Melindungi Generasi Muda Indonesia dari Tembakau

Jakarta, 29 Juni 2018-Indonesia adalah negara dengan ekonomi terbesar di Asia tenggara dan lebih dari sepertiga populasinya adalah anak muda yang berusia kurang dari 20 tahun. Negara yang menjadi pasar rokok terbesar kedua setelah China ini merupakan rumah bagi 100 juta perokok. Perokok di Indonesia mulai aktif mengkonsumsi sejak usia muda karena mudahnya akses untuk mendapatkan rokok serta murahnya harga rokok yang disebabkan oleh kurangnya regulasi pemerintah terhadap konsumsi rokok. Survei Global Youth Tobacco pada tahun 2014 menunjukkan bahwa sebanyak tiga perlima murid di Indonesia terekspos dengan iklan rokok yang kemudian mempengaruhi dengan mudah untuk mengkonsumsi rokok.

Produktivitas Indonesia pun menghadapi ancaman karena generasi mudanya yang banyak menjadi perokok. Untuk menyelamatkan generasi masa depan Indonesia dari epidemi kardiovaskular, maka penting bagi pemerintah untuk menekan angka konsumen rokok di usia muda. Mencegah peningkatan angka perokok muda merupakan suatu hal yang krusial bagi pemerintah Indonesia jika hendah menekan angka perokok bagi usia muda.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh akademisi dari University of Sydney, Universitas Udayana, Bali, serta Universitas Airlangga, Banyuwangi, menemukan bahwa hanya sekitar 11 dari 1.000 toko yang tidak menampilkan iklan rokok. Tujuh dari sepuluh penjual setidaknya menampilkan iklan rokok pada banner tokonya.

Penelitian ini juga menemukan bahwa 367 dari 379 sekolah setidaknya memiliki satu toko rokok yang berjarak 250 meter. Lebih dari separuh penjual di Denpasar mengaku telah menjual rokok kepada anak muda. Mereka pun juga menyediakan rokok yang dijual satuan, dimana di negara-negara lain telah dilarang, yang dinilai lebih murah dan lebih mudah didapatkan bagi anak-anak.

Menteri Kesehatan memiliki target untuk megurangi konsumsi tembakau sebesar 30% di tahun 2025. Selain itu, pemerintah juga bertujuan untuk mengurangi konsumsi rokok pada anak-anak dari 7,2% di tahun 2013 menjadi 5,4% di tahun 2019. Namun dengan lemahnya kontrol pemerintah terhadap tembakau, terlihat mustahil untuk mencapai target tersebut jika 16,4 juta perokok baru berusia 10-19 tahun bertambah setiap tahunnya.

Berikut terlampir laporan penelitian secara lebih lengkap:

Protecting young Indonesian hearts from tobacco

File 20180605 119888 1691c91.jpg?ixlib=rb 1.1
The death threat looms large over Indonesian youth as their rate of smoking is high. www.shutterstock.com

Putu Ayu Swandewi Astuti, University of Sydney and Becky Freeman, University of Sydney

The world’s second-largest market for tobacco after China, Indonesia is home to 100 million smokers. Smoking kills more than 200,000 Indonesians a year.

The death threat also looms over its young generation. A fifth of Indonesians between 13 and 15 years old smoke, the highest rate in the region.

The government needs to stop the tobacco industry from wooing young people to avoid the country’s future burden from chronic smoking-induced disease.

Smoking is a major cause of heart and other vascular diseases. This year’s World No Tobacco Day theme is “Tobacco and Heart Disease” to raise awareness of the impact of smoking and to encourage countries to strengthen tobacco control policy.

Stronger tobacco control measures must exist in Indonesia to reduce the social and economic costs of smoking. The latest research shows that smoking cost Indonesia almost Rp600 trillion (US$43 billion) in 2015.

This article will offer some strategies to help Indonesia save the country’s future from the smoking-associated deaths stalking its young generation.

Too young to smoke

Indonesians start smoking at younger ages. Cigarettes are widely available and sold at cheap prices due to the government’s lack of tobacco control.

The 2014 Global Youth Tobacco Survey showed three out of five Indonesian students aged between 13 and 15 were exposed to cigarette advertisements and could buy cigarettes easily.

A project funded by the Australia-Indonesia Centre has highlighted the tobacco companies’ extensive retail promotion in Denpasar, Bali.

Involving a research team from the University of Sydney, Universitas Udayana, Bali, and Universitas Airlangga, Banyuwangi, the project found that only 11 of 1,000 outlets did not display cigarette ads. Seven out of 10 retailers displayed at least one banner promoting cigarette products.

