Jakarta, 5 Juli 2018-Indonesia memiliki target untuk memenuhi kebutuhan pertahanan dan tidak bergantung pada negara lain dalam hal peralatan militer di tahun 2029. Pada tahun 2010, Indonesia membentuk Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) yang bertujuan menyusun rencana induk (master plan) untuk membangun kembali industri pertahanan yang sempat bangkrut pada krisis tahun 1998. Namun hingga saat ini kondisi industri pertahanan Indonesia dinilai masih tetap stagnan.
Industri pertahanan Indonesia berada di puncak kejayaannya pada rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan B.J. Habibie sebagai Menteri Riset dan Teknologi. Pada masa itu, pemerintah membuat pabrik pesawat terbang, IPTN (sekarang Dirgantara Indonesia). IPTN membangun CN-235 pada tahun 1980. Perusahaan ini juga hampir merintis pesawat penumpang kecil Indonesia N-250, setelah membangun dua prototipe pada tahun 1996. Namun krisis finansial di Asia pada tahun 1997 menghancurkan industri tersebut.
Tiga pemain utama dalam industri pertahanan di Indonesia adalah PINDAD (peralatan militer angkatan darat), PAL (produksi kapal), Dirgantara Indonesia (produksi pesawat terbang). Klien terbesar dari ketiga perusahaan tersebut adalah Kementerian Pertahanan, TNI, dan polisi. Ketiga perusahaan tersebut mengekspor hasil produksinya seperti senapan, Anoa, kapal perang, serta pesawat terbang ke negara lain yakni Bangladesh, Uni Emirate Arab, Brunei Darussalam, Pakiston, Timor Leste, Filipina, Thailand, Korea Selatan, Vietnam, Malaysia, Senegal, Burkina Faso, dan Venezuela. Namun untuk beberapa peralatan militer, ketiga perusahaan tersebut masih belum dapat memenuhi permintaan dari instansi pemerintahan sehingga masih mengimpor dari luar negeri seperti tank tempur, kapal rudal, kapal patroli lepas pantai, kapal selam yakni dari Amerika Serikat, Rusia, Jerman, Inggris, Belanda, Spanyol, Italia, dan juga Korea selatan.
Penting bagi Indonesia untuk menjadi mandiri dalam industri pertahanan. Ini untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya embargo dari negara-negara lain. Masalah yang kemudian dihadapi oleh industri pertahanan di Indonesia adalah pendanaan untuk riset dan pembangunan teknologi pertahanan. Ini akan memberikan dampak pada Indonesia akan sulitnya untuk membangun teknologi mutakhir untuk produk militer dan menjadikan Indonesia kurang kompeten di pasar global. Untuk mengatasi masalah tersebut, maka pemerintah seharusnya meningkatkan alokasi anggaran untuk program riset dan pembangungan senjata militer.