#PrayforPaluandDonggala

Pada Jumat lalu (28/09), wilayah Donggala, Sulawesi Tengah digunncang gempa yang berkekuatan 7,4 SR. Gempa tersbeut kemudian menyebabkan tsunami yang menyapu tiga wilayah sekaligus yakni Palu, Donggala, serta Mamuju.

Gempa yang terjadi di Donggala ini ternyata memiliki perbedaan karakter dengan gempa yang terjadi di NTB pada bulan Juli lalu. Menurut Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati, gempa di Donggala disebabkan pergeseran patahan atau sesar Palu-Koro, sedangkan di Lombok dipicu kenaikan patahan Flores.

Sementara itu, dari hasil pantauan BMKG hingga pukul 20.00 WIB kemarin, telah terjadi 22 kali gempa susulan yang tercatat dengan magnitude terbesar M 6,3 dan terkecil M 2,9. Hingga Sabtu (29/09) pagi, sudah terjadi 91 gempa susulan pasca-gempa bermagnitudo 7,4 pada Jumat (28/09).

Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), bencana alam ini telah menelan hingga 384 korban jiwa, 29 orang hilang dan 540 luka berat.

Sumber: Kompas

 

“Lembaga Survei KedaiKOPI turut berduka cita atas musibah yang terjadi pada saudara/i di Palu, Donggala, serta Mamuju.”

#PrayforPaluandDonggala

 

 

Microtargeting sebagai Strategi Kampanye

Jika menelusuri dari sejarahnya, metode dari strategi microtargeting telah digunakan sejak tahun 1992 di California. Namun istilah microtargeting itu sendiri baru muncul di tahun 2002 oleh seorang konsultan politik Amerika Serikat Alexander P. Gage. Berdasarkan jurnal yang ditulis oleh Balazs Bodo, Natali Helberger, dan Claes H. de Vreese, political microtargeting merupakan penggunaan cara yang berbeda dalam komunikasi untuk membangun hubungan antara kandidat dengan target pemilih.

Jika dilihat dari kampanye politik pada umumnya, strategi ini menggunakan alat-alat dan metode yang khusus. Kampanye dengan menggunakan strategi microtargeting ini dilakukan dengan cara mengirim surat, surel, telepon, hingga media sosial para pemilih secara langsung. Kandidat akan lebih terbantu dan fokus dalam memberi perhatian pada isu-isu yang mendapat sorotan khusus para target pemilih.

Pesan yang dikirimkan di dalam kampanye tersebut menyesuaikan dengan kelompok atau individu dari keseluruhan pemilih (tailored message). Ini dapat meningkatkan peluang kandidat untuk menang dengan menarik perhatian dari target pemilih. Hal ini dianggap lebih efektif dibandingkan dengan kampanye secara umum yang pesannya tidak tertarget.

Untuk melaksanakan strategi microtargeting, dilakukan sebuah penambangan data (data mining). Data mining ini dilakukan karena kandidat membutuhkan informasi tentang preferensi politik para target pemilih. Sebelumnya, informasi tersebut hanya dapat diperoleh melalui polling opini. Data mining ini akan membuat pesan yang diarahkan akan lebih akurat karena langsung manargetkan pada pemilih tiap individu secara pribadi.

Penggunaan data untuk political microtargeting mirip dengan perusahaan-perusahaan keuangan yang melacak pengeluaran konsumen mereka. Data untuk microtargeting seperti ini dapat diperoleh dari perusahaan penyedia big data.

Sumber: Berbagai sumber

Pengaruh Desain Surat Suara terhadap Perilaku Pemilih

 

Pemilihan umum adalah aspek yang cukup mendasar dalam demokrasi. Penting halnya bahwa pemilihan umum dilakukan secara akurat dan dapat mencerminkan kehendak rakyat. Kemudian yang menjadi pertanyaannya adalah, akankah setiap suara terdaftar secara akurat, serta apakah sistem pemungutan suara rentan terhadap gangguan. Ilmu psikologi menunjukan bahwa masalah yang lebih besar mungkin terjadi dalam sistem pemungutan suara adala desain yang buruk pada surat suara.