The research also found that 367 of 379 schools had at least one cigarette outlet within 250 metres. More than half of retailers in Denpasar admitted selling cigarettes to young people. They also sold “loosies” (single cigarettes), which many countries have banned as these are cheaper than a pack of cigarettes and therefore more accessible to children.

The above research shows that tobacco firms’ aggressive promotions and cheap cigarette prices are reasons why Indonesian boys smoke more than others in the Southeast Asia region.

Weak smoking regulation

Indonesia is the only country in Asia that hasn’t signed and ratified the global tobacco control treaty, known as the World Health Organization Framework Convention on Tobacco Control. This means Indonesia is lagging well behind other countries in adopting effective tobacco control measures.

The government has failed to protect Indonesian children from tobacco firms’ aggressive promotion strategies. It has not enforced bans on tobacco companies promoting their products and selling cigarettes to children. Cheap cigarette prices due to low tobacco excise also contribute to strong sales among youth.

The Health Ministry aims to reduce tobacco consumption by 30% in 2025. The government also wants to reduce smoking prevalence among children to 5.4% in 2019 from 7.2% in 2013.

Given the government’s weak tobacco control, achieving this goal seems impossible, when 16.4 million new smokers aged between 10 and 19 appear every year.

Young generation matters

Indonesia is the biggest economy in Southeast Asia and more than a third of its population is young people under the age of 20.

Indonesia’s potential and productivity are facing a threat due to the huge smoking exposure of its young generation.

To save Indonesia’s future generation from a cardiovascular epidemic, it is important for the government to stop the increase in new smokers. Preventing new smokers is vital if Indonesia want to decrease youth smoking rates.

Educating young people about the harmful effects of smoking and second-hand smoke is one solution. Another solution is to dismantle the tobacco industry myth that “smoking is cool” through effective counter-marketing campaigns. Examples include the Indonesian Heart Foundation’s keren tanpa rokok and “smoke-free agents” movement.

However, solutions without supportive environments are pointless. Educating youth that smoking is “bad” is useless when cigarettes are so cheap, easily available and consumed by the people they love and respect, such as parents and teachers.

It is crucial for the government to limit young children’s access to cigarettes and reduce their exposure to tobacco ads.

First, the government should enforce existing bans on selling tobacco to minors.

Second, the government should impose a comprehensive ban on all forms of tobacco advertising, promotion and sponsorship. Australia, Canada and New Zealand have successfully enforced similar bans.

Further options are available to better regulate cigarette retailers, even though these depend on the government’s readiness at the national and local level. These options include a tobacco licensing scheme, zoning system and limiting tobacco retailer numbers.

San Francisco has successfully adopted all three options. India has prohibited cigarette retailing within 100 yards (around 91 metres) of schools. A similar ban in Changsha, China applies within 100 metres of educational institutions.

Indonesia can adopt a similar zoning policy, with local governments enforcing such provisions through city and local district planning.

Indonesia also needs to provide other supporting policies, including an increase in tobacco excise and extensive bans on smoking in public places.

If Indonesia fails to reduce the rate of young smokers, a tremendous burden of cardiovascular and tobacco-induced diseases will overwhelm the country’s health system.

The ConversationStopping young Indonesians from starting to smoke is a smart investment for Indonesia but requires nationwide tobacco control policies. Indonesia needs such policies in place to combat the future cardiovascular epidemic.

Putu Ayu Swandewi Astuti, Phd Candidate in Public Health, University of Sydney and Becky Freeman, Research Fellow/Lecturer, University of Sydney

This article was originally published on The Conversation. Read the original article.

Berikut terlampir laporan penelitian secara lebih lengkap:

Ramai Kotak Kosong Pilkada Serentak 2018

Jakarta, 29 Juni 2018-Pilkada serentak kemarin (27/6) diramaikan oleh kotak kosong yang unggul di sejumlah TPS. Setidaknya sebanyak 16 calon melawan kotak kosong di kontestasi politik tersebut.

Daerah-daerah tersebut adalah Padang Lawas Sumatera Utara, Prabumulih Sumatera Selatan, Kabupaten Tangerang Banten, Kota Tangerang Banten, Tapin Kalimantan Selatan, Mamasa Sulawesi Barat, Minahasa, Tenggara Sulawesi Utara, Mamberamo Tengah Papua, Jayawijaya Papua, Kabupaten Puncak Papua, Deli Serdang Sumatera Utara, Lebak Banten, Pasuruan Jawa Timur, Enrekang Sulawesi Selatan, Bone Sulawesi Selatan, dan Kota Makassar.

