Pengamat: Aktor Intelektual Orkestrasi Penundaan Pemilu Meremehkan Kecerdasan Publik

 

Siaran PERS

 

Jakarta, 6 Maret 2022. Pemerintah dan DPR telah menyepakati pelaksanaan Pemilu 2024 jatuh pada tanggal 14 Februari 2024. Dengan diputuskannya tanggal pelaksanaan Pemilu, maka otomatis menghentikan wacana perpanjangan masa jabatan presiden Jokowi hingga beberapa tahun. Kendati demikian, beberapa elit partai politik partai koalisi pemerintah belakangan kembali menyuarakan wacana yang sama meski jadwal pemilu telah ditetapkan.

 

Menurut analis komunikasi politik Hendri Satrio, seharusnya Presiden Jokowi mengumumkan dengan tegas bahwa Pemilu harus dilaksanakan pada 14 Februari 2024 bukan dengan statement taat konstitusi. “Konstitusi bisa disesuaikan nanti, kalau ada niat untuk mengkudeta konstitusi,” terang Hendri. Hendri menyarankan apabila Jokowi enggan untuk menyampaikan statement maka bisa dibantu oleh pemimpin lain seperti Kyai Ma’ruf Amin selaku wakil presiden. Dirinya juga menganggap aktor intelektual yang menyampaikan orkestrasi penundaan pemilu, penambahan masa jabatan presiden, dan penambahan periode masa jabatan presiden adalah jahat sekali untuk Indonesia. Bagi Hendri aktor intelektual ini bukan hanya sudah mengkudeta KPU yang merupakan Lembaga negara yang secara sah menyelenggarakan Pemilu dan telah menetapkan jadwal pelaksanaan Pemilu 2024, namun juga menganggap remeh kecerdasan rakyat Indonesia.

 

Pria yang akrab disapa Hensat ini memuji langkah Gubernur Anies yang dengan jelas menolak narasi penundaan pemilu. Dirinya berharap langkah serupa juga diikuti oleh pemimpin daerah lainnya seperti Bobby Nasution dan Gibran Rakabuming selaku pemimpin Kota Medan dan Solo. Menurut Hendri, taat pada konstitusi merupakan cara yang paling mudah bagi seorang pemimpin memberi contoh kepada rakyat untuk selalu berada pada garis konstitusi demi Indonesia. Lagi pula Hendri berkesimpulan penundaan Pemilu tidak ada keuntungannya bagi Indonesia

 

Sudirman Said menegaskan tidak ada alasan secara moral untuk menunda Pemilu apalagi menambah masa jabatan presiden. Sudah banyak juga para tokoh yang mengingatkan bahaya yang mengekor penundaan Pemilu ini. Ketua Institut Harkat Negeri ini juga mengingatkan kepada pemerintah bahwa kekuasaan yang sedang dipegang oleh mereka saat ini adalah sesuatu yang dipinjamkan dan bersifat sementara sehingga perlu selalu ada penyegaran.

 

Sudirman menyarankan agar Presiden Jokowi dapat memanfaatkan sisa masa jabatannya dengan baik dan membuat citra positif sehingga akhir kekuasaan beliau dapat diakhiri dengan baik. Ia juga mengajak kita semua agar membantu Presiden Jokowi menyelesaikan tugasnya secara terhormat.

 

Titi Anggraini selaku pemerhati demokrasi mengatakan narasi penundaan pemilu ini sudah terindikasi sejak lama, yakni pada pertengahan 2020. Hanya saja, pada saat itu narasi ini terpotong hingga penundaan pemilu dan tidak disertai perpanjangan masa jabatan presiden. Masyarakat mulai terkejut ketika Menteri Bahlil menyampaikan narasi ini kepada publik. Titi menjelaskan bahwa narasi penundaan Pemilu dengan perpanjangan masa jabatan adalah melanggar asas konstitusi, yakni pelanggaran terhadap asas kedaulatan rakyat, pelanggaran kewajiban pemilu secara periodik yang tertuang pada pasal 22 E ayat 1 yang menubuatkan bahwa Pemilu dilaksanakan secara Luberjurdil setiap lima tahun sekali, dan penundaan pemilu merupakan alasan untuk menerabas pasal-pasal yang selama ini berlaku. Baginya strategi penundaan Pemilu merupakan strategi rezim otoritarian untuk melanggengkan kekuasaan dan ini lebih berbahaya daripada narasi presiden tiga periode.

 

Dari sudut pandang pakar hukum tata negara Bivitri Susanti, narasi penundaan Pemilu dan amandemen konstitusi ini merupakan langkah pengkhianatan konstitusi. Ia menegaskan bahwa konstitusi bukan sebatas teks yang dapat diubah sesuka hati. Konstitusi pada dasarnya adalah gagasan tentang pembatasan kekuasaan. “Kalau jalan keluarnya adalah perubahan konstitusi ya mudah saja, bahkan lebih mudah dari proses legislasi yang mensyaratkan partisipasi publik,” terang Bivitri.

 

Menurut Bivitri, ketua umum partai politik yang sempat menyampaikan narasi penundaan Pemilu seharusnya malu kepada konstitusi. Ia mengingatkan dalam sejarah bahwa penundaan Pemilu akan berujung pada keburukan. Seperti pada masa Presiden Soekarno dan Soeharto yang beberapa kali menunda Pemilu pada masa pemerintahannya yang pada akhirnya, sejarah mencatat, tindakan penundaan Pemilu berujung pada ketidakstabilan kondisi bangsa Indonesia.

 

Dari sisi ekonomi, Prof. Chandra Fajri Ananda menyatakan bahwa Pemilu tidak terlalu membebankan APBN, lain halnya dengan pembangunan IKN. Sebaliknya, bila Pemilu sampai ditunda dan membuat instabilitas politik maka akan sangat mungkin akan menjadi bencana untuk ekonomi Indonesia. Prof. Chandra juga menjelaskan bahwa pesta demokrasi dapat meningkatkan perilaku belanja masyarakat sehingga dapat mendukung perputaran ekonomi di masyarkat.

 

Berdasarkan sudut pandang komunikasi internasional, Teguh Santosa menyampaikan narasi penundaan Pemilu merupakan wujud ketidakmampuan Indonesia di tengah presidensi G20. Momentum yang seharusnya dimanfaatkan untuk Indonesia memamerkan kepercayaan dirinya malah dihiasi dengan narasi ketidakpercayaan diri melakukan pemilihan umum dengan berbagai alasan yang tentunya secara otomatis memperlihatkan kelemahan Indonesia. Dirinya tidak habis pikir bila narasi ini terus dilanjutkan di tengah mata dunia sedang tertuju pada Indonesia.

