Peristiwa Desa Wadas, Refleksi Tujuan Pembangunan Pemerintah

Siaran Pers

Jakarta, 15 Februari 2022

Peristiwa di Desa Wadas dapat menjadi refleksi mengenai tujuan pembangunan yang mengedepankan asas-asas kemanusiaan, keadilan, kejujuran, dan melindungi sesama. Hal ini disampaikan oleh Sudirman Said selaku Koordinator Nasional Forum Solidaritas Kemanusiaan Di dalam diskusi publik “Wadas: Panggilan Kemanusiaan dalam Pembangunan” yang diselenggarakan oleh Forum Solidaritas Kemanusiaan yang didukung oleh Lembaga Survei KedaiKOPI dan Institut Harkat Negeri (IHN) bersama Kemanusiaan pada Selasa, 15 Februari 2022 secara daring.

Sudirman mengatakan bahwa kita harus kembali mengalibrasi bagaimana cara mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, karena itu tujuan utama dari bernegara, terutama dengan sila ke empat yakni bermusyawarah dan berdemokrasi.

“Tujuan bernegara kita ingin mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, itu tujuan utama dari bernegara, caranya dengan sila ke empat, dengan bermusyawarah, berdemokrasi, kemudian musyawarah tidak mungkin dilakukan tanpa semangat bersatu. Maka kita pegang teguh persatuan Indonesia, kemudian persatuan hanya mungkin apabila di antara kita, saling menghargai aspek kemanusiaan, karena itu sila kedua kemanusiaan yang adil dan beradab,” imbuh Sudirman.

Anggota Komnas HAM Beka Ulung Hapsara mengungkapkan bahwa masalah tambang batu andesit di desa Wadas membuat warga terpecah belah menjadi dua sisi, antara pro dan kontra. Selain itu, di sisi lain, warga Desa Wadas juga menurutnya sedikit trauma dan banyak yang tidak berani pulang ke rumah mereka.

“Concern saya adalah soal relasi sosial, ini warga terpecah belah, di sisi lain warga ada trauma segala macam yang itu juga harus segera disikapi. Saya tidak melihat mana yang lebih besar, mana yang lebih sedikit, tetapi bagaimana kemudian suara-suara warga kita didengar kemudian kita lindungi haknya,” ungkap Beka.

Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil menyatakan bahwa pihaknya sudah meminta ke Gubernur, bahwa hak kepemilikan harus diakui, walaupun dalam UU Agraria Pasal 18 sudah diatur mengenai kepentingan bangsa negara dan masyarakat. “Hak kepemilikan itu bisa dicabut, tapi harus diingat, hak kepemilikan tidak hanya kepemilikan semata, tapi di situ ada unsur psikologis emosional di dalamnya, sehingga tidak bisa pendekatannya sok kuasa,” jelasnya.

Nasir Djamil juga sudah mengingatkan kepada pemerintah mengenai aspek psikologis emosional yang sebelumnya diabaikan oleh pemerintah. “Karena itu saya katakan kepada pemerintah, terkait dengan Bendungan Bener di Purworejo itu segeralah tunaikan hak rakyat dan bayarlah kompensasi kepada rakyat yang telah memberikan lahan mereka untuk pembangunan Bendungan Bener yang merupakan proyek strategis nasional,” katanya.

Nasir juga menyarankan pemerintah untuk mencari alternatif lain, dan untuk menghormati hak masyarakat yang ada di Wadas tersebut. “Kalau warga sudah menolak, alihkan ke tempat lain, hormati kemauan rakyat karena mereka ingin menjaga alam mereka,” tegas Nasir.

Di kesempatan ini, Miing Gumelar menyatakan bahwa orang-orang di Desa Wadas saat ini tidak dijaga rasa amannya. Menurutnya rasa aman adalah hak dasar dari warga negara Indonesia (WNI yang harus dilindungi. “Kalau sekarang mereka takut, berarti pemeritahan dari level bawah sampai atas melakukan tindakan pelanggaran terhadap konstitusi,” katanya.