Melalui hasil quick count atau hitung cepat, kotak kosong kerap kali mengungguli suara. Kemenangan kotak kosong terjadi di Makassar, Lebak (Banten), dan Tangerang. Seperti di TPS 4 Kelurahan Cilangkahan, Kecamatan Malingping, kotak kosong mendapat suara 221, menang atas petahana yang mendapat suara 151. Kemudian di TPS 01 Panggarangan, Kecamatan Panggarangan, kotak kosong unggul 187 suara atas pasangan Iti-Ade dengan suara 151 suara. Kemudian di TPS 01 Cikamunding, Kecamatan Cilograng, keunggulan suara kotak kosong 197 berbanding 135 suara. Di desa yang sama di TPS dua, perolehan keduanya adalah 128 berbanding 77 suara. Di TPS 01 Desa Warunggunung, Kecamatan Warunggunung, selisih keduanya tipis, antara 191 dan suara petahana mendapat 170. Kemenangan kotak kosong juga terjadi di Pilwalkot Tangerang, tepatnya di TPS tempat Gubernur Banten Wahidin Halim mencoblos. Di TPS 02 Pinang kotak kosong menang melawan pasangan tunggal Arief R Wismansyah-Sachrudin dengan angka 114 suara. Petahana hanya memperoleh 74 suara.

PKPU Nomor 13 Tahun 2018 mengatur bahwa Pilkada dengan calon tunggal harus memperoleh suara sah lebih dari 50 persen. Jika tak sampai, Pilkada akan ditunda ke Pilkada selanjutnya yang ditetapkan KPU sesuai ketentuan perundang-undangan yakni tahun 2020.

Untuk pasangan calon yang kalah, dapat mencalonkan diri kembali. Hal ini kemudian menyebabkan kekosongan kekuasaan karena pemilihan yang tertunda. Untuk mengantisipasinya, dalam hal ini Kemendagri akan menugaskan penjabat untuk menjalankan pemerintahan sampai ada kepala daerah hasil pilkada.

Sumber: Detik News 

 

 

Dampak Perubahan Iklim pada Berkurangnya Nutrisi Beras

Jakarta, 28 Juni 2018-Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Professor dari Global Health and Environmental and Occupational Health Sciences, University of Washington, Kristie Ebi, menemukan bahwa perubahan iklim yang terjadi di dunia dapat berdampak pada berkurangnya nutrisi pada beras. Penelitian ini pada awalnya memiliki fokus utama untuk mengetahui resiko kesehatan yang ditimbulkan akibat terjadinya perubahan iklim. Peningkatan konsentrasi karbon dioksida yang menyebabkan perubahan iklim dinilai dapat mengubah kandungan nutrisi pada beras.

Penelitian ini dilakukan di China dan Jepang dengan menggunakan Free-Air Carbon dioxide Enrichment (FACE) untuk meningkatkan konsentrasi karbon dioksida pada padi yang ditanam. Dengan menggunakan FACE, ditemukan pengurangan vitamin B1 (17%), B2 (17%), B5 (13%), B9 (30%) pada beras. Selain itu, studi ini juga menemeukan pengurangan pada protein (10%), zat besi (8%), dan zinc (5%). Sedangkan untuk vitamin B6 dan kalsium ditemukan tidak adanya perubahan. Hanya vitamin E yang ditemukan mengalami peningkatan dari adanya konsentrasi karbon dioksida.

Berdasarkan penelitian tersebut, baik beras maupun gandum, melakukan respon terhadap peningkatan konsentrasi karbon dioksida dengan memperbanyak sintesis zat tepung dan gula menjadi karbohidrat, dan mengurangi kuantitas mineral pada butiran biji tumbuhan tersebut yang akan memberikan implikasi pada berkurangnya protein.

Sekitar 600 juta penduduk Asia Tenggara mendapatkan setengah dari asupan kalori dan protein mereka dari beras. Hal ini dapat menyebabkan pada pengurangan asupan nutrisi pada masyarakat Asia Tenggara bila perubahan iklim tidak dihentikan. Dampak ini bisa dirasakan terutama pada pertumbuhan anak usia dini dengan terjangkitnya penyakit diare dan malaria.