 

Deddy Miing Gumelar mencoba memandang narasi penundaan Pemilu ini dari perspektif kebudayaan. Dirinya mengingatkan bahwa peraturan dibuat bukan untuk dilanggar. Miing menggarisbawahi persoalan etika dalam persoalan ini. Miing melihat ada pelanggaran etika bernegara yang terjadi dan dicontohkan oleh para elit politik kepada masyarakat. Miing yakin Cak Imin, Zulkifli Hasan, dan Airlangga bukannya tidak tahu bahwa pernyataan mereka akan mengarah pada pelanggaran konstitusi, dan dirinya turut mempertanyakan ke mana rasa malu dan akhlak para elit politik saat ini. Miing berpesan kepada Presiden Jokowi bahwa memang penting untuk membangun infrastuktur jalan, namun, yang lebih penting adalah membangun jalan pikirian bangsa Indonesia cara berpikir bangsa ini lebih konstruktif.

 

Diskusi Publik Dapur KedaiKOPI: “Kata Pakar Bila Pemilu Ditunda” diselenggarakan secara daring oleh Lembaga Survei KedaiKOPI dan dihadiri oleh Pemerhati Demokrasi Titi Anggraini, Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti, Ketua Institut Harkat Negeri Sudirman Said, Budayawan Dedy Miing Gumelar, Guru Besar FEB Universitas Brawijaya & Pakar Ekonomi Prof. Candra Fajri Ananda, Pelaku Komunikasi Internasional Teguh Santosa, dan Analis Komunikasi Politik Hendri Satrio sebagai pembicara.

 

 

Anies Baswedan: Momentum akan Sukses Bila Ada Kesiapan dan Rekam Jejak

Siaran PERS

Jakarta, 22 Februari 2022. Lembaga Survei KedaiKOPI meluncurkan buku “MOMENTUM: Karier Politik & Aktivitas Media Sosial” di bilangan Jakarta Selatan (22/2). Agenda peluncuran buku yang ditulis oleh Hendri Satrio, Tirta Mursitama, Firdaus Alamsjah dan Yosef Dedy Pradipto ini turut dihadiri oleh para tokoh mulai dari Anies Baswedan, Miing Bagito, Ronal Surapradja, Faldo Maldini, Sudirman Said dan tamu undangan lainnya.

 

Anies Baswedan mengatakan  bahwa seringkali momentum hadir di luar kendali kita, dan sering kita menyebutnya sebagai momentum setelah peristiwanya terjadi. Selain itu Gubernur DKI Jakarta ini juga menambahkan “Jika kita berbicara mengenai karir siapapun di wilayah politik, maka kita akan bertemu dengan yang namanya rekam jejak atas apa yang dikerjakan. Hal yang menarik adalah bila kesempatan ada, namun rekam jejak, delivery, dan kesiapan tidak hadir, (maka) pada saat itu momentum akan lepas begitu saja. Di sisi lain, kalau ada delivery, ada kesiapan, ada kesempatan, maka itu bisa dikapitalisasi menjadi momentum,” jelas Anies.

 

Anies juga menggarisbawahi bahwa sebuah disertasi sebagai karya akademik ketika harus dipertahankan di depan Dewan Penguji adalah hal biasa. Namun membuat disertasi menjadi sebuah bacaan populer, sebuah buku itu akan lebih menantang lagi. “Hari ini buku tersebut diluncurkan, selamat bagi Bung Hensat dan teman-teman. Semoga buku ini memperkaya wacana kita dalam berpolitik,” kata Anies.

 

Faldo Maldini dalam sambutannya mengatakan, setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan momentum. “Tidak ada diskriminasi di antara kita untuk mendapatkan momentum ini. Sebagaimana Presiden Jokowi memberikan pemerataan pembangunan yang tanpa diskriminasi,” kata Staf Khusus Mensesneg ini. Faldo juga meyakini bahwa bangsa Indonesia kedepan akan memiliki momentum, namun semua bergantung pada kita sebagai penggerak bangsa Indonesia. “Saya harap buku MOMENTUM karya Hendri Satrio ini dapat membuat para pencari momentum yang ingin membangun bangsa ini kedepan mendapatkan tempat,” kata Faldo.

 

Hendri Satrio mengatakan faktor utama yang mempengaruhi karir seseorang adalah momentum. Maka momentum itu harus dicari dan bila sudah didapatkan, momentum tersebut harus digunakan secara maksimal. Founder Lembaga Survei KedaiKOPI turut membeberkan tiga cara untuk mendapatkan sebuah momentum yaitu pertama adalah kepemimpinan transformasional, kemudian memiliki modal sosial dan terakhir pengalaman bisnis maupun organisasi.

 

Pria yang akrab disapa Hensat ini juga memaparkan bahwa di dalam buku karyanya menceritakan tentang perjalanan tokoh-tokoh bangsa yang berhasil dalam memanfaatkan momentumnya. Presiden Jokowi adalah salah satunya. Selain itu buku ini juga terdapat fakta menarik dari hasil disertasi yang dilakukan olehnya. Hensat menjelaskan mengenai aktivitas media sosial dan kaitannya dengan karir politik seseorang. “Dan yang juga penting dalam buku ini adalah, fenomena yang melukiskan bahwa aktivitas media sosial ternyata tidak berpengaruh siginifikan terhadap karir politik atau elektabilitas. Jadi bila ingin memiliki karir politik yang bagus, mau tidak mau (seorang politisi) harus mendapatkan dan memanfaatkan momentum, bukan (memanfaatkan) aktivitas media sosial Namun dalam hal ini Hensat tidak menepis fakta bahwa aktivitas politisi di media sosial dapat mempengaruhi popularitas politisi tersebut.

 

Koordinator Nasional Forum Solidaritas Kemanusiaan (FSK) Sudirman Said, memberikan perhatiannya pada modal sosial yang dijabarkan oleh Hendri Satrio. Dirinya mengamini bahwa modal sosial bagi seorang pemimpin merupakan hal yang krusial. Sudirman mengatakan Modal sosial harus dipupuk dengan integritas, karya, dan reputasi. Beliau manambahkan “modal sosial tak bisa diperoleh secara instan dan tidak dapat pula dibeli. Seorang pemimpin, di manapun dia berada, harus bisa mengakumulasi modal sosial mereka,” kata Sudirman.

 

Direktur Lembaga Survei KedaiKOPI, Kunto Adi Wibowo, Ph.D. memberikan pandangannya terhadap buku “MOMENTUM: Karier Politik & Aktivitas Media Sosial”. Dirinya terkesan dengan cara Hendri menjawab persoalan bagaimana cara seseorang mendapatkan apa yang menjadi momentum bagi dirinya, serta apa yang harus dilakukan bila seseorang telah mendapatkan momentumnya. Kunto mengatakan “Hendri menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan sederhana dan elegan. Pertama, Hensat mengumpulkan hasil bacaan dan diskusi bersama teman-teman di KedaiKOPI ditambah data-data Survei pilkada dan pemilu yang dimiliki KedaiKOPI untuk diracik dan mendapatkan kandidat faktor-faktor pemicu momentum. Ada banyak faktor pemicu momentum, namun sederhananya bisa dibagi menjadi dua bagian besar. Pertama adalah faktor di luar kendali kita dan kedua adalah faktor yang bisa kita kendalikan”.

