Survei KedaiKOPI: Ini Respon Publik terhadap Cadar, Sebutan Kafir dan Perlindungan Beribadah di Era Jokowi

Jakarta, 21 Mei 2018 –  Lembaga Survei KedaiKOPI (Kelompok Diskusi dan Opini Publik Indonesia) menginformasikan beberapa hasil survei yang dilaksanakan pada Maret 2018 tentang isu cadar, kontroversi sebutan kafir dan perlindungan beribadah di era Jokowi.

Survei yang melibatkan 1135 responden di 34 propinsi pada 19-27 Maret 2018 memiliki Margin of Error (MoE) +/- 2,97 % pada tingkat kepercayaan 95%.

Direktur Riset Lembaga Survei KedaiKOPI Kunto Adi Wibowo menjelaskan ketiga isu ini ditanggapi beragam oleh responden. “Isu cadar misalnya, menurut responden cadar tidak berafiliasi dengan kelompok radikal (63,3%). Hanya 12,6% yang mempersepsikan cadar terafiliasi dengan kelompok radikal, 24,1% menjawab tidak tahu,” kata Kunto.

Survei ini juga menanyakan apakah penggunaan cadar perlu diatur oleh pemerintah/sekolah/universitas.

Responden yang berpendapat penggunaan cadar tidak perlu diatur oleh pemerintah (54%),  menjawab perlu diatur (21,5%), sisanya menjawab tidak tahu.

Ujaran Kebencian
Survei yang dilakukan di 34 propinsi ini juga meminta responden menanggapi penggunaan sejumlah kata yang dianggap sebagai ujaran kebencian.

Responden setuju (42,2%) jika ungkapan kafir terhadap mereka yang non muslim adalah ujaran kebencian. Lainnya; antara setuju dan tidak (25,7%), tidak setuju (32,1%).

Responden juga ditanya tentang ungkapan ‘cina’ terhadap mereka yang beretnis Tionghoa.

Tentang ungkapan Cina ini, 32,4% responden menyatakan setuju, jika ungkapan terhadap mereka yang beretnis Tionghoa itu merupakan ujaran kebencian.

Tidak setuju atau tidak menganggapnya sebagai ujaran kebencian (38,9%) sementara sisanya,  antara setuju dan tidak (28,7%).

Sementara saat ditanya tentang ungkapan untuk memerangi mereka yang beraliran sesat atau mereka yang tidak seagama, 58,4% setuju jika ungkapan itu bukanlah ujaran kebencian. Sisanya 41,6% menyatakan tidak setuju atau menganggap ungkapan itu adalah ujaran kebencian.

Kunto A Wibowo mengatakan, survei ini juga meminta responden menyebutkan kelompok apa yang paling mereka hindari?

Pada pertanyaan terbuka itu, responden menyebut organisasi terlarang (19,5%), PKI (13,8%), FPI (8,9%), aliran sesat (6,0%), ISIS (4,8%), teroris (4,4%), kelompok radikal (2,4). “Sisanya menyebut kelompok-kelompok lainnya, tidak tahu dan tidak jawab,” ujar Kunto.

Perlindungan Hak Beribadah Lebih Baik
Responden juga ditanyakan tentang bagaimana peran pemerintahan Joko Widodo dalam melindungi hak untuk menjalankan perintah agama dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya.

Sebanyak 48% responden menganggap peran pemerintahan Joko Widodo dalam melindungi hak untuk menjalankan perintah agama lebih baik dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya. “Yang menganggap tidak ada perubahan 41,5%, lebih buruk 5,5%, dan sisanya menjawab tidak tahu,” jelas Kunto.

Sebanyak 87,5% juga menyatakan tidak was was dalam dalam beribadah  pada pemerintahan Joko Widodo. Sisanya 12,5% menjawab iya, was was saat beribadah.

Pemerintahan Joko Widodo juga dinilai tidak membatasi kebebasan menjalankan perintah agama atau kebebasan beribadah (87%). Responden yang merasa hak beribadahnya dibatasi 13%.

Responden juga ditanyakan apakah merasa ulama diperlakukan tidak adil pada pemerintahan Joko Widodo? ”67,1% menjawab tidak, 17,6% menjawab ya. Sisanya menjawab tidak tahu,” tambah Kunto.

Survei ini dilakukan terhadap 1135 responden di 34 propinsi dengan Margin of Error (MoE) +/- 2,97 % pada tingkat kepercayaan 95,0%. Responden adalah masyarakat Umum (calon pemilih berusia >17 tahun atau sudah menikah) dan dipilih dengan menggunakan metode Multistage Random Sampling dan diwawancarai dengan tatap muka (home visit) pada 19-27 Maret 2018.

Hasil survei bisa diunduh di sini.