Berikut penelitiannya secara lebih lengkap:

Climate change will make rice less nutritious, putting millions of the world’s poor at risk

File 20180611 191940 siw4qq.jpg?ixlib=rb 1.1
Rice farmer in Longsheng, China. kevincure, CC BY

Kristie Ebi, University of Washington

Rice is the primary food source for more than 3 billion people around the world. Many are unable to afford a diverse and nutritious diet that includes complete protein, grains, fruits and vegetables. They rely heavily on more affordable cereal crops, including rice, for most of their calories.

My research focuses on health risks associated with climate variability and change. In a recently published study, I worked with scientists from China, Japan, Australia and the United States to assess how the rising carbon dioxide concentrations that are fueling climate change could alter the nutritional value of rice. We conducted field studies in Asia for multiple genetically diverse rice lines, analyzing how rising concentrations of carbon dioxide in the atmosphere altered levels of protein, micronutrients and B vitamins.

Our data showed for the first time that rice grown at the concentrations of atmospheric carbon dioxide scientists expect the world to reach by 2100 has lower levels of four key B vitamins. These findings also support research from other field studies showing rice grown under such conditions contains less protein, iron and zinc, which are important in fetal and early child development. These changes could have a disproportionate impact on maternal and child health in the poorest rice-dependent countries, including Bangladesh and Cambodia.

Many of poorest regions in Asia rely on rice as a staple food. IRRI, CC BY-NC-SA

Carbon dioxide and plant growth

Plants obtain the carbon they need to grow primarily from carbon dioxide in the atmosphere, and draw other required nutrients from the soil. Human activities – mainly fossil fuel combustion and deforestation – raised atmospheric CO2 concentrations from about 280 parts per million during pre-industrial times to 410 parts per million today. If global emission rates continue on their current path, atmospheric CO2 concentrations could reach over 1,200 parts per million by 2100 (including methane and other greenhouse gas emissions).

Higher concentrations of CO2 are generally acknowledged to stimulate plant photosynthesis and growth. This effect could make the cereal crops that remain the world’s most important sources of food, such as rice, wheat and corn, more productive, although recent research suggests that predicting impacts on plant growth is complex.

Concentrations of minerals critical for human health, particularly iron and zinc, do not change in unison with CO2 concentrations. Current understanding of plant physiology suggests that major cereal crops – particularly rice and wheat – respond to higher CO2 concentrations by synthesizing more carbohydrates (starches and sugars) and less protein, and by reducing the quantity of minerals in their grains.

After steadily declining for over a decade, global hunger appears to be on the rise, affecting 11 percent of the global population. FAO, CC BY-ND

The importance of micronutrients

Worldwide, approximately 815 million people worldwide are food-insecure, meaning that they do not have reliable access to sufficient quantities of safe, nutritious and affordable food. Even more people – approximately 2 billion – have deficiencies of important micronutrients such as iron, iodine and zinc.

Insufficient dietary iron can lead to iron deficiency anemia, a condition in which there are too few red blood cells in the body to carry oxygen. This is the most common type of anemia. It can cause fatigue, shortness of breath or chest pain, and can lead to serious complications, such as heart failure and developmental delays in children.

Zinc deficiencies are characterized by loss of appetite and diminished sense of smell, impaired wound healing, and weakened immune function. Zinc also supports growth and development, so sufficient dietary intake is important for pregnant women and growing children.

Higher carbon concentrations in plants reduce nitrogen amounts in plant tissue, which is critical for the formation of B vitamins. Different B vitamins are required for key functions in the body, such as regulating the nervous system, turning food into energy and fighting infections. Folate, a B vitamin, reduces the risk of birth defects when consumed by pregnant women.

Anemia affects one-third of women of reproductive age globally – or about 613 million women. FAO, CC BY-ND

Significant nutrition losses

We carried out our field studies in China and Japan, where we grew different strains of rice outdoors. To simulate higher atmospheric CO2 concentrations, we used Free-Air CO2 Enrichment, which blows CO2 over fields to maintain concentrations that are expected later in the century. Control fields experience similar conditions except for the higher CO2 concentrations.

On average, the rice that we grew in air with elevated CO2 concentrations contained 17 percent less vitamin B1 (thiamine) than rice grown under current CO2 concentrations; 17 percent less vitamin B2 (riboflavin); 13 percent less vitamin B5 (pantothenic acid); and 30 percent less vitamin B9 (folate). Our study is the first to identify that concentrations of B vitamins in rice are reduced with higher CO2.

We also found average reductions of 10 percent in protein, 8 percent in iron and 5 percent in zinc. We found no change in levels of vitamin B6 or calcium. The only increase we found was in vitamin E levels for most strains.