 

Bagi politisi, Tubagus Dedi Miing Gumelar atau kerap dikenal sebagai Miing, Momentum memang harus bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin. Namun momentum hanya dapat dimanfaatkan dengan kecerdasan dan sensitifitas penerimanya. “Kecerdasan (di sini) tidak hanya berupa kecerdasan secara ilmiah, namun juga kecerdasan nurani”. Dirinya juga berharap agar buku ini dapat menjadi sebuah kekayaan intelektual bagi bangsa Indonesia.

Peristiwa Desa Wadas, Refleksi Tujuan Pembangunan Pemerintah

Siaran Pers

Jakarta, 15 Februari 2022

Peristiwa di Desa Wadas dapat menjadi refleksi mengenai tujuan pembangunan yang mengedepankan asas-asas kemanusiaan, keadilan, kejujuran, dan melindungi sesama. Hal ini disampaikan oleh Sudirman Said selaku Koordinator Nasional Forum Solidaritas Kemanusiaan Di dalam diskusi publik “Wadas: Panggilan Kemanusiaan dalam Pembangunan” yang diselenggarakan oleh Forum Solidaritas Kemanusiaan yang didukung oleh Lembaga Survei KedaiKOPI dan Institut Harkat Negeri (IHN) bersama Kemanusiaan pada Selasa, 15 Februari 2022 secara daring.

Sudirman mengatakan bahwa kita harus kembali mengalibrasi bagaimana cara mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, karena itu tujuan utama dari bernegara, terutama dengan sila ke empat yakni bermusyawarah dan berdemokrasi.

“Tujuan bernegara kita ingin mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, itu tujuan utama dari bernegara, caranya dengan sila ke empat, dengan bermusyawarah, berdemokrasi, kemudian musyawarah tidak mungkin dilakukan tanpa semangat bersatu. Maka kita pegang teguh persatuan Indonesia, kemudian persatuan hanya mungkin apabila di antara kita, saling menghargai aspek kemanusiaan, karena itu sila kedua kemanusiaan yang adil dan beradab,” imbuh Sudirman.

Anggota Komnas HAM Beka Ulung Hapsara mengungkapkan bahwa masalah tambang batu andesit di desa Wadas membuat warga terpecah belah menjadi dua sisi, antara pro dan kontra. Selain itu, di sisi lain, warga Desa Wadas juga menurutnya sedikit trauma dan banyak yang tidak berani pulang ke rumah mereka.

“Concern saya adalah soal relasi sosial, ini warga terpecah belah, di sisi lain warga ada trauma segala macam yang itu juga harus segera disikapi. Saya tidak melihat mana yang lebih besar, mana yang lebih sedikit, tetapi bagaimana kemudian suara-suara warga kita didengar kemudian kita lindungi haknya,” ungkap Beka.

Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil menyatakan bahwa pihaknya sudah meminta ke Gubernur, bahwa hak kepemilikan harus diakui, walaupun dalam UU Agraria Pasal 18 sudah diatur mengenai kepentingan bangsa negara dan masyarakat. “Hak kepemilikan itu bisa dicabut, tapi harus diingat, hak kepemilikan tidak hanya kepemilikan semata, tapi di situ ada unsur psikologis emosional di dalamnya, sehingga tidak bisa pendekatannya sok kuasa,” jelasnya.

Nasir Djamil juga sudah mengingatkan kepada pemerintah mengenai aspek psikologis emosional yang sebelumnya diabaikan oleh pemerintah. “Karena itu saya katakan kepada pemerintah, terkait dengan Bendungan Bener di Purworejo itu segeralah tunaikan hak rakyat dan bayarlah kompensasi kepada rakyat yang telah memberikan lahan mereka untuk pembangunan Bendungan Bener yang merupakan proyek strategis nasional,” katanya.

Nasir juga menyarankan pemerintah untuk mencari alternatif lain, dan untuk menghormati hak masyarakat yang ada di Wadas tersebut. “Kalau warga sudah menolak, alihkan ke tempat lain, hormati kemauan rakyat karena mereka ingin menjaga alam mereka,” tegas Nasir.

Di kesempatan ini, Miing Gumelar menyatakan bahwa orang-orang di Desa Wadas saat ini tidak dijaga rasa amannya. Menurutnya rasa aman adalah hak dasar dari warga negara Indonesia (WNI yang harus dilindungi. “Kalau sekarang mereka takut, berarti pemeritahan dari level bawah sampai atas melakukan tindakan pelanggaran terhadap konstitusi,” katanya.

Menurut Beka Ulung, apabila warga sudah ingin memutuskan apakah mereka menerimanya, hal ini harus berada di kondisi bebas tekanan dan intimidasi. “Ketika mereka memutuskan juga, memutuskannya dalam situasi kondisi bebas dari tekanan, bebas dari intimidasi, atau bebas dari provokasi. Itu yang penting yang perlu kita dorong bersama, sehingga nantinya Wadas punya solusi,” katanya.

Sementara itu Okky dan Miing juga menyarankan bahwa pemerintah saat ini harus merumuskan bagaimana pembangunan berjalan, tanpa mengganggu warga Wadas. “Ketika mereka menolak, ya sudah, gunakan kecerdasan pemerintah untuk mencari alternatif lain, pembangunan tetap jalan tanpa harus merusak tatanan sosial, adat istiadat penduduk lokal,” kata Miing.

Dari peristiwa ini Sudirman Said juga melihat ada beberapa hal yang keliru di sisi pemerintah, terutama dalam pengelolaan krisis. Bahkan, ia menyayangkan dialog dan komunikasi yang dilakukan pemerintah, seperti Menko Polhukam Mahfud MD dan Gubernur Jateng Ganjar Pranowo yang tidak mendinginkan publik, malah cenderung menutupi keadaan dan menyimplifikasi situasi seolah tidak ada hal yang rumit, sehingga letupan masalah terjadi di masyarakat.

“Padahal dalam krisis manajemen itu prinsip-prinsip mengelola krisis yang pertama-tama kita mesti menjelaskan apa adanya, karena semakin ditutupi, letupan-letupan berikutnya semakin kredibilitas dari pengelola krisis, semakin turun,” katanya.

Sudirman mengatakan bahwa kita harus kembali mengalibrasi bagaimana cara mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, karena itu tujuan utama dari bernegara, terutama dengan sila ke empat yakni bermusyawarah dan berdemokrasi.

Diskusi publik “Wadas: Panggilan Kemanusiaan dalam Pembangunan” yang diselenggarakan oleh Forum Solidaritas Kemanusiaan yang didukung oleh Lembaga Survei KedaiKOPI dan Institut Harkat Negeri (IHN) bersama Kemanusiaan. Diskusi ini dihadiri oleh Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil, Kornas Forum Solidaritas Kemanusiaan Sudirman Said, Anggota Komnas HAM Beka Ulung Hapsara, Budayawan Dedy Miing Gumelar, dan Penulis Okky Madasari sebagai pembicara.