Menurut Beka Ulung, apabila warga sudah ingin memutuskan apakah mereka menerimanya, hal ini harus berada di kondisi bebas tekanan dan intimidasi. “Ketika mereka memutuskan juga, memutuskannya dalam situasi kondisi bebas dari tekanan, bebas dari intimidasi, atau bebas dari provokasi. Itu yang penting yang perlu kita dorong bersama, sehingga nantinya Wadas punya solusi,” katanya.

Sementara itu Okky dan Miing juga menyarankan bahwa pemerintah saat ini harus merumuskan bagaimana pembangunan berjalan, tanpa mengganggu warga Wadas. “Ketika mereka menolak, ya sudah, gunakan kecerdasan pemerintah untuk mencari alternatif lain, pembangunan tetap jalan tanpa harus merusak tatanan sosial, adat istiadat penduduk lokal,” kata Miing.

Dari peristiwa ini Sudirman Said juga melihat ada beberapa hal yang keliru di sisi pemerintah, terutama dalam pengelolaan krisis. Bahkan, ia menyayangkan dialog dan komunikasi yang dilakukan pemerintah, seperti Menko Polhukam Mahfud MD dan Gubernur Jateng Ganjar Pranowo yang tidak mendinginkan publik, malah cenderung menutupi keadaan dan menyimplifikasi situasi seolah tidak ada hal yang rumit, sehingga letupan masalah terjadi di masyarakat.

“Padahal dalam krisis manajemen itu prinsip-prinsip mengelola krisis yang pertama-tama kita mesti menjelaskan apa adanya, karena semakin ditutupi, letupan-letupan berikutnya semakin kredibilitas dari pengelola krisis, semakin turun,” katanya.

Sudirman mengatakan bahwa kita harus kembali mengalibrasi bagaimana cara mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, karena itu tujuan utama dari bernegara, terutama dengan sila ke empat yakni bermusyawarah dan berdemokrasi.

Diskusi publik “Wadas: Panggilan Kemanusiaan dalam Pembangunan” yang diselenggarakan oleh Forum Solidaritas Kemanusiaan yang didukung oleh Lembaga Survei KedaiKOPI dan Institut Harkat Negeri (IHN) bersama Kemanusiaan. Diskusi ini dihadiri oleh Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil, Kornas Forum Solidaritas Kemanusiaan Sudirman Said, Anggota Komnas HAM Beka Ulung Hapsara, Budayawan Dedy Miing Gumelar, dan Penulis Okky Madasari sebagai pembicara.

Dapur KedaiKOPI: Nalar Publik akan Terjaga Bila Para Pemimpin Mampu Menghindar dari Benturan Kepentingan

Siaran PERS:

Dapur KedaiKOPI: Nalar Publik akan Terjaga Bila Para Pemimpin Mampu Menghindar dari Benturan Kepentingan

Jakarta, 04 februari 2022. Tindakan represif yang diterima publik dari Undang-Undang dan opini sesama kalangan publik dinilai membuat nalar kritis publik menjadi terdegradasi. Padahal, publik seharusnya dapat menerapkan salah satu fungsinya sebagai pengawas kebijakan pemerintah.

Dalam catatan Rekomendasi Akademi Jakarta 2022 yang bertajuk “Cegah Penghancuran Nalar Publik” dijelaskan bahwa permasalahan di Indonesia berakar pada praktik ekonomi- politik yang menyuburkan oligarki dan korupsi, penguasaan sumber daya secara tidak adil, pengabaian hak asasi manusia, serta kerusakan alam.

Bahkan Akademi Jakarta mendesak agar dilakukan perubahan menyeluruh di bidang pendidikan mulai tingkat paling dini hingga pendidikan tinggi, lingkungan hidup, kehidupan sosial, ekonomi dan politik.

