10 Juli 2022
Siaran Pers
Jakarta, 9 Juli 2022
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti memandang pemerintah terlihat tidak siap terhadap besarnya potensi dana donasi masyarakat yang suatu saat dapat digunakan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat. Pernyataan ini diungkapkan pada diskusi daring dengan tajuk “Polemik Pengelolaan Dana Filantropi” yang diselenggarakan oleh Forum Solidaritas Kemanusiaan (9/7).
Ketidaksiapan pemerintah, menurut Bivitri, tercermin dari kinerja Kementerian Sosial yang menterinya masih saja tersandung kasus korupsi. Selanjutnya, ketiadaan data valid yang dimiliki oleh pemerintah terkait jumlah penduduk miskin yang harus dibantu. “Dengan ketiadaan data tersebut pemerintah tidak bisa mengklasifikasikan bantuan apa yang harus diberikan yang mengakibatkan metode penyaluran bantuan terkesan kuno sehingga menimbulkan celah korupsi,” tukas Bivitri.
Bivitri juga menegaskan bahwa selama ini pemerintah lamban dalam bertindak untuk membantu masyarakat yang sedang membutuhkan bantuan dikarenakan faktor rumitnya birokrasi. Hal ini berbanding terbalik dengan lembaga-lembaga filantropi yang terkesan cepat tanggap dalam menyalurkan bantuan tanpa membutuhkan proses birokrasi yang panjang. Sehingga pada era Presiden Abdurrahman Wahid Kementerian Sosial dibubarkan oleh beliau dengan alasan Kementerian tersebut tidak akan sanggup menyaingi kecepatan inisiatif masyarakat dalam membantu sesama.
Lebih jauh, Bivitri berharap kasus yang menimpa salah satu yayasan filantropi besar di Indonesia baru-baru ini dapat dijadikan sebagai momentum perbaikan terhadap regulasi yang selama ini berlaku, bukan dengan mengambil kebijakan populis seperti pembekuan dan pelarangan aktivitas lembaga yang bersangkutan. Sebagai contoh Undang-Undang No. 9 tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang dan Barang (PUB) sudah selayaknya dilakukan penyegaran agar akuntabilitas lembaga filantropi semakin terjaga.
Menguatkan pendapat Bivitri, Koordinator Nasional Forum Solidaritas Kemanusiaan (FSK) Sudirman Said mengungkapkan bahwa kita tidak boleh dengan mudahnya membubarkan sebuah lembaga filantropi. Pandangan tersebut menurut Sudirman dikarenakan Indonesia membutuhkan dan akan semakin membutuhkan lembaga sosial dengan jumlah yang banyak di masa yang akan datang karena indeks kedermawanan masyarakat Indonesia akan selalu terjaga.
Sudirman menekankan soal manajemen lembaga filantropi. Dirinya mengingatkan bagi para petinggi lembaga filantropi agar selalu menjaga etika dan moral agar jangan sampai lembaga filantropi terkena “jebakan maut” yaitu bertemunya idealisme dengan diskresi tanpa kontrol, terlebih yang berhubungan dengan benefit ekonomi pribadi. Dirinya turut mengajak agar lembaga filantropi secara bersama-sama menjaga kepercayaan publik dengan cara menjaga etika dan moral.
Dalam upaya menjaga kepercayaan publik, Deputi BAZNAS RI Arifin Purwakananta menjelaskan bahwa BAZNAS RI sebagai lembaga filantropi agama berada dalam pengawasan dan audit dari Kementerian Agama (Kemenag). Selain itu lembaga filantropi agama juga diaudit syariat secara detail. BAZNAS RI memiliki jargon bagi para lembaga pegiat zakat agar selalu berada dalam koridor yang benar yakni Aman Regulasi (harus sesuai regulasi yang berlaku), Aman Syar’i (harus sesuai dengan syariat agama), dan Aman NKRI (zakat yang dihimpun harus bisa memperbaiki keadaan bangsa Indonesia).
Ketua Pengurus Perhimpunan Filantropi Indonesia Rizal Algamar menambahkan, bahwa sebagai donatur masyarakat berhak menanyakan seputar organisasi filantropi yang akan menerima dana dari donatur. “Jangan ragu bertanya pada organisasi yang akan menjadi mitra dalam kegiatan filantropi kita dan lembaga tersebut wajib untuk menjawabnya secara benar” terang Rizal. Sebagai contoh donatur dapat menanyakan visi dan misi lembaga tersebut, lalu berapa persen biaya yang akan diambil untuk menjadi biaya operasional, hak menerima laporan dan lain sebagainya.