Siaran Pers
Jakarta, 15 Februari 2022
Peristiwa di Desa Wadas dapat menjadi refleksi mengenai tujuan pembangunan yang mengedepankan asas-asas kemanusiaan, keadilan, kejujuran, dan melindungi sesama. Hal ini disampaikan oleh Sudirman Said selaku Koordinator Nasional Forum Solidaritas Kemanusiaan Di dalam diskusi publik “Wadas: Panggilan Kemanusiaan dalam Pembangunan” yang diselenggarakan oleh Forum Solidaritas Kemanusiaan yang didukung oleh Lembaga Survei KedaiKOPI dan Institut Harkat Negeri (IHN) bersama Kemanusiaan pada Selasa, 15 Februari 2022 secara daring.
Sudirman mengatakan bahwa kita harus kembali mengalibrasi bagaimana cara mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, karena itu tujuan utama dari bernegara, terutama dengan sila ke empat yakni bermusyawarah dan berdemokrasi.
“Tujuan bernegara kita ingin mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, itu tujuan utama dari bernegara, caranya dengan sila ke empat, dengan bermusyawarah, berdemokrasi, kemudian musyawarah tidak mungkin dilakukan tanpa semangat bersatu. Maka kita pegang teguh persatuan Indonesia, kemudian persatuan hanya mungkin apabila di antara kita, saling menghargai aspek kemanusiaan, karena itu sila kedua kemanusiaan yang adil dan beradab,” imbuh Sudirman.
Anggota Komnas HAM Beka Ulung Hapsara mengungkapkan bahwa masalah tambang batu andesit di desa Wadas membuat warga terpecah belah menjadi dua sisi, antara pro dan kontra. Selain itu, di sisi lain, warga Desa Wadas juga menurutnya sedikit trauma dan banyak yang tidak berani pulang ke rumah mereka.
“Concern saya adalah soal relasi sosial, ini warga terpecah belah, di sisi lain warga ada trauma segala macam yang itu juga harus segera disikapi. Saya tidak melihat mana yang lebih besar, mana yang lebih sedikit, tetapi bagaimana kemudian suara-suara warga kita didengar kemudian kita lindungi haknya,” ungkap Beka.
Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil menyatakan bahwa pihaknya sudah meminta ke Gubernur, bahwa hak kepemilikan harus diakui, walaupun dalam UU Agraria Pasal 18 sudah diatur mengenai kepentingan bangsa negara dan masyarakat. “Hak kepemilikan itu bisa dicabut, tapi harus diingat, hak kepemilikan tidak hanya kepemilikan semata, tapi di situ ada unsur psikologis emosional di dalamnya, sehingga tidak bisa pendekatannya sok kuasa,” jelasnya.
Nasir Djamil juga sudah mengingatkan kepada pemerintah mengenai aspek psikologis emosional yang sebelumnya diabaikan oleh pemerintah. “Karena itu saya katakan kepada pemerintah, terkait dengan Bendungan Bener di Purworejo itu segeralah tunaikan hak rakyat dan bayarlah kompensasi kepada rakyat yang telah memberikan lahan mereka untuk pembangunan Bendungan Bener yang merupakan proyek strategis nasional,” katanya.
Nasir juga menyarankan pemerintah untuk mencari alternatif lain, dan untuk menghormati hak masyarakat yang ada di Wadas tersebut. “Kalau warga sudah menolak, alihkan ke tempat lain, hormati kemauan rakyat karena mereka ingin menjaga alam mereka,” tegas Nasir.
Di kesempatan ini, Miing Gumelar menyatakan bahwa orang-orang di Desa Wadas saat ini tidak dijaga rasa amannya. Menurutnya rasa aman adalah hak dasar dari warga negara Indonesia (WNI yang harus dilindungi. “Kalau sekarang mereka takut, berarti pemeritahan dari level bawah sampai atas melakukan tindakan pelanggaran terhadap konstitusi,” katanya.
Menurut Beka Ulung, apabila warga sudah ingin memutuskan apakah mereka menerimanya, hal ini harus berada di kondisi bebas tekanan dan intimidasi. “Ketika mereka memutuskan juga, memutuskannya dalam situasi kondisi bebas dari tekanan, bebas dari intimidasi, atau bebas dari provokasi. Itu yang penting yang perlu kita dorong bersama, sehingga nantinya Wadas punya solusi,” katanya.
Sementara itu Okky dan Miing juga menyarankan bahwa pemerintah saat ini harus merumuskan bagaimana pembangunan berjalan, tanpa mengganggu warga Wadas. “Ketika mereka menolak, ya sudah, gunakan kecerdasan pemerintah untuk mencari alternatif lain, pembangunan tetap jalan tanpa harus merusak tatanan sosial, adat istiadat penduduk lokal,” kata Miing.
Dari peristiwa ini Sudirman Said juga melihat ada beberapa hal yang keliru di sisi pemerintah, terutama dalam pengelolaan krisis. Bahkan, ia menyayangkan dialog dan komunikasi yang dilakukan pemerintah, seperti Menko Polhukam Mahfud MD dan Gubernur Jateng Ganjar Pranowo yang tidak mendinginkan publik, malah cenderung menutupi keadaan dan menyimplifikasi situasi seolah tidak ada hal yang rumit, sehingga letupan masalah terjadi di masyarakat.
“Padahal dalam krisis manajemen itu prinsip-prinsip mengelola krisis yang pertama-tama kita mesti menjelaskan apa adanya, karena semakin ditutupi, letupan-letupan berikutnya semakin kredibilitas dari pengelola krisis, semakin turun,” katanya.
Sudirman mengatakan bahwa kita harus kembali mengalibrasi bagaimana cara mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, karena itu tujuan utama dari bernegara, terutama dengan sila ke empat yakni bermusyawarah dan berdemokrasi.
Diskusi publik “Wadas: Panggilan Kemanusiaan dalam Pembangunan” yang diselenggarakan oleh Forum Solidaritas Kemanusiaan yang didukung oleh Lembaga Survei KedaiKOPI dan Institut Harkat Negeri (IHN) bersama Kemanusiaan. Diskusi ini dihadiri oleh Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil, Kornas Forum Solidaritas Kemanusiaan Sudirman Said, Anggota Komnas HAM Beka Ulung Hapsara, Budayawan Dedy Miing Gumelar, dan Penulis Okky Madasari sebagai pembicara.