Peneliti Psikologi Universitas Rice Philip Kortum dan rekannya Michael D. Byrne menganalisa proses pemungutan suara melalui kacamata perilaku pemilih dengan menitikberatkan fokus penelitian pada bagaimana desain dari surat suara memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap perilaku pemilih.

Pemungutan suara pada pemilihan presiden “Butterfly Ballot di Florida pada tahun 2000 adalah kasus yang paling menonjol dari desain surat suara yang salah dari sekian banyak kasus. Kortum dan Byrne mencatat bahwa desain surat suara yang buruk dapat menghasilkan suara yang ambigu dan membuat pilihan pemilih menjadi tidak jelas.

Dalam kasus lainnya, desain surat suara yang buruk dapat membuat pemilih menjadi sulit untuk memahami surat suara sehingga pemilih dapat memilih lebih dari satu kandidat, atau tidak memilih satu kandidat sama sekali, yang akan kemudian menjadikan surat suara tersebut menjadi tidak sah dan berpotensi untuk disalahgunakan.

Berdasarkan kasus tersebut, dapat dilihat bahwa tidak semua pihak mengetahui bagaimana menjalankan sistem pemungutan suara dilihat dari perspektif ilmu psikologi. Ini dapat menimbulkan konsekuensi terhadap hasil dari pemungutan suara itu sendiri.

Berpindah menggunakan surat suara elektronik bukan merupakan suatu solusi yang terbaik untuk mengatasi permasalahan desain surat suara ini. Menurut Kortum, penyebaran luas mesin pemungutan suara elektronik selama 10 tahun terakhir telah gagal mengatasi masalah ini – kadang-kadang bahkan membuatnya lebih buruk – karena sistem ini tidak memasukkan apa yang kita ketahui tentang psikologi desain dan kesalahan manusia.

Alasan lainnya adalah karena sistem pemungutan suara cenderung untuk berganti-ganti sehingga pemilih tidak memiliki kesempatan untuk mempelajari sistem tersebut sebelum akhirnya digantikan dengan sistem yang baru.

Hal yang terpenting dalam membuat desain surat suara, baik menggunakan kertas maupun eletronik, surat suara harus didesain dengan menggunakan cara berpikir pemilih. Proses psikologis seperti ingatan, sorotan, serta persepsi pemilih kemudian harus digunakan dalam desain surat suara agar pemilih dapat memahami surat suara dan tidak ada hasil suara ambigu.

Sumber:

APS (Association for Psychological Science) 

 

 

 

Psikologi Elektabilitas: Kesan Sepintas

 

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Alexander Todorov, seorang psikolog dari Universitas Princeton, Amerika Serikat, penampilan fisik memiliki pengaruh cukup signifikan dalam sebuah pemilihan umum. Ini disebabkan karena masyarakat cenderung untuk menyimpulkan karakter atau sifat orang berdasarkan kesan pertama dari penampilan fisik, meskipun tidak pernah melakukan perbincangan sebelumnya. Ketika kita beranggapan bahwa kita telah membuat keputusan politik yang rasional, sesungguhnya kita hanya membuat keputusan yang berlandaskan dari impresi atau kesan dari wajah seseorang.

Alexander Todorov melakukan sebuah penelitian untuk membuktikan bagaimana penampilan fisik akan meninggalkan kesan pertama pada seseorang dan berpengaruh dalam pembuatan keputusan, termasuk keputusan dalam bilik suara.

Di tahun 2003, Todorov memulai penelitian tersebut dengan menunjukkan foto dari kandida tlegislatif Amerika Serikat di tahun 2000, 2002, serta 2004 terhadap kurang lebih 1000 partisipan untuk menilai kompetensi tiap kandidat secara sepintas. Dengan menggunakan foto tersebut, Todorov berangkat dari pertanyaan apakah kandidat-kandidat yang ditampilkan kompeten atau tidak.