Dapur KedaiKOPI: Nalar Publik akan Terjaga Bila Para Pemimpin Mampu Menghindar dari Benturan Kepentingan

Siaran PERS:

Dapur KedaiKOPI: Nalar Publik akan Terjaga Bila Para Pemimpin Mampu Menghindar dari Benturan Kepentingan

Jakarta, 04 februari 2022. Tindakan represif yang diterima publik dari Undang-Undang dan opini sesama kalangan publik dinilai membuat nalar kritis publik menjadi terdegradasi. Padahal, publik seharusnya dapat menerapkan salah satu fungsinya sebagai pengawas kebijakan pemerintah.

Dalam catatan Rekomendasi Akademi Jakarta 2022 yang bertajuk “Cegah Penghancuran Nalar Publik” dijelaskan bahwa permasalahan di Indonesia berakar pada praktik ekonomi- politik yang menyuburkan oligarki dan korupsi, penguasaan sumber daya secara tidak adil, pengabaian hak asasi manusia, serta kerusakan alam.

Bahkan Akademi Jakarta mendesak agar dilakukan perubahan menyeluruh di bidang pendidikan mulai tingkat paling dini hingga pendidikan tinggi, lingkungan hidup, kehidupan sosial, ekonomi dan politik.

Ketua Akademi Jakarta, Seno Gumira Ajidarma, menjelaskan bahwa dibuatnya rekomendasi di aspek pendidikan, lingkungan hidup, intoleransi sosial, ekonomi, dan politik karena banyak orang yang tidak berani mengemukakan pendapatnya saat ini akibat dari ketakutan publik yang membuat nalar publik sedikit mundur.

“Banyak orang itu baik-baik saja tapi tidak berani bicara, bahkan berani bicara setidaknya tidak bertentangan, ini merata, atas nama sopan santun, adab dan lain lain. Saya kira ini gejala yang tidak bagus, jadi kita buka, dengan menghapus segala macam sifat yang vulgar tidak etis, segala macam, orang biasa,” katanya.

Harapannya, rekomendasi ini dapat diterima oleh publik, karena itu yang menjadi tujuan utamanya. Selain itu, ia juga berharap dokumen ini dapat menginspirasi siapa pun yang membacanya, bahkan apabila hanya membaca judulnya saja. “Saya kira dengan orang baca judulnya orang akan berpikir, “Jangan-jangan saya yang hancur nih nalarnya”. Sehingga mereka langsung aware, mulai saat ini saya jangan sampai bertingkah anti nalar. Itu saja sudah cukup,” ungkap Seno.

Sementara itu, Ketua Institut Harkat Negeri, Sudirman Said, mengungkapkan bahwa dokumen ini penting, dalam kacamatanya, saat ini pengingkaran atau penghancuran nalar publik sudah menunjukkan tanda yang jelas, cepat, dan pasti.

“Sebagai publik, kita sering disuguhkan hal-hal yang mengganggu nalar. Contoh, negeri kita sangat kaya dengan sawit, dan eksportir sawit terbesar, tetapi mengapa masyarakat sulit mendapatkan minyak goreng, sehingga pemerintah mengeluarkan subsidi? Itu pun tidak sampai kepada sasaran. Pertanyaannya, apakah ini dapat diterima oleh nalar publik?” katanya dalam diskusi ini.

Sudirman juga menyayangkan suasana takut mengoreksi ini terus membelenggu publik. Bahkan, penilaiannya, saat ini kalangan akademis juga menunjukkan gejala serupa, padahal mereka seharusnya menjadi sumber-sumber dari pikiran bebas dan kritis. “Menurunnya sifat kritis menjadi warning, ini soal bangsa, soal besar. Karena tanpa kritis kita akan kehilangan ide terbaik untuk membangun bangsa ini. Keunggulan lahir dari keberagaman dan keberagaman muncul dari kebebasan berpikir dan berpendapat,” ungkapnya.

Analis Komunikasi Politik, Hendri Satrio, melakukan riset dan menemukan publik saat ini jauh dari berpihak pada kewajaran. Menurutnya, nalar publik dan kewajaran diterjemahkan sebagai keselamatan, keselamatan untuk diri sendiri dan keselamatan untuk keluarga.

“Kalau saya baca bukunya Pak Sudirman Said, Berpihak Pada Kewajaran. Terus kemarin saya baca dokumen Akademi Jakarta. Kemudian saya merinci kembali FGD yang dilaksanakan Lembaga Survei KedaiKOPI, hasilnya jauh pada berpihak kewajaran. Saya sadari dalam diskusi ini kita semua hidup dalam ketakutan. Sehingga nalar publik tidak digunakan lagi. ketakutan kita mempengaruhi kehidupan kita secara menyeluruh,” ungkapnya.

Pria yang akrab disapa Hensat ini juga berharap bahwa dokumen tersebut dibaca oleh siapa pun calon presiden yang akan maju di tahun pada tahun 2024 nanti. Sehingga, para politisi ini akan menggunakan nalar publik dengan cukup baik. Terutama saat ini publik membutuhkan tokoh yang cerdas dan visioner.

“Mudah-mudahan para politisi yang akan maju 2024 membaca ini. Salah satu survei dari Lembaga Survei KedaiKOPI ada pergeseran bandul politik pada kriteria Capres yang disukai masyarakat, sebelumnya masyarakat ingin presiden yang merakyat. Tetapi saat ini cerdas dan visioner mengalahkan merakyat. mudah-mudahan para capres membaca, sehingga mereka menggunakan nalar publik. Dan mudah-mudahan kemunduran bersama menjadi kemajuan bersama,” pungkas Hendri.

Diskusi Dapur KedaiKOPI yang bertajuk “Nalar Publik Barang Langka?” ini diselenggarakan pada tanggal 4 Februari 2022 dan mengundang Ketua Akademi Jakarta, Seno Gumra Ajidarma, Ketua Institut Harkat Negeri, Sudirman Said, dan Analis Komunikasi Politik, Hendri Satrio yang dilakukan secara virtual melalui kanal Zoom dan Youtube.

Generasi Muda Merasa Pemerintah Serius Tangani Perubahan Iklim

Jakarta, 28 Oktober 2021

Generasi muda Indonesia menilai pemerintah serius dalam menangani perubahan iklim. Hal tersebut dipaparkan oleh Direktur Eksekutif Lembaga Survei KedaiKOPI, Kunto Adi Wibowo, Ph.D dalam diskusi Dapur KedaiKOPI pada hari Kamis (28/10). “Sebanyak 77% responden menyatakan bahwa pemerintah serius dalam penanganan perubahan iklim di Indonesia. Persepsi keseriusan ini juga tersebar secara merata baik Gen Z (78,8%) maupun Gen Y (75,2%)” kata Kunto.

Semakin rendah tingkat pendidikan maka akan menganggap perubahan iklim sebagai hal yang tidak darurat. Hal ini menunjukkan pentingnya edukasi kepada masyarakat yang mengenai kedaruratan perubahan iklim. Di sisi lain, generasi muda meyakini bahwa krisis iklim yang terjadi di Indonesia dapat dikendalikan oleh manusia. “Sebanyak 78% responden menyatakan bahwa manusia memiliki kontrol terhadap perubahan iklim menjadi lebih baik” kata Kunto.