Rice within the octagon in this field is part of an experiment designed to grow rice under different atmospheric conditions. Rice grown under carbon dioxide concentrations of 568 to 590 parts per million is less nutritious, with lower amounts of protein, vitamins and minerals. Dr. Toshihiro HASEGAWA, National Agriculture and Food Research Organization of Japan, CC BY-ND

Worsening micronutrient deficiencies

At present, about 600 million people — mostly in Southeast Asia — get more than half of their daily calories and protein directly from rice. If nothing is done, the declines we found would likely worsen the overall burden of undernutrition. They also could affect early childhood development through impacts that include worsened effects from diarrheal disease and malaria.

The potential health risks associated with CO2-induced nutritional deficits are directly correlated to the lowest overall gross domestic product per capita. This suggests that such changes would have serious potential consequences for countries already struggling with poverty and undernutrition. Few people would associate fossil fuel combustion and deforestation with the nutritional content of rice, but our research clearly shows one way in which emitting fossil fuels could worsen world hunger challenges.

How could climate change affect other key plants?

Unfortunately, today there is no entity at the federal, state or business level that provides long-term funding to evaluate how rising CO2 levels could affect plant chemistry and nutritional quality. But CO2-induced changes have significant implications, ranging from medicinal plants to nutrition, food safety and food allergies. Given the potential impacts, which may already be occurring, there is a clear and urgent need to invest in this research.

It is also critical to identify options for avoiding or lessening these risks, from traditional plant breeding to genetic modification to supplements. Rising CO2 concentrations are driving climate change. What role these emissions will play in altering all aspects of plant biology, including the nutritional quality of the crops that we use for food, feed, fiber and fuel, remains to be determined.

Kristie Ebi, Professor of Global Health and Environmental and Occupational Health Sciences, University of Washington

This article was originally published on The Conversation. Read the original article.

Sepuluh Rumah Sakit di Bandung Mendapatkan Fasilitas Petugas TPS

Jakarta, 26 Juni 2018-KPU Kota Bandung menjamin pelayanan warga memiliki hak pilih pada Pilkada serentak 2018 di Jabar yang tengah terbaring sakit. Petugas Tempat Pemungutan Suara (TPS) terdekat akan jemput bola melayani pasien di rumah sakit. Ketua KPU Kota Bandung Rifqi Alimubarok menuturkan tidak menyiapkan TPS khusus di rumah sakit. Namun, sambung dia, penghuni rumah sakit bisa menggunakan hak suaranya melalui TPS mobile terdekat. Ia menuturkan ada 10 rumah sakit yang yang akan dilayani yakni RSHS, Al Islam, Immanuel, Santo Yusuf, Santosa, Advent, Borromeus, RSKIA, Muhammadiyah, RSUD Ujungberung.

Rifqi mengatakan bahwa setiap pemilih wajib punya formulir A5 dari TPS sebelumnya atau tempat mereka tinggal. Jika pemilih tidak memiliki formulir A5 maka pemilih tidak dapat menggunakan hak pilih.

Sementara itu, RSHS Bandung menyiapkan dua tempat pemungutan suara (TPS) untuk pasien, penunggu pasien dan karyawan. Berdasarkan Kasubbag Humas dan Protokoler RSHS Bandung Reny Meisuburriyani, Ada dua TPS 24 dan 31 yang di bawah pengelolaan Kelurahan Pasteur. Ia menuturkan TPS 24 nantinya melayani pemilih dari penunggu pasien dan karyawan RSHS Bandung. Penempatan TPS 24 berada di Gedung Angrek ruangan instalasi rawat jalan RSHS Bandung. Sementara TPS 31 akan memberikan pelayanan mobile ke ruangan pasien saat pemungutan suara pada 27 Juni 2018.

Sumber: Detik

Bom Bunuh Diri Perempuan: Bagaimana Teroris Melakukan Propaganda Radikalisasi Terhadap Perempuan Indonesia

Jakarta, 26 Juni 2018-Pada Mei 2018 lalu, Indonesia dikejutkan dengan rentetan serangan bom teroris. Kepolisian Negara Republik Indonesia mengumumkan bahwa jaringan ekstrimis lokal, Jama’ah Ansharud Daulah (JAD), yang berafiliasi dengan ISIS, bertanggung-jawab atas serangan bom tersebut.

Sebagai negara dengan mayoritas Muslim terbesar, Indonesia telah berusaha dengan keras untuk memblokir jaringan teroris lokal. Baik pemerintah maupun LSM, termasuk institusi internasional, telah mengalokasikan anggaran dan berkolaborasi untuk mengimplementasikan beragam program deradikalisasi. Namun dengan adanya keikutsertaan anak-anak dalam rentetan serangan bom teroris membuktikan bahwa program ini belum berhasil dalam menjalankan misinya membasmi teroris.