Ketua Akademi Jakarta, Seno Gumira Ajidarma, menjelaskan bahwa dibuatnya rekomendasi di aspek pendidikan, lingkungan hidup, intoleransi sosial, ekonomi, dan politik karena banyak orang yang tidak berani mengemukakan pendapatnya saat ini akibat dari ketakutan publik yang membuat nalar publik sedikit mundur.

“Banyak orang itu baik-baik saja tapi tidak berani bicara, bahkan berani bicara setidaknya tidak bertentangan, ini merata, atas nama sopan santun, adab dan lain lain. Saya kira ini gejala yang tidak bagus, jadi kita buka, dengan menghapus segala macam sifat yang vulgar tidak etis, segala macam, orang biasa,” katanya.

Harapannya, rekomendasi ini dapat diterima oleh publik, karena itu yang menjadi tujuan utamanya. Selain itu, ia juga berharap dokumen ini dapat menginspirasi siapa pun yang membacanya, bahkan apabila hanya membaca judulnya saja. “Saya kira dengan orang baca judulnya orang akan berpikir, “Jangan-jangan saya yang hancur nih nalarnya”. Sehingga mereka langsung aware, mulai saat ini saya jangan sampai bertingkah anti nalar. Itu saja sudah cukup,” ungkap Seno.

Sementara itu, Ketua Institut Harkat Negeri, Sudirman Said, mengungkapkan bahwa dokumen ini penting, dalam kacamatanya, saat ini pengingkaran atau penghancuran nalar publik sudah menunjukkan tanda yang jelas, cepat, dan pasti.

“Sebagai publik, kita sering disuguhkan hal-hal yang mengganggu nalar. Contoh, negeri kita sangat kaya dengan sawit, dan eksportir sawit terbesar, tetapi mengapa masyarakat sulit mendapatkan minyak goreng, sehingga pemerintah mengeluarkan subsidi? Itu pun tidak sampai kepada sasaran. Pertanyaannya, apakah ini dapat diterima oleh nalar publik?” katanya dalam diskusi ini.

Sudirman juga menyayangkan suasana takut mengoreksi ini terus membelenggu publik. Bahkan, penilaiannya, saat ini kalangan akademis juga menunjukkan gejala serupa, padahal mereka seharusnya menjadi sumber-sumber dari pikiran bebas dan kritis. “Menurunnya sifat kritis menjadi warning, ini soal bangsa, soal besar. Karena tanpa kritis kita akan kehilangan ide terbaik untuk membangun bangsa ini. Keunggulan lahir dari keberagaman dan keberagaman muncul dari kebebasan berpikir dan berpendapat,” ungkapnya.

Analis Komunikasi Politik, Hendri Satrio, melakukan riset dan menemukan publik saat ini jauh dari berpihak pada kewajaran. Menurutnya, nalar publik dan kewajaran diterjemahkan sebagai keselamatan, keselamatan untuk diri sendiri dan keselamatan untuk keluarga.

“Kalau saya baca bukunya Pak Sudirman Said, Berpihak Pada Kewajaran. Terus kemarin saya baca dokumen Akademi Jakarta. Kemudian saya merinci kembali FGD yang dilaksanakan Lembaga Survei KedaiKOPI, hasilnya jauh pada berpihak kewajaran. Saya sadari dalam diskusi ini kita semua hidup dalam ketakutan. Sehingga nalar publik tidak digunakan lagi. ketakutan kita mempengaruhi kehidupan kita secara menyeluruh,” ungkapnya.

Pria yang akrab disapa Hensat ini juga berharap bahwa dokumen tersebut dibaca oleh siapa pun calon presiden yang akan maju di tahun pada tahun 2024 nanti. Sehingga, para politisi ini akan menggunakan nalar publik dengan cukup baik. Terutama saat ini publik membutuhkan tokoh yang cerdas dan visioner.