Namun, top of mind generasi muda terhadap perubahan iklim masih sebatas istilah-istilah normatif. “Perubahan suhu merupakan asosiasi tertinggi dengan perubahan iklim (19,2%), selanjutnya perubahan cuaca (19,1%), perubahan musim (18,0%), dan global warming (10,3%).” kata Kunto. Hal yang menarik justru masih ada generasi muda yang menganggap perubahan iklim sebagai hal yang wajar (7,2%).

Di sisi lain, Generasi muda juga mengingatkan bahwa pemerintah harus lebih tegas dan bertanggungjawab di dalam menangani perubahan iklim. “Ada 15,3% generasi muda mengatakan pemerintah harus lebih tegas dan bertanggungjawab di dalam menangani perubahan iklim, tindakan yang diinginkan generasi muda adalah seperti menindak pelaku perusakan alam, atau bertanggung jawab terhadap kerusakan alam yang terjadi” lanjut Kunto.

Bukan hanya lebih tegas dan bertanggungjawab, generasi muda juga menginginkan pemerintah melakukan reboisasi besar-besaran (15,3%), menggalakan penggunaan energi terbarukan (10,5%), dan membuka lebih banyak ruang terbuka hijau (7,5%).

Selain menanyakan mengenai lingkungan hidup, survei ini juga menanyakan perihal ketegangan yang terjadi di Laut Natuna atau yang dikenal secara internasional sebagai Laut China Selatan. Sebanyak 74,7% generasi muda meyakini bahwa konflik terbuka di Laut Natuna akan terjadi. “Ada kesadaran yang tinggi dari generasi muda perihal ketegangan di Laut Natuna” lanjut Kunto.

Eskalasi ketegangan di Laut Natuna menuntut adanya keseriusan pemerintah di dalam mengatasi potensi konflik di laut yang berada di utara Kepulauan Natuna tersebut. “Generasi muda mengapresiasi keseriusan Pemerintah dalam isu ini, sebanyak 70,7% responden menilai bahwa pemerintah serius mengatasi permasalahan di Laut Natuna’ kata Kunto.

Survei Persepsi Anak Muda Tentang Lingkungan Hidup dan Laut Natuna Menjelang G20 dilakukan melalui sambungan telepon pada 14-21 Oktober 2021. Survei ini dilakukan kepada 1200 responden dari 8592 anggota panel responden Lembaga Survei KedaiKOPI dengan response rate sebesar 13,97% dengan populasi yang berusia 14-40 tahun.

===

Lembaga Survei KedaiKOPI : Optimisme Generasi Muda Tinggi, Namun Politik Dan Hukum Butuh Perhatian Lebih

Siaran Pers

Jakarta, 13 Agustus 2021

Rasa optimisme generasi muda terhadap Indonesia terbilang tinggi meski rasa tersebut di sektor politik dan hukum tergolong rendah sehingga harus menjadi perhatian bersama. Hal ini dapat terlihat dari hasil Survei Indeks Optimisme Generasi Muda Indonesia 2021 yang diluncurkan oleh Lembaga Survei KedaiKOPI pada 13 Agustus 2021.

Direktur Eksekutif Lembaga Survei KedaiKOPI, Kunto Adi Wibowo, mengatakan, “Indeks optimisme ini kami bagi menjadi beberapa sektor dengan urutan tertinggi pendidikan dan kebudayaan (83,9%), kebutuhan dasar (75,1%), ekonomi dan kesehatan (64,5%), kehidupan sosial (50,5%), serta politik dan hukum mendapatkan rasa optimisme terendah dengan 28,1%.” kata Kunto.

Alasan utama sektor politik dan hukum mendapatkan nilai optimisme terendah dikarenakan kurangnya keyakinan generasi muda bahwa praktik KKN akan menurun di masa mendatang. “Hanya 30,8% responden saja yang menjawab optimis praktik KKN akan semakin rendah di masa mendatang,” lanjut Kunto.

Di sisi lain, rasa optimisme generasi muda di sektor pendidikan dan kebudayaan sangat tinggi. Hal ini disebabkan adanya keyakinan mendapatkan akses pendidikan berkualitas di masa mendatang, terutama dari Generasi Y.

“Mudahnya akses terhadap pendidikan di setiap daerah dalam dekade terakhir menjadi salah satu alasan mengapa generasi muda khususnya Generasi Y merasa optimis di sektor pendidikan,” ujar Kunto

Secara keseluruhan, bahwa 64% generasi muda merasa optimis dengan Indonesia. Hal ini merupakan sesuatu yang dapat kita terima dengan baik mengingat kita semua sedang mengalami kesulitan dengan adanya pandemi yang tak kunjung usai. “Hasil ini dapat menjadi sebuah oase bagi kita semua di tengah berita-berita tak mengenakan yang biasa kita terima belakangan ini.” lanjut Kunto.

Hal ini juga diamini oleh Analis Komunikasi Politik, Hendri Satrio. Ia pun menyambut baik adanya Survei Indeks Optimisme Generasi Muda yang diselenggarakan Lembaga Survei KedaiKOPI ini.

“Dengan adanya Survei Indeks Optimisme ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah di dalam melaksanakan pembangunan, serta menjadi pemicu kerja baik bagi aparat sektor sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, ekonomi, serta politik dan hukum” Kata Hendri yang biasa di sapa Hensat ini.

Selain itu, survei ini juga berusaha mengidentifikasi permasalahan utama apa yang sedang dihadapi oleh Indonesia saat ini menurut generasi muda.

“73,3% generasi muda menyebutkan bahwa COVID-19 menjadi masalah utama bagi Indonesia di hari ini, jauh dari masalah-masalah lain seperti kebijakan pemerintah yang tidak tegas (4,3%), fasilitas kesehatan dan vaksin (3,6%), ketaatan penerapan protokol kesehatan (3,5%), serta isu KKN (2,9%).” Kata Kunto.

Di sisi lain, kebijakan pemerintah yang menyulitkan dan tidak menjadi isu utama yang menjadi perhatian generasi muda dengan nilai 25,8%, disusul oleh isu mengenai lapangan pekerjaan (17,1%), dan isu perekonomian (11,4%).

“Hal ini harus menjadi perhatian khusus bagi pemerintah untuk memperbaiki pembuatan kebijakannya serta fokus juga di dalam penyediaan lapangan pekerjaan bagi generasi muda” kata Kunto.

Survei Indeks Optimisme Generasi Muda Indonesia 2021 diselenggarakan oleh Lembaga Survei KedaiKOPI bekerja sama dengan Good News From Indonesia. Survei ini diselenggarakan pada 8-15 Juli 2021 dengan menggunakan metode telesurvey kepada 800 responden yang tersebar di 11 kota besar di Indonesia.

Hasil lengkap bisa diakses di bawah ini
Survei Indeks Optimisme Generasi Muda Indonesia 2021

Lembaga Survei KedaiKOPI: Lampu Kuning Kinerja Kejaksaan

Siaran Pers

Jakarta, 12 Agustus 2021.