Keterlibatan perempuan dalam bom bunuh diri, yang disebut sebagai amaliyah (pengorbanan atau serangan bunuh diri), bukan merupakan suatu fenomena yang baru di Indonesia. Pada tahun 2016, Indonesia dikejutkan dengan kemunculan bom bunuh diri pertama oleh seorang perempuan bernama Dian Yulia Novi. Dalam sebuah interview, Novi mengatakan bahwa dia terinspirasi oleh status Facebook oleh ekstremis yakni yang merupakan seorang ulama dan pejuang ISIS. Pernikahannya dengan M. Nur Solihin, anggota jaringan teroris lokal yang terinspirasi dengan ISIS, pada awalnya untuk mempersiapkan bom bunuh diri Novi di istana negara yang kemudian gagal dilaksanakan.

Serangan terbaru yang berlokasi di Jawa Timur, menggunakan metode yang berbeda, terutama dengan adanya keterlibatan anak-anak. Pelaku dari serangan bom di tiga gereja di Surabaya adalah Dita Oepriarto, Puji Kuswati, dan keempat anaknya yang paling muda berusia sembilan tahun. Keenam nya tewas beserta dua belas orang jemaat gereja. Pada hari yang sama, Kabupaten Sidoardjo menjadi saksi atas meledaknya bom di sebuah apartment yang dihuni oleh keluarga yang beranggotakan lima orang. Kedua orang tua dari keluarga tersebut meninggal beserta satu dari ketiga anak mereka. Sehari setelahnya, Tri Murtiono, Tri Ernawati dan ketiga anaknya, termasuk anak perempuannya yang berusia delapan tahun, meledakkan diri mereka di kantor pusat polisi dan menewaskan keluarga tersebut kecuali satu dari anak mereka.

Para ahli berargumen bahwa latar belakang dari keterlibat perempuan dalam kelompok teroris adalah ideologi. Menurut para pengikut ISIS, Muslim sejati seharusnya menjawab panggilan pemimpin ISIS, Abu Bakar al-Baghdai untuk pindah ke Suriah dan membangun dan memelihara wilayah ISIS. Para pejuang membutuhkan istri dan ibu dalam upaya regenerasi dari kelompok teroris. Selain itu, motif lainnya adalah kekecewaan perempuan terhadap negara asalnya. Keberanian ISIS dalam melakukan propaganda melalui media, terutama media sosial dan video game telah meyakinkan sebagian perempuan Muslim untuk pindah dari negara asalnya dan menjalani hidup yang lebih baik di bawah daulah Islamiyah (Negara Islam). Meskipun begitu, banyak pula yang kecewa khususnya setelah melihat dan mengalami kebrutalan dan janji-janji yang tidak terpenuhi.

Pada tahun 2010, dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh para akademisi dari Victoria University of Wellington, mereka melakukan interview terhadap seorang perempuan yang menamakan dirinya Umm Mujahid (Ibu dari pejuang laki-laki)–mujahidin sebutan untuk pejuang laki-laki dan mujahidat sebutan untuk pejuang perempuan. Beliau berharap nama tersebut akan menjadi sebuah doa dan berharap agar anaknya bisa menjadi mujahid di masa yang akan datang dan bisa membawanya ke surga. Ideologi semacam ini telah tertanam dalam hati dan pikiran para perempuan yang teradikalisasi. Karena itu, tidak mengherankan jika pengeboman di Indonesia mulai melibatkan perempuan dan anak-anak.

Sumber: The Conversation

Masuki Masa Tenang, KPU Minta Peserta Pilkada Hentikan Kampanye

Jakarta, 25 Juni 2018 – Komisi Pemilihan Umum (KPU) meminta akun kampanye peserta Pilkada Serentak 2018 di media sosial selama masa tenang ditutup. Tidak boleh lagi ada kampanye selama masa tenang. 
 
Ketua KPU RI, Arief Budiman mengatakan, tidak boleh lagi ada kampanye di masa tenang melalui saluran apapun. Alat peraga , iklan,  kampanye terbuka,  dan  kampanye lewat media sosial harus sudah selesai dan dihentikan. 
 
Tak hanya di media sosial, peserta pemilu harus membersihkan semua Alat Peraga Kampanye (APK). Jika masih ada APK yang tersisa, maka bisa disebut pelanggaran. 
 