Penelitian tersebut kemudian membawa kesimpulan bahwa respon partisipan memprediksi hasil dari pemilihan umum tingkat tingkat akurasi lebih tinggi (73%) dibandingkan kemungkinan awal (66%). Todorov kemudian berargumen bahwa penilaian kompetensi tersebut dapat memprediksi hasil pemilihan umum di sebuah negara. Beberapa negara yang terbukti bahwa penilaian kompetensi dapat mempredikasi hasil pemilihan umum diantaranya adalah Denmark, Bulgaria, dan Amerika Serikat.

Todorov kemudian bersama seorang psikolog, Nikolaas Oosterfhof, membahas bawa dua karakter yang dilihat dari penampilan fisik dari kandidat adalah kepercayaan dan kekuatan. Penampilan fisik seorang kandidat yang memiliki tingkat kepercayaan tinggi adalah kandidat dengan bentuk muka yang lembut, dagu yang bulat, dahi yang lebar. Sementara kandidat yang dipercayai memiliki kekuatan adalah kandidat dengan bentuk muka yang lebih kecil, dagu yang lebih menonjol, dan hidung yang lebih lebar.

Sumber:

Maria Konnikova, The New Yorker: On The Face of It, The Psychology of Electability, Nov 18, 2013.

Jakarta Salah Satu Kota dengan Tingkat Kemacetan Tertinggi di Dunia

TomTom, perusahan pembuat perangkat navigasi berbasis satelit dan INRIX (perusahaan data) mengurutkan kota-kota yang memiliki kemacetan lalu lintas tertinggi. Kota-kota tersebut didominasi oleh negara dengan kota yang berpendapatan tinggi dan pendapatan menengah ke atas. Kota dengan negara kelas bawah memiliki kemacetan lalu lintas yang lebih parah namun memiliki data yang kurang lengkap. Kota-Kota yang memiliki tingkat kemacetan paling tinggi adalah Kairo, Delhi, Dhaka, Jakarta, Lagos, Manila, Nairobi, Sao Paulo.

Setidaknya terdapat dua periode kemacetan yang tejadi pada lalu lintas kota-kota tersebut, yakni pada pagi hari dan sore hari. Pada pagi hari, kemacetan terjadi pukul 6 pagi hingga pukul 9 pagi. Kemacetan yang terjadi pada pagi hari disebabkan karena lalu lintas dipadati oleh masyarakat yang hendak berangkat untuk melakukan aktivitas sehari-harinya. Sementara untuk sore hari, kemacetan terjadi dalam rentang waktu pukul 1 hingga 3 siang–ketika para orang-tua menjemput anak-anaknya dari sekolah–sampai pukul 8 atau 9 sore saat jam pulang kantor.

Seperti dirilis The Economist (6/09/2018) kota-kota yang memiliki tingkat kemacetan paling tinggi tersebut setidaknya memiliki tiga kesamaan. Pertama adalah kota-kota tersebut cukup padat. Kedua, kota-kota tersebut tidak memiliki transportasi umum berbasis rel yang luas dan cepat, kecuali New Delhi. Ketiga adalah kepemilikkan kendaraan pribadi di kota-kota tersebut meningkat cukup tajam. Di New Delhi, motor yang terdaftar meningkat dari 4,3 juta di tahun 2011 menjadi 6,7 juta di tahun 2017. Sementara untuk mobil dan jip meningkat dari 2,2 juta menjadi 3,2 juta. Di Nairobi, lalu lintas semakin buruk pada akhir bulan, ketika para pekerja telah menerima gaji mereka.

Sumber: The Economist

Kepercayaan Masyarakat terhadap Media

Pada awal tahun 2018, Edelman mengeluarkan laporan survei “Trust Barometer 2018” mengenai kepercayaan masyarakat global terhadap media sosial dan media konvensional. Survei tersebut dilakukan di 28 negara di dunia dengan menjaring sebanyak 33.000 responden. Berdasarkan laporan tersebut, ditemukan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat global terhadap media sosial menurun sebesar 2 poin dari tahun 2017. Sementara tingkat kepercayaan terhadap jurnalisme justru meningkat sebesar 5 poin. Responden dalam survei ini diminta untuk memberikan nilai pada tingkat kepercayaan mereka terhadap media sosial dan media konvensional dalam skala 0-9 poin. Hal tersebut merupakan sebuah penurunan terhadap media sosial dimana pada tahun 2015 kepercayaan terhadap media sosial lebih tinggi dibandingkan jurnalisme.