Beberapa kasus penegakan hukum yang sempat mencuat dan menjadi viral akhir-akhir ini, mendorong Lembaga Survei KedaiKOPI untuk melakukan survei opini publik tentang kinerja lembaga penuntutan di negeri ini. Hasil survei tersebut mengungkapkan bahwa masih terjadi disparitas (ketimpangan perlakuan) penegakan hukum dan penanganan perkara yang dilakukan oleh institusi Kejaksaan pada kasus-kasus tertentu.

Direktur Eksekutif Lembaga Survei KedaiKOPI, Kunto Adi Wibowo mengatakan, “Sebanyak 59,5 persen dari responden di seluruh Indonesia menganggap disparitas atau ketimpangan perlakuan yang cenderung tidak adil dalam penegakan hukum di kejaksaan sangat besar”. Responden menilai masih ada ketidakadilan hukum yang masih tajam ke bawah, tumpul ke atas. “Disparitas hukum dipersepsi terjadi hampir di seluruh provinsi di Indonesia yang harus menjadi perhatian kejaksaan dan pemerintah,” imbuh Kunto.

Selain itu, sebanyak 71,7% responden di seluruh Indonesia menganggap telah terjadi disparitas perlakuan hukum terhadap eks Jaksa Pinangki. Terbukti dengan adanya tuntutan hukuman yang rendah serta tidak diajukannya kasasi atas putusan hakim oleh Jaksa Penuntut Umum adalah alasan utama persepsi warga tentang disparitas hukum tersebut.

Founder KedaiKOPI yang juga analis komunikasi politik, Hendri Satrio mengatakan “71,2% warga Indonesia menganggap tuntutan JPU terhadap Pinangki terlalu ringan, 61,6% tidak setuju terhadap absennya proses kasasi dari JPU, dan 65,6% menganggap ada perlakuan tidak adil dari Kejaksaan dalam kasus Pinangki. Ini karena Kejaksaan dianggap melindungi anggotanya.”

Hendri Satrio menambahkan bahwa di dalam survei ini mayoritas publik, atau 79,6%, memiliki persepsi bahwa telah ada ‘bantuan orang dalam’ sehingga Pinangki kemudian mendapatkan hukuman yang rendah.

Berangkat dari persepsi kasus Pinangki tersebut, masyarakat akhirnya menilai bahwa disparitas hukum atau pidana yang terjadi di tubuh institusi Kejaksaan di seluruh Provinsi di seluruh pelosok negeri ini ternyata sangat tinggi. “Terdapat 59,5% responden yang menganggap disparitas hukum di Provinsi mereka (responden) sangat besar,” tukas Hendri Satrio.

Alasan responden memberikan penilaian adanya disparitas hukum yang besar ini terlihat dari hasil survei mengungkapkan bahwa hukum masih bersifat tumpul ke atas dan tajam ke bawah.

Efek lain dari skandal kasus Pinangki adalah kesetujuan masyarakat yang tinggi terhadap permintaan Indonesia Corruption Watch (ICW) kepada Presiden Jokowi untuk memberhentikan Jaksa Agung ST. Burhanudin. Terdapat 81,7% responden yang setuju dengan permintaan ICW tersebut dengan alasan menurunnya performa kejaksaan (30,8%), tidak transparan dalam penanganan kasus (22,7%), dan dianggap terlibat dalam kasus Pinangki (9%).

Sedangkan 18,3% responden tidak setuju dengan permintaan ICW tersebut dengan alasan antara lain, belum terbukti terlibat (12%) dan kinerjanya masih baik (10,5%). Direktur Eksekutif Lembaga Survei KedaiKOPI, Kunto Adi Wibowo, mengatakan, “Secara umum, tingkat kepuasan masyarakat terhadap kepemimpinan ST. Burhanudin di Kejaksaan relatif rendah, hal tersebut terlihat dari 61,8% menyatakan tidak puas akan kinerjanya memimpin institusi Kejaksaan.”

“Dari hasil survei juga tampak bahwa 59,8% lapisan masyarakat menyangsikan komitmen Jaksa Agung ST. Burhanudin dalam melaksanakan reformasi birokrasi di Kejaksaan,” imbuh Kunto.

Di lain sisi, pada penanganan kasus Jiwasraya dan Asabri, yang menarik adalah sebanyak 30,4 persen responden tidak setuju dengan penyitaan aset yang bukan berasal dari hasil korupsi. Mereka memiliki alasan antara lain, merugikan pihak yang tidak bersalah seperti investor (49,9%) dan harus ada pemisahan aset nasabah dan aset perusahaan (12,5%). Sedangkan dari 69,6% responden yang setuju, sebagian beralasan bahwa untuk mengembalikan kerugian negara (23,2%), menimbulkan efek jera (21,6%), dan dikembalikan kepada nasabah (20,3%).

“Yang paling penting adalah bahwa 69,1% publik menganggap pengusutan kasus Jiwasraya dan Asabri ini telah mengganggu roda pasar saham dan investasi di Indonesia,” Hendri Satrio menambahkan.

Kunto mengatakan, “Dalam survei ini, publik juga menyoroti transparansi seleksi CPNS di Kejaksaan, terbukti 52,4% responden menyatakan kurang transparan. Lebih lanjut lagi, 62,4% publik menengarai praktik jual beli lowongan CPNS di Kejaksaan terjadi dalam skala yang besar.”

Permasalahan SDM di tubuh Kejaksaan terpotret dari persepsi responden yang sebagian besar (69,5%) menganggap Jaksa atau penyidik sangat diskriminatif saat melakukan penanganan perkara. Publik juga menyoroti praktik pemaksaan pemberian hadiah dengan janji, atau suap dalam bentuk material maupun non material yang dianggap oleh 71,1% responden sangat sering terjadi. Survei ini juga mengungkapkan bahwa 11% dari responden pernah mengalami atau mengetahui cerita adanya pelecehan seksual ketika berperkara di Kejaksaan.

Hendri Satrio menginterpretasikan,”61,1% responden masih yakin ada penyidik atau jaksa memiliki integritas yang tinggi. Modal integritas ini haruslah didukung dengan institusi dan pemimpin yang kuat dan bersih sehingga bisa menegakkan hukum tanpa tebang pilih.” Hensat menambahkan, “namun secara keseluruhan hasil survei ini merupakan lampu kuning dari masyarakat untuk Kejaksaan.”

Pernyataan Hendri Satrio ini seiring dengan saran responden yang 64,5% di antaranya menghendaki Kejaksaan untuk tidak tebang pilih dan lebih transparan dalam menangani kasus. Disusul dengan 8,3% responden menyarankan peningkatan kualitas SDM.