Arief juga menegaskan, KPU akan terus memantau akun-akun terkait kampanye pasangan calon selama masa tenang. Jika ditemukan ada pelanggaran akan ditindak. (Sumber: Detik)

Pilkada Serentak: Siapa Kandidat Terkait Dinasti Politik di Wilayah Anda?

Jakarta, 25 Juni 2018-Pilkada serentak yang akan diadakan pada tanggal 27 Juni 2018 tinggal menghitung hari. Kegiatan kampanye untuk para paslon pilkada pun telah memasuki masa tenang. Pilkada yang diikuti 171 daerah ini setidaknya memiliki enam bakal calon kepala daerah yang diisinyalir berasal dari dinasti politik, memiliki hubungan keluarga dengan inkumben, seperti di Kalimantan Barat, Maluku Utara, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Sumatera Selatan. Tidak hanya anggota keluarga inti seperti anak, suami, ataupun istri, namun anggota keluarga seperti keponakan, ipar, kakak, dan adik juga turut menjadi kandidat.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan bahwa dinasti politik yang terjadi di Indonesia ini adalah merupakan suatu bentuk atau upaya untuk melanggengkan kekuasaan. Karakter dinasti politik di Indonesia ini hadir dengan mengabaikan integritas, kompetensi, dan kapasitas, ketika kandidat dinominasikan untuk merebut suatu kekuasaan atau sebuah posisi publik. Kandidat dari dinasti politik ini kemudian muncul tidak melalui proses kaderisasi, rekrutmen yang demokratis, atau proses penempaan aktivitas politik yang terencana. Kandidat yang muncul ini pun dinilai sekedar hanya untuk memperkokoh kekuasaan.

Larangan keluarga inkumben mencalonkan diri sebenarnya pernah tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah Pasal 7 huruf r. Namun Mahkamah Konstitusi membatalkan dan menghapus pasal tersebut dalam perkara uji materi pada tahun yang sama.

BBC Indonesia kemudian memiliki akses bagi masyarakat untuk mengetahui kandidat mana sajakah yang terlibat dinasti politik tersebut. Masyarakat bisa mengakses melalui link berikut ini: http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-44572596

KPU Resmikan DPS Untuk Pemilu 2019

Jakarta, 25 Juni 2018 – Pemilihan Umum (KPU) RI, resmi menetapkan Daftar Pemilih Sementara (DPS) untuk Pemilu 2019 sejumlah 185.098.281 pemilih dengan rincian pemilih laki-laki sebanyak 92.547.103 orang serta pemilih perempuan 92.551.178 orang. Penetapan DPS dilakukan dalam Rapat Pleno Terbuka DPS di Hotel Borobudur Jakarta.
 
Dalam kesempatan tersebut, KPU juga mengumumkan Daftar Pemilih Sementara Luar Negeri (DPSLN) sebanyak 1.281.597 pemilih dengan rincian pemilih laki-laki sebanyak 666.160 orang dan pemilih perempuan 615.437 orang. 
 
Rapat pleno terbuka ini dihadiri oleh perwakilan dari pemerintah dalam hal ini Kemendagri Dirjen Dukcapil, Kementerian Luar Negeri, Ketua Pokja Luar Negeri, Kemenkumham, Badan Pengawas Pemilu, DKPP, KPU Provinsi seluruh Indonesia, Perwakilan Partai Politik dan lembaga Swadaya Masyarakat serta pihak yang terkait.
 
Ketua KPU, Arief Budiman menjelaskan penetapan hasil rekapitulasi DPS untuk tingkat nasional ini adalah tindak lanjut dari hasil rekapitulasi DPS ditingkat kabupaten/kota serta provinsi. Arief juga menjelaskan, penetapan DPS dan DPSLN ini akan menjadi acuan penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang akan ditetapkan selanjutnya. Melalui penetapan ini dia juga berharap dapat segera disebarluaskan kepada masyarakat. Arief juga menghimbau masyarakat untuk  turut aktif mengecek namanya kebenarannya DPS dan DPSLN.
 
Hasil rekapitulasi DPS nasional jumlah kabupaten/kota 510, jumlah kecamatan 7131, jumlah kelurahan dan desa 82.707, jumlah PPS 799.855, jumlah pemilih laki-laki 92.547.103 dan jumlah pemilih perempuan 92.551.178, total jumlah pemilih laki-laki dan perempuan 185.098.281.
 
