Pengamat: Aktor Intelektual Orkestrasi Penundaan Pemilu Meremehkan Kecerdasan Publik

Pengamat: Aktor Intelektual Orkestrasi Penundaan Pemilu Meremehkan Kecerdasan Publik

Siaran PERS

Jakarta, 6 Maret 2022. Pemerintah dan DPR telah menyepakati pelaksanaan Pemilu 2024 jatuh pada tanggal 14 Februari 2024. Dengan diputuskannya tanggal pelaksanaan Pemilu, maka otomatis menghentikan wacana perpanjangan masa jabatan presiden Jokowi hingga beberapa tahun. Kendati demikian, beberapa elit partai politik partai koalisi pemerintah belakangan kembali menyuarakan wacana yang sama meski jadwal pemilu telah ditetapkan.

Menurut analis komunikasi politik Hendri Satrio, seharusnya Presiden Jokowi mengumumkan dengan tegas bahwa Pemilu harus dilaksanakan pada 14 Februari 2024 bukan dengan statement taat konstitusi. “Konstitusi bisa disesuaikan nanti, kalau ada niat untuk mengkudeta konstitusi,” terang Hendri. Hendri menyarankan apabila Jokowi enggan untuk menyampaikan statement maka bisa dibantu oleh pemimpin lain seperti Kyai Ma’ruf Amin selaku wakil presiden. Dirinya juga menganggap aktor intelektual yang menyampaikan orkestrasi penundaan pemilu, penambahan masa jabatan presiden, dan penambahan periode masa jabatan presiden adalah jahat sekali untuk Indonesia. Bagi Hendri aktor intelektual ini bukan hanya sudah mengkudeta KPU yang merupakan Lembaga negara yang secara sah menyelenggarakan Pemilu dan telah menetapkan jadwal pelaksanaan Pemilu 2024, namun juga menganggap remeh kecerdasan rakyat Indonesia.

Pria yang akrab disapa Hensat ini memuji langkah Gubernur Anies yang dengan jelas menolak narasi penundaan pemilu. Dirinya berharap langkah serupa juga diikuti oleh pemimpin daerah lainnya seperti Bobby Nasution dan Gibran Rakabuming selaku pemimpin Kota Medan dan Solo. Menurut Hendri, taat pada konstitusi merupakan cara yang paling mudah bagi seorang pemimpin memberi contoh kepada rakyat untuk selalu berada pada garis konstitusi demi Indonesia. Lagi pula Hendri berkesimpulan penundaan Pemilu tidak ada keuntungannya bagi Indonesia

Sudirman Said menegaskan tidak ada alasan secara moral untuk menunda Pemilu apalagi menambah masa jabatan presiden. Sudah banyak juga para tokoh yang mengingatkan bahaya yang mengekor penundaan Pemilu ini. Ketua Institut Harkat Negeri ini juga mengingatkan kepada pemerintah bahwa kekuasaan yang sedang dipegang oleh mereka saat ini adalah sesuatu yang dipinjamkan dan bersifat sementara sehingga perlu selalu ada penyegaran.

Sudirman menyarankan agar Presiden Jokowi dapat memanfaatkan sisa masa jabatannya dengan baik dan membuat citra positif sehingga akhir kekuasaan beliau dapat diakhiri dengan baik. Ia juga mengajak kita semua agar membantu Presiden Jokowi menyelesaikan tugasnya secara terhormat.

Titi Anggraini selaku pemerhati demokrasi mengatakan narasi penundaan pemilu ini sudah terindikasi sejak lama, yakni pada pertengahan 2020. Hanya saja, pada saat itu narasi ini terpotong hingga penundaan pemilu dan tidak disertai perpanjangan masa jabatan presiden. Masyarakat mulai terkejut ketika Menteri Bahlil menyampaikan narasi ini kepada publik. Titi menjelaskan bahwa narasi penundaan Pemilu dengan perpanjangan masa jabatan adalah melanggar asas konstitusi, yakni pelanggaran terhadap asas kedaulatan rakyat, pelanggaran kewajiban pemilu secara periodik yang tertuang pada pasal 22 E ayat 1 yang menubuatkan bahwa Pemilu dilaksanakan secara Luberjurdil setiap lima tahun sekali, dan penundaan pemilu merupakan alasan untuk menerabas pasal-pasal yang selama ini berlaku. Baginya strategi penundaan Pemilu merupakan strategi rezim otoritarian untuk melanggengkan kekuasaan dan ini lebih berbahaya daripada narasi presiden tiga periode.