‘Survei Kata Publik Tentang Kinerja Kejaksaan’ ini dilakukan secara daring oleh Lembaga Survei KedaiKOPI pada tanggal 22-30 Juli 2021 di 34 Provinsi dengan menjaring 1047 responden. Jumlah responden proporsional berdasarkan besaran populasi di setiap provinsi dengan sampel yang cenderung lebih besar laki-laki (55,2%) dari pada perempuan (44,8%), sebagian besar adalah generasi milenial dengan usia 25-40 tahun (45,5%) disusul oleh generasi Z dengan usia 17-24 tahun (31,8%) sebagai pengguna internet terbesar di Indonesia. Tingkat pendidikan sampel survei ini relatif lebih tinggi dari pada rata-rata tingkat pendidikan masyarakat Indonesia pada umumnya yaitu 40,8% lulusan S1 atau D4 dan 41,5% adalah lulusan SLTA atau sederajat. Survei ini didanai secara internal oleh Lembaga Survei KedaiKOPI. ***

Narahubung: Kunto Adi Wibowo (082116657021)

 

Hasil Survei selengkapnya bisa diakses dengan klik pranala di bawah ini

Survei Kata Publik Tentang Kinerja Kejaksaan

Sudirman Said: Solidaritas Sosial Warga Perlu Dikuatkan Dengan Kepemimpinan Instrinsik

Siaran Pers

Jakarta, 22 Juli 2021

Pandemi COVID-19 membuat masyarakat Indonesia semakin dermawan dan memunculkan Festival Tolong Menolong yang dilakukan oleh warga ungkap tokoh kemanusiaan Sudirman Said di dalam diskusi Gerakan Solidaritas Masyarakat yang diselenggarakan oleh Forum 2045 berkolaborasi dengan Lembaga Survei KedaiKOPI pada hari Kamis, 22 Juli 2021 secara daring. Hadir dalam diskusi tersebut Karlina Oktaviani dari BTS ARMY Indonesia, Muhammad Anshori dari Peduli Klaten, Wahyu Aji yang merupakan CEO Good News From Indonesia, Ni Kadek Dwi dari Karang Taruna Bali, dan Sudirman Said yang merupakan Sekjen PMI.

Muhammad Anshori yang merupakan aktivis pemuda dari Peduli Klaten mengungkapkan bahwa masyarakat nusantara sejatinya sudah siap untuk saling membantu dan gotong royong. Peduli Klaten yang berdiri sejak 2014 memiliki motto “Ora usah nyalahne sopo sopo, awak’e dhewe iso opo, ayo tumandang opo”(Tidak usah menyalahkan siapa-siapa, kita bisa apa, ayo kita kerjakan). Dengan motto tersebut Anshori melakukan gerakan pangan di desa-desa di Klaten untuk membantu meringankan beban warga di desa karena pandemi COVID-19.

Pemuda di dalam organisasi Karang Taruna juga tidak ketinggalan dalam gerakan solidaritas warga demi membantu sesama dalam pandemi COVID-19 yang dituturkan oleh Ni Kadek Dwi yang merupakan anggota Karang Taruna dari Bali. Ni Kadek mencontohkan kegiatan barbagi bahan pangan dan masker yang dilakukan oleh Karang Taruna di Bali. Lebih Lanjut edukasi kepada masyarakat tentang penggunaan masker dan partisipasi vaksinasi juga dilakukan secara intensif oleh anggota Karang Taruna di Bali. “Dengan vaksinasi kita berharap pariwisata di Bali bisa dibuka kembali, karena hampir 80% perekonomian di Bali tergantung dari pariwisata”, ujar Ni Kadek Dwi.

Solidaritas sosial yang sama didemonstrasikan oleh BTS ARMY Indonesia yang membantu makanan untuk ojek daring yang sedang isolasi mandiri serta membantu perempuan korban kekerasan yang angkanya meningkat sejak Pandemi COVID-19. Good News from Indonesia membantu dengan mengabarkan inisiatif solidaritas sosial warga di berbagai daerah yang pada akhirnya dapat menginspirasi dan dapat ditiru oleh masyarakat di daerah yang membutuhkan.

Sudirman Said mengapresiasi solidaritas sosial yang telah ditunjukkan oleh beragam komunitas di Indonesia di dalam bersama-sama menghadapi pandemi COVID-19. Solidaritas sosial warga perlu dikuatkan dengan kepemimpinan bangsa yang mengedepankan sisi intrinsik, yaitu sisi kerendah-hatian, layanan, dan kejujuran. “Hasil dari kepemimpinan dengan sisi intrinsik adalah penghormatan dan kerelaan untuk bergerak bersama,” tambah Sudirman Said. “Para pemimpin formal dan informal, di publik, dan di privat serta di masyarakat sipil harus berlomba-lomba menimbulkan keluhuran budi, kejujuran, kepedulian pada sesama dan keikhlasan untuk membangun kesediaan berkorban untuk tumbuh bersama, ” ujar tokoh kemanusiaan yang juga Sekretaris Jendral PMI.
***

Narahubung: Yoga Setyo Wibowo (0877-3880-6407)

KedaiKOPI Luncurkan Gerakan Bantu 1 Senyum 1000, Kedermawanan Kunci Tangani COVID-19

Lembaga Survei KedaiKOPI (Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia) meluncurkan Gerakan Bantu Satu Senyum Seribu bersamaan Diskusi Publik bertajuk “Memprediksi Keampuhan PPKM Mikro Darurat”. Gerakan ini diperkenalkan Direktur Eksekutif Lembaga Survei KedaiKOPI, Kunto Adi Wibowo, Ph.D. Kunto mengatakan Gerakan Bantu 1 Senyum 1000 adalah untuk mengapresiasi setiap individu yang membantu sesama walaupun hanya membantu 1 orang untuk meringankan beban orang tersebut. “Bantuannya apa saja boleh, tidak harus uang, nanti mereka akan mengisi data di situs kita dan akan kami berikan PIN sebagai tanda apresiasi. Nanti akan kami luncurkan resmi, saat ini masih soft launch, dalam proses,” jelas Kunto.

Indonesia sendiri baru saja dinobatkan sebagai negara dengan tingkat kedermawanan tertinggi di Dunia oleh Charities Aid Foundation. Di dalam rilis berjudul World Giving Index 2021 tersebut menyebutkan bahwa 8 dari 10 masyarakat Indonesia menyumbangkan uangnya pada tahun 2021. Kedermawanan ini dapat menjadi kekuatan bagi masyarakat untuk melewati Pandemi COVID-19 ini. “Kedermawanan sudah menjadi kultur di Indonesia. Semakin sulit keadaan masyarakatnya, keinginan untuk menyumbang masyarakat lainya pun juga semakin tinggi” kata Sudirman Said, Sekjen Palang Merah Indonesia.

Oleh karena itu, di waktu yang sulit ini dengan terutama dengan adanya Pelaksanaan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat yang membatasi mobilitas dapat dijadikan momentum untuk bergerak bersama saling membantu satu sama lain. “Kini waktu yang tepat untuk bergandeng tangan, menguatkan solidaritas untuk melewati masa yang sulit ini. Ini bukan hal mustahil terlebih masyarakat kita ini memiliki sifat kolektif yang tinggi.” lanjut Sudirman.

Selain kedermawanan masyarakatnya, kunci untuk melewati masa PPKM Darurat ini juga harus pematuhan terhadap kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah. Namun, di sisi lain, kebijakan yang dikeluarkan pun juga harus memenuhi berapa syarat. “Kebijakan tersebut harus seragam, serentak, konsisten, serta dijadikan sebagai sebuah gerakan sehingga suasananya itu semacam suasana kebangkitan gerakan masyarakat, bukan sebuah kewajiban,” kata Sudirman.