Hasil rekapitulasi DPSLN Pemilu 2019, jumlah 130 Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN), jumlah TPS sebanyak 338, jumlah kotak suara keliling (KSK) sebanyak 461, jumlah titik pos sebanyak 154, jumlah total pemilih 1.281.597 orang, dengan rincian jumlah pemilih laki-laki 666.160 dan jumlah pemilih perempuan 615.437 orang. (Sumber: KPU)

Pembatasan Agama di Dunia: Indonesia Menempati Lima Peringkat Teratas

Jakarta, 25 Juni 2018-Pembatasan agama di seluruh dunia dewasa ini terus meningkat hingga pada tahun 2016 berdasarkan laporan dari penelitian yang dilakukan oleh Pew Research Center’s ninth annual study of global restrictions on religion. Pembatasan agama ini dilihat melalui dua indikator, yakni pembatasan dari pemerintah dan perselisihan sosial–baik oleh individu, maupun kelompok organisasi di masyarakat–yang dilihat terhadap 198 negara. Pembatasan pemerintah itu sendiri mengalami peningkatan dari 25% menjadi 28%. Pembatasan tersebut dapat berupa hukum dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah bersifat menekan suatu agama tertentu. Sementara perselisihan sosial tidak mengalami peningkatan yakni tetap berada di posisi 27%. Secara keseluruhan, sekitar 83 negara (42%) memiliki pembatasan agama dengan tingkat yang cukup tinggi, yakin dengan jumlah 80 negara (40%) pada tahun 2015 dan 58 negara (29%) pada tahun 2007.

Pada dasarnya, pembatasan agama yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun kelompok dan individu memiliki tujuan untuk mengurangi imigrasi agama dan etnis minoritas, atau secara lebih tegas untuk menekan atau bahkan menghilangkan kelompok agama tertentu. Hal ini dilakukan dengan latar belakang untuk melindungi etnis atau agama dominan dari ancaman etnis atau agama pendatang tersebut. Agama yang sering kali menjadi target dalam hal ini adalah agama Islam. Selain Islam, agama lain yang kerap menjadi target adalah Yahudi dan Kristen.

Sekitar tiga perempat populasi di dunia (lebih dari 5 miliar) tersebar di 25 negara yang memiliki tingkat populasi yang tinggi. Di antara 25 negara tersebut, negara Mesir, Rusia, India, Indonesia, dan Turki memiliki peringkat yang cukup tinggi terhadap pembatasan agama tersebut baik dilihat dari indikator pembatasan agama maupun dari perselisihan sosial. Sedangkan negara yang memiliki peringkat cukup rendah adalah Jepang, Brazil, Filipina, Republik Kongo, dan Amerika Serikat.

Belum Memiliki E-KTP, Warga Dapat Menggunakan Hak Pilih

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman, menyatakan bahwa warga yang belum memiliki e-KTP tetap dapat menggunakan hak suaranya pada pemungutan suara pilkada serentak 2018. Syaratnya, warga yang belum memiliki e-KTP wajib membawa formulir C6-KWK ke tempat pemungutan suara.

Arief menyatakan, hal tersebut sudah dikonsultasikan dengan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Terlebih lagi, Arief mengatakan KPU juga sudah menerbitkan Surat Keputusan KPU No. 574 mengenai Penyelenggaraan Pemungutan dan Penghitungan Suara Pemilihan 2018.

Dalam surat tersebut tertera bahwa warga atau pemilih yang terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT) wajib menunjukkan formulir Model C6-KWK dan e-KTP kepada Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di TPS. Andai belum memiliki e-KTP, pemilih cukup menunjukkan formulir Model C6-KWK setelah diverifikasi keabsahannya oleh KPPS.

Menurut Peraturan KPU No. 8 tahun 2018, formulir Model C6-KWK adalah Surat Pemberitahuan Suara kepada Pemilih. Formulir tersebut dibagikan oleh KPPS kepada pemilih di kediamannya masing-masing. Di dalam Pasal 12 PKPU juga dinyatakan bahwa KPPS wajib memberikan formulir Model C6-KWK maksimal 3 hari sebelum pemungutan suara.

Jika pemilih sedang tidak berada di rumah saat formulir diberikan, anggota keluarga yang lain dapat mewakili untuk menerima. Kemudian, apabila sampai tiga hari sebelum pemungutan suara belum menerima formulir tersebut, pemilih dapat meminta kepada Ketua KPPS maksimal satu hari sebelum pemungutan suara. Syaratnya, pemilih menunjukkan e-KTP atau surat keterangan.

(Sumber : CNN Indonesia)