Dari sudut pandang pakar hukum tata negara Bivitri Susanti, narasi penundaan Pemilu dan amandemen konstitusi ini merupakan langkah pengkhianatan konstitusi. Ia menegaskan bahwa konstitusi bukan sebatas teks yang dapat diubah sesuka hati. Konstitusi pada dasarnya adalah gagasan tentang pembatasan kekuasaan. “Kalau jalan keluarnya adalah perubahan konstitusi ya mudah saja, bahkan lebih mudah dari proses legislasi yang mensyaratkan partisipasi publik,” terang Bivitri.

Menurut Bivitri, ketua umum partai politik yang sempat menyampaikan narasi penundaan Pemilu seharusnya malu kepada konstitusi. Ia mengingatkan dalam sejarah bahwa penundaan Pemilu akan berujung pada keburukan. Seperti pada masa Presiden Soekarno dan Soeharto yang beberapa kali menunda Pemilu pada masa pemerintahannya yang pada akhirnya, sejarah mencatat, tindakan penundaan Pemilu berujung pada ketidakstabilan kondisi bangsa Indonesia.

Dari sisi ekonomi, Prof. Chandra Fajri Ananda menyatakan bahwa Pemilu tidak terlalu membebankan APBN, lain halnya dengan pembangunan IKN. Sebaliknya, bila Pemilu sampai ditunda dan membuat instabilitas politik maka akan sangat mungkin akan menjadi bencana untuk ekonomi Indonesia. Prof. Chandra juga menjelaskan bahwa pesta demokrasi dapat meningkatkan perilaku belanja masyarakat sehingga dapat mendukung perputaran ekonomi di masyarkat.

Berdasarkan sudut pandang komunikasi internasional, Teguh Santosa menyampaikan narasi penundaan Pemilu merupakan wujud ketidakmampuan Indonesia di tengah presidensi G20. Momentum yang seharusnya dimanfaatkan untuk Indonesia memamerkan kepercayaan dirinya malah dihiasi dengan narasi ketidakpercayaan diri melakukan pemilihan umum dengan berbagai alasan yang tentunya secara otomatis memperlihatkan kelemahan Indonesia. Dirinya tidak habis pikir bila narasi ini terus dilanjutkan di tengah mata dunia sedang tertuju pada Indonesia.

Deddy Miing Gumelar mencoba memandang narasi penundaan Pemilu ini dari perspektif kebudayaan. Dirinya mengingatkan bahwa peraturan dibuat bukan untuk dilanggar. Miing menggarisbawahi persoalan etika dalam persoalan ini. Miing melihat ada pelanggaran etika bernegara yang terjadi dan dicontohkan oleh para elit politik kepada masyarakat. Miing yakin Cak Imin, Zulkifli Hasan, dan Airlangga bukannya tidak tahu bahwa pernyataan mereka akan mengarah pada pelanggaran konstitusi, dan dirinya turut mempertanyakan ke mana rasa malu dan akhlak para elit politik saat ini. Miing berpesan kepada Presiden Jokowi bahwa memang penting untuk membangun infrastuktur jalan, namun, yang lebih penting adalah membangun jalan pikirian bangsa Indonesia cara berpikir bangsa ini lebih konstruktif.

Diskusi Publik Dapur KedaiKOPI: “Kata Pakar Bila Pemilu Ditunda” diselenggarakan secara daring oleh Lembaga Survei KedaiKOPI dan dihadiri oleh Pemerhati Demokrasi Titi Anggraini, Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti, Ketua Institut Harkat Negeri Sudirman Said, Budayawan Dedy Miing Gumelar, Guru Besar FEB Universitas Brawijaya & Pakar Ekonomi Prof. Candra Fajri Ananda, Pelaku Komunikasi Internasional Teguh Santosa, dan Analis Komunikasi Politik Hendri Satrio sebagai pembicara.

Facebook
WhatsApp
X
Telegram

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *