia?’ Sebanyak 48%  memilih menjawab “Bangga menggunakan Bahasa Indonesia.” Selain itu, ada pilihan lain yang menjadi jawaban dalam pertanyaan tersebut, 26% memilih selalu membeli merek lokal, 23% berlibur di dalam negeri dan sisanya sebanyak 3% menjawab lainnya.
 
 
 
 
 
 
Selain menanyakan bagaimana menunjukan rasa persatuan Indonesia, polling kedua survei KedaiKopi juga menyakan berapa banyak bahasa daerah yang dikuasai oleh pengikut twitter @surveiKedaiKopi. Pertanyaan ini dimunculkan karena Bahasa daerah adalah bagian dari keragaman budaya Indonesia. Bahasa ini bisa menjadi penghubung generasi lalu dengan sekarang untuk menyiapkan generasi akan datang yang memiliki jati diri yang kokoh dan menghargai warisan luhur bangsanya.
 
 
 
 
Lalu bagaimana penguasaan Bahasa daerah Kopikers? Ternyata sebanyak 31% mengaku mereka menguasai lebih dari 3 bahasa, masing-masing 25% mengakui hanya bisa 2 dan 1 bahasa daerah. Sisanya hanya 19% yang tidak bisa atau tak menguasai satupun bahasa daerah.
 
Selamat merayakan hari Sumpah Pemuda, tetap satu dalam tanah air, bangsa dan bahasa; Indonesia!

 

Din Syamsuddin Utusan Khusus Bidang Dialog dan Kerja Sama Antaragama dan Peradaban

Presiden Joko Widodo hari ini, Senin, 23 Oktober 2017, secara resmi mengangkat Prof. Dr. K.H. Muhammad Sirajuddin Syamsuddin atau Din Syamsuddin sebagai Utusan Khusus Presiden dalam bidang dialog dan kerja sama antaragama serta peradaban. Pengangkatan tersebut disampaikan Presiden usai keduanya bertemu didampingi Menteri Sekretaris Negara Pratikno di Istana Merdeka Jakarta.

 

Read more

Penolakan Panglima TNI Dinilai Kesalahan Diplomatik Serius

Politikus Partai Keadilan Sejahtera Mahfudz Siddiq menilai pelarangan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo masuk Amerika Serikat sebagai tindakan kesalahan diplomatik serius. Tindakan yang menurutnya mempermalukan Indonesia ini sulit dicari pembenarannya.

Apalagi kedatanganGatot Nurmantyo atas undangan resmi Panglima Angkatan Bersenjata AS Jenderal Joseph F Durford Jr. “Tindakan Washington ini hanya akan merugikan kepentingan AS di Indonesia dan juga kawasan,” jelas Mahfudz Siddiq dalam keterangan tertulis diterima Republika.co.id, Senin (23/10).

Mahfudz mengatakan, selain kepada Gatot, sebelumnya pihak AS menerapkan larangan masuk ke AS kepada Jendral (Purn) Wiranto dan juga kepada Mayjen (Purn) Prabowo Subianto. Tindakan ini menurutnya malah merugikan kepentingan AS.

“Padahal dinamika politik dan keamanan di kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur, telah menuntut AS untuk memperkuat hubungan bilateralnya dengan negara-2 di kawasan ini. Kali ini pihak AS telah melakukan sebuah kesalahan serius,” kata dia.

Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Tentara Nasional Indonesia (TNI) Mayjen TNI Wuryanto mengaku belum dapat penjelasan dan menunggu mengenai alasan penolakan terhadap Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo masuk ke Amerika Serikat. Sejauh ini belum ada jawaban rinci dan resmi dari Pemerintah AS terkait penolakan tersebut.

“Kami masih belum tahu mengenai alasan penolakan terhadap Panglima TNI masuk ke AS,” ujar Wuryanto dalam konferensi pers di Jakarta, Ahad (22/10).

Dia menjelaskan sedianya Panglima TNI berangkat ke Amerika Serikat pada Sabtu (21/10) dengan menggunakan pesawat Emirates dengan jadwal keberangkatan pukul 17.50 WIB. Namun beberapa saat setelah memasuki bandara, Panglima dan rombongannya diberi tahu oleh pihak maskapai mengenai penolakan dari pihak US Custom and Border Protection tersebut.

Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo sedianya akan menghadiri acara para pimpinan angkatan bersenjata Chiefs of Defense Conference on Country Violent Extremist Organization (VEOs) di Washington DC, Amerika Serikat, 23 hingga 24 Oktober.

 

 

Sumber : http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/17/10/23/oy8sfm284-penolakan-panglima-tni-dinilai-kesalahan-diplomatik-serius