“Mudah-mudahan para politisi yang akan maju 2024 membaca ini. Salah satu survei dari Lembaga Survei KedaiKOPI ada pergeseran bandul politik pada kriteria Capres yang disukai masyarakat, sebelumnya masyarakat ingin presiden yang merakyat. Tetapi saat ini cerdas dan visioner mengalahkan merakyat. mudah-mudahan para capres membaca, sehingga mereka menggunakan nalar publik. Dan mudah-mudahan kemunduran bersama menjadi kemajuan bersama,” pungkas Hendri.

Diskusi Dapur KedaiKOPI yang bertajuk “Nalar Publik Barang Langka?” ini diselenggarakan pada tanggal 4 Februari 2022 dan mengundang Ketua Akademi Jakarta, Seno Gumra Ajidarma, Ketua Institut Harkat Negeri, Sudirman Said, dan Analis Komunikasi Politik, Hendri Satrio yang dilakukan secara virtual melalui kanal Zoom dan Youtube.

Generasi Muda Merasa Pemerintah Serius Tangani Perubahan Iklim

Jakarta, 28 Oktober 2021

Generasi muda Indonesia menilai pemerintah serius dalam menangani perubahan iklim. Hal tersebut dipaparkan oleh Direktur Eksekutif Lembaga Survei KedaiKOPI, Kunto Adi Wibowo, Ph.D dalam diskusi Dapur KedaiKOPI pada hari Kamis (28/10). “Sebanyak 77% responden menyatakan bahwa pemerintah serius dalam penanganan perubahan iklim di Indonesia. Persepsi keseriusan ini juga tersebar secara merata baik Gen Z (78,8%) maupun Gen Y (75,2%)” kata Kunto.

Semakin rendah tingkat pendidikan maka akan menganggap perubahan iklim sebagai hal yang tidak darurat. Hal ini menunjukkan pentingnya edukasi kepada masyarakat yang mengenai kedaruratan perubahan iklim. Di sisi lain, generasi muda meyakini bahwa krisis iklim yang terjadi di Indonesia dapat dikendalikan oleh manusia. “Sebanyak 78% responden menyatakan bahwa manusia memiliki kontrol terhadap perubahan iklim menjadi lebih baik” kata Kunto.

Namun, top of mind generasi muda terhadap perubahan iklim masih sebatas istilah-istilah normatif. “Perubahan suhu merupakan asosiasi tertinggi dengan perubahan iklim (19,2%), selanjutnya perubahan cuaca (19,1%), perubahan musim (18,0%), dan global warming (10,3%).” kata Kunto. Hal yang menarik justru masih ada generasi muda yang menganggap perubahan iklim sebagai hal yang wajar (7,2%).

Di sisi lain, Generasi muda juga mengingatkan bahwa pemerintah harus lebih tegas dan bertanggungjawab di dalam menangani perubahan iklim. “Ada 15,3% generasi muda mengatakan pemerintah harus lebih tegas dan bertanggungjawab di dalam menangani perubahan iklim, tindakan yang diinginkan generasi muda adalah seperti menindak pelaku perusakan alam, atau bertanggung jawab terhadap kerusakan alam yang terjadi” lanjut Kunto.

Bukan hanya lebih tegas dan bertanggungjawab, generasi muda juga menginginkan pemerintah melakukan reboisasi besar-besaran (15,3%), menggalakan penggunaan energi terbarukan (10,5%), dan membuka lebih banyak ruang terbuka hijau (7,5%).

Selain menanyakan mengenai lingkungan hidup, survei ini juga menanyakan perihal ketegangan yang terjadi di Laut Natuna atau yang dikenal secara internasional sebagai Laut China Selatan. Sebanyak 74,7% generasi muda meyakini bahwa konflik terbuka di Laut Natuna akan terjadi. “Ada kesadaran yang tinggi dari generasi muda perihal ketegangan di Laut Natuna” lanjut Kunto.