Menciptakan suasana gerakan masyarakat ini menjadi kunci agar masyarakat memahami bahwa peran mereka sangat penting di masa seperti ini. Hal ini juga diamini oleh Arifin Purwakananta, Direktur Badan Amil dan Zakat Nasional (Baznas). Ia mengatakan bahwa perbedaan masyarakat kita dengan negara lain adalah motor terkuat justru ada di masyarakatnya. “Oleh karena itu, gagasan seperti Gerakan Bantu 1 Senyum 1000 harus didukung karena hal ini menunjukkan bahwa kita sama-sama dalam satu tim menghadapi pandemi ini” kata Arifin.

Pendapat ini juga didukung oleh Wida Septarina, Pendiri Foodbank Of Indonesia (FOI) yang menyatakan bahwa peran masyarakat yang membantu di kala Pandemi ini sangat bermakna. Keterlibatan tersebut dapat dilakukan di dalam berbagai bentuk, seperti ikut sebagai relawan atau membantu mendeteksi daerah mana yang sedang butuh bantuan.

“Mengingat bahwa keterlibatan masyarakat sangat penting, maka Gerakan Gerakan Bantu 1 Senyum 1000 dapat menjadi wadah bagi masyarakat untuk membantu dengan bentuk apapun di masa sulit seperti saat ini,” kata Wida.   

Oleh karena itu, gerakan seperti Gerakan Bantu 1 Senyum 1000 ini bisa wadah bagi masyarakat yang ingin membantu dan menghubungkan kepada mereka yang sedang membutuhkan. “Setiap krisis maupun bencana di Indonesia, yang menolong masyarakat ya masyarakat itu sendiri, oleh karena itu saya percaya Indonesia akan keluar dari krisis ini dengan kekuatan sosial yang luar biasa.” Sudirman mengakhiri.

Tentang PTM, BPKN : Keamanan Murid, Tenaga Pendidik, dan Lingkungan Sekolah Harus Jadi Prioritas

Siaran Pers

Jakarta, 24 Juni 2021

Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) menekankan bahwa keamanan murid, tenaga pendidik, dan lingkungan sekolah merupakan prioritas utama di dalam rencana Pemerintah Pusat di dalam mengembalikan proses pembelajaran secara tatap muka pada Juli 2021 nanti.

Hal tersebut disampaikan oleh Komisioner BPKN, Dr. Megawati Simanjuntak di dalam diskusi daring bertajuk “Mencari Yang Terbaik Bagi Pendidikan Indonesia Di Era Pandemi, Tatap Muka atau Tetap Daring?” yang diselenggarakan oleh Lembaga Survei KedaiKOPI, Kamis (24/6).

Rencana Pembelajaran Tatap Muka dapat dijalankan jika memenuhi beberapa syarat, seperti tenaga pendidik yang sudah divaksinasi, menjalankan protokol kesehatan ketat, berada di zona hijau, dan mendapat izin orang tua.

“Namun, titik kritis yang harus diperhatikan semua pihak adalah saat perjalanan siswa dari rumah, juga saat kembali ke rumah, dan sarana transportasi yang digunakan karena hal tersebut kurang bisa dikontrol oleh sekolah maupun orang tua,” lanjut Megawati.

Perlindungan terhadap murid, tenaga pendidik, dan lingkungan sekolah juga diamini oleh Syaiful Huda, Ketua Komisi X DPR RI yang merupakan mitra kerja Kemendikbudristek. “Untuk seluruh daerah Jawa dan zona merah di luar Jawa, jangan memaksakan Pembelajaran Tatap Muka karena kondisi saat ini tidak memungkinkan,” kata Syaiful Huda.

Syaiful Huda juga mengingatkan bahwa vaksinasi untuk tenaga pendidik merupakan syarat mutlak jika Pembelajaran Tatap Muka ingin dilaksanakan. “hingga saat ini, baru 20% tenaga pendidik di seluruh Indonesia yang sudah divaksinasi, itu masih jauh sekali capaian sehingga Kemendikbudristek jangan memaksakan Pembelajaran Tatap Muka.” lanjut Syaiful Huda.

dr. Daeng M Faqih, Ketua PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI) setuju bahwa vaksinasi terhadap tenaga pendidik merupakan hal wajib bagi berjalannya Pembelajaran Tatap Muka. “Bukan hanya itu, murid pun juga sudah harus divaksinasi karena saat ini vaksin sudah aman untuk anak-anak sehingga potensi terpapar pun menjadi lebih kecil,” kata dr. Daeng.

Pembelajaran Tatap Muka memang dinantikan oleh murid dan orang tua karena dalam pembelajaran secara daring selain memiliki keterbatasan teknologi, dan kemampuan orang tua dalam menggantikan posisi guru, dampak paling besarnya adalah learning loss.

“Murid akan cenderung kehilangan minat belajar atau learning loss karena adanya perbedaan situasi penerimaan pembelajaran, yang biasanya di sekolah kini hanya di depan gawai saja,” Megawati menambahkan.

Argumentasi ini juga didukung oleh Prof. Unifah Rosyidi, Ketua PB Persatuan Guru Republik Indonesia yang menyatakan bahwa learning loss merupakan salah satu hambatan utama dari pembelajaran secara daring.

“Oleh karena itu, penyesuaian kurikulum menjadi penting dilakukan agar materi pembelajaran dapat lebih mudah diterima oleh peserta didik dengan segala keterbatasan melalui daring,” kata Prof. Unifah.

Kesimpangsiuran mengenai informasi Pembelajaran Tatap Muka di Juli 2021 ini membuat bingung semua pihak. “Pemerintah Pusat seharusnya bisa menjelaskan secara gamblang dan memutuskan jadi atau tidaknya mengenai rencana ini agar masyarakat khususnya murid, orang tua, dan tenaga pendidik tidak kebingungan” kata Kunto Adi Wibowo, Ph.D., Direktur Eksekutif Lembaga Survei KedaiKOPI.

Ia menambahkan bahwa saat ini kecenderungan publik tidak mendukung rencana Pembelajaran Tatap Muka di Juli 2021 karena meningkatnya kasus positif di Indonesia yang semakin parah tiap harinya. “Dari hasil survei yang KedaiKOPI lakukan, sebanyak 59% tidak mendukung rencana ini, dan hanya 41% yang mendukung rencana ini” Kunto mengakhiri.

 

Selengkapnya, rekaman diskusi “Mencari Yang Terbaik Bagi Pendidikan Indonesia Di Era Pandemi, Tatap Muka atau Tetap Daring?”  dapat disaksikan dengan klik di sini

Rekaman Diskusi 

Hasil presentasi dari diskusi “Mencari Yang Terbaik Bagi Pendidikan Indonesia Di Era Pandemi, Tatap Muka atau Tetap Daring?” bisa di unduh di pranala berikut ini:

KedaiKOPI-Opini Publik Indonesia Sekolah PTM
BPKN-Kajian PTM