Penurunan tingkat kepercayaan masyarakat global terhadap media sosial terjadi pada 21 dari 28 negara. Di Inggris, peningkatan kepercayaan pada media konvensional terjadi dari 48% (pada tahun 2017) menjadi 61% (pada tahun 2018). Penurunan tingkat kepercayaan tersebut disebabkan karena sebesar 70% responden berpendapat bahwa platform media sosial dinilai masih lamban untuk menghentikan perilaku pengguna yang illegal dan non-etis, serta penyebaran materi ekstremis. Selain itu, sebesar 64% responden berpendapat bahwa masih minimnya regulasi yang mengatur media sosial, sedangkan 62% responden merasa khawatir media sosial akan menjual data mereka ke pengiklan.

Selain faktor menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap media sosial, survei ini juga menemukan faktor pendorong yang menjadikan masyarakat mengurangi konsumsi berita. Sebanyak 66% responden percaya bahwa organisasi media hanya fokus untuk menarik jumlah penonton yang besar bukan untuk melaporkan sebuah berita. Sedangkan sebesar 65% responden percaya bahwa media akan lebih mementingkan bahwa suatu berita akan cepat mendapatkan perhatian audiens dan cenderung mengabaikan keakuratan data.  Hal tersebut yang menjadi salah satu faktor pendorong masyarakat dalam mengurangi konsumsi berita yakni adanya penurunan kualitas terhadap berita (22%). Faktor lainnya di antara lain adalah, terlalu suram (40%), tidak netral (33%), agenda setting (27%), serta terlalu berlebihan (25%).

Sumber: Trust Barometer Edelman 2018

 

Psikologi dalam Pemungutan Suara

 

Untuk mencegah meningkatnya angka golput, Jon A. Krosnick, professor ilmu psikologi politik di Ohio State University, dalam artikel yang dikutip dari ABC News mengatakan bahwa diperlukan seorang kandidat di kertas suara yang tidak disukai oleh Masyarakat. Berdasarkan studi beliau yang berfokus pada perilaku pemilih, Jon A. Krosnick memiliki kesimpulan bahwa masyarakat cenderung untuk memberikan suara bukan karena terdapatnya satu kandidat yang berkualitas, namun karena terdapat satu kandidat yang tidak disukai oleh masyarakat. Untuk mendorong masyarakat memberikan suara, setidaknya harus terdapat dua kandidat dimana satu kandidat adalah yang disukai masyarakat dan satu kandidat lainnya tidak disukai oleh masyarakat.

Bagaimana pendapat pemilih terhadap kandidat pemilu pada masa kampanye?

Masa kampanye tentu memiliki pengaruh terhadap kesan masyarakat kepada kandidat pemilu. Jon Krosnick mengatakan bahwa jika masyarakat memiliki kesan pertama untuk suka atau tidak suka pada satu kandidat, maka kesan tersebut akan tertanam di pikiran masyarakat dan sulit untuk diubah. Ini tentu bertolak belakang dengan strategi yang cenderung dilakukan oleh para kandidat dengan melakukan kampanye di akhir periode, tepat sebelum pemilu berlangsung, dengan ekspektasi bahwa masyarakat dapat melupakan apa yang telah tertanam di pikiran mereka sebelumnya. Jon Krosnick memiliki argumen bahwa jika kampanye dapat dilakukan di awal periode, ini dapat memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap perilaku pemilih dibandingkan dengan melakukan kampanye di akhir periode.

Namun pada akhirnya, strategi kampanye yang memiliki pengaruh lebih besar adalah dengan dilancarkannya serangan menjatuhkan lawan.  Jon Krosnick tidak dapat memungkiri bahwa strategi tersebut dapat dikatakan cukup jitu untuk memenangkan pemilu. Selain itu strategi menjatuhkan lawan dinilai lebih mudah untuk dilakukan dibandingkan strategi membangun citra yang baik pada seorang kandidat.

Sumber: Artikel ini disarikan dari tulisan kolom mingguan Lee Dye yang dimuat di ABC News pada 6 September 2000.