Eskalasi ketegangan di Laut Natuna menuntut adanya keseriusan pemerintah di dalam mengatasi potensi konflik di laut yang berada di utara Kepulauan Natuna tersebut. “Generasi muda mengapresiasi keseriusan Pemerintah dalam isu ini, sebanyak 70,7% responden menilai bahwa pemerintah serius mengatasi permasalahan di Laut Natuna’ kata Kunto.

Survei Persepsi Anak Muda Tentang Lingkungan Hidup dan Laut Natuna Menjelang G20 dilakukan melalui sambungan telepon pada 14-21 Oktober 2021. Survei ini dilakukan kepada 1200 responden dari 8592 anggota panel responden Lembaga Survei KedaiKOPI dengan response rate sebesar 13,97% dengan populasi yang berusia 14-40 tahun.

===

Lembaga Survei KedaiKOPI : Optimisme Generasi Muda Tinggi, Namun Politik Dan Hukum Butuh Perhatian Lebih

Siaran Pers

Jakarta, 13 Agustus 2021

Rasa optimisme generasi muda terhadap Indonesia terbilang tinggi meski rasa tersebut di sektor politik dan hukum tergolong rendah sehingga harus menjadi perhatian bersama. Hal ini dapat terlihat dari hasil Survei Indeks Optimisme Generasi Muda Indonesia 2021 yang diluncurkan oleh Lembaga Survei KedaiKOPI pada 13 Agustus 2021.

Direktur Eksekutif Lembaga Survei KedaiKOPI, Kunto Adi Wibowo, mengatakan, “Indeks optimisme ini kami bagi menjadi beberapa sektor dengan urutan tertinggi pendidikan dan kebudayaan (83,9%), kebutuhan dasar (75,1%), ekonomi dan kesehatan (64,5%), kehidupan sosial (50,5%), serta politik dan hukum mendapatkan rasa optimisme terendah dengan 28,1%.” kata Kunto.

Alasan utama sektor politik dan hukum mendapatkan nilai optimisme terendah dikarenakan kurangnya keyakinan generasi muda bahwa praktik KKN akan menurun di masa mendatang. “Hanya 30,8% responden saja yang menjawab optimis praktik KKN akan semakin rendah di masa mendatang,” lanjut Kunto.

Di sisi lain, rasa optimisme generasi muda di sektor pendidikan dan kebudayaan sangat tinggi. Hal ini disebabkan adanya keyakinan mendapatkan akses pendidikan berkualitas di masa mendatang, terutama dari Generasi Y.

“Mudahnya akses terhadap pendidikan di setiap daerah dalam dekade terakhir menjadi salah satu alasan mengapa generasi muda khususnya Generasi Y merasa optimis di sektor pendidikan,” ujar Kunto

Secara keseluruhan, bahwa 64% generasi muda merasa optimis dengan Indonesia. Hal ini merupakan sesuatu yang dapat kita terima dengan baik mengingat kita semua sedang mengalami kesulitan dengan adanya pandemi yang tak kunjung usai. “Hasil ini dapat menjadi sebuah oase bagi kita semua di tengah berita-berita tak mengenakan yang biasa kita terima belakangan ini.” lanjut Kunto.

Hal ini juga diamini oleh Analis Komunikasi Politik, Hendri Satrio. Ia pun menyambut baik adanya Survei Indeks Optimisme Generasi Muda yang diselenggarakan Lembaga Survei KedaiKOPI ini.

“Dengan adanya Survei Indeks Optimisme ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah di dalam melaksanakan pembangunan, serta menjadi pemicu kerja baik bagi aparat sektor sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, ekonomi, serta politik dan hukum” Kata Hendri yang biasa di sapa Hensat ini.

Selain itu, survei ini juga berusaha mengidentifikasi permasalahan utama apa yang sedang dihadapi oleh Indonesia saat ini menurut generasi muda.

“73,3% generasi muda menyebutkan bahwa COVID-19 menjadi masalah utama bagi Indonesia di hari ini, jauh dari masalah-masalah lain seperti kebijakan pemerintah yang tidak tegas (4,3%), fasilitas kesehatan dan vaksin (3,6%), ketaatan penerapan protokol kesehatan (3,5%), serta isu KKN (2,9%).” Kata Kunto.

Di sisi lain, kebijakan pemerintah yang menyulitkan dan tidak menjadi isu utama yang menjadi perhatian generasi muda dengan nilai 25,8%, disusul oleh isu mengenai lapangan pekerjaan (17,1%), dan isu perekonomian (11,4%).

“Hal ini harus menjadi perhatian khusus bagi pemerintah untuk memperbaiki pembuatan kebijakannya serta fokus juga di dalam penyediaan lapangan pekerjaan bagi generasi muda” kata Kunto.

Survei Indeks Optimisme Generasi Muda Indonesia 2021 diselenggarakan oleh Lembaga Survei KedaiKOPI bekerja sama dengan Good News From Indonesia. Survei ini diselenggarakan pada 8-15 Juli 2021 dengan menggunakan metode telesurvey kepada 800 responden yang tersebar di 11 kota besar di Indonesia.

Hasil lengkap bisa diakses di bawah ini
Survei Indeks Optimisme Generasi Muda Indonesia 2021

Lembaga Survei KedaiKOPI: Lampu Kuning Kinerja Kejaksaan

Siaran Pers

Jakarta, 12 Agustus 2021.

Beberapa kasus penegakan hukum yang sempat mencuat dan menjadi viral akhir-akhir ini, mendorong Lembaga Survei KedaiKOPI untuk melakukan survei opini publik tentang kinerja lembaga penuntutan di negeri ini. Hasil survei tersebut mengungkapkan bahwa masih terjadi disparitas (ketimpangan perlakuan) penegakan hukum dan penanganan perkara yang dilakukan oleh institusi Kejaksaan pada kasus-kasus tertentu.

Direktur Eksekutif Lembaga Survei KedaiKOPI, Kunto Adi Wibowo mengatakan, “Sebanyak 59,5 persen dari responden di seluruh Indonesia menganggap disparitas atau ketimpangan perlakuan yang cenderung tidak adil dalam penegakan hukum di kejaksaan sangat besar”. Responden menilai masih ada ketidakadilan hukum yang masih tajam ke bawah, tumpul ke atas. “Disparitas hukum dipersepsi terjadi hampir di seluruh provinsi di Indonesia yang harus menjadi perhatian kejaksaan dan pemerintah,” imbuh Kunto.

Selain itu, sebanyak 71,7% responden di seluruh Indonesia menganggap telah terjadi disparitas perlakuan hukum terhadap eks Jaksa Pinangki. Terbukti dengan adanya tuntutan hukuman yang rendah serta tidak diajukannya kasasi atas putusan hakim oleh Jaksa Penuntut Umum adalah alasan utama persepsi warga tentang disparitas hukum tersebut.

Founder KedaiKOPI yang juga analis komunikasi politik, Hendri Satrio mengatakan “71,2% warga Indonesia menganggap tuntutan JPU terhadap Pinangki terlalu ringan, 61,6% tidak setuju terhadap absennya proses kasasi dari JPU, dan 65,6% menganggap ada perlakuan tidak adil dari Kejaksaan dalam kasus Pinangki. Ini karena Kejaksaan dianggap melindungi anggotanya.”

Hendri Satrio menambahkan bahwa di dalam survei ini mayoritas publik, atau 79,6%, memiliki persepsi bahwa telah ada ‘bantuan orang dalam’ sehingga Pinangki kemudian mendapatkan hukuman yang rendah.

Berangkat dari persepsi kasus Pinangki tersebut, masyarakat akhirnya menilai bahwa disparitas hukum atau pidana yang terjadi di tubuh institusi Kejaksaan di seluruh Provinsi di seluruh pelosok negeri ini ternyata sangat tinggi. “Terdapat 59,5% responden yang menganggap disparitas hukum di Provinsi mereka (responden) sangat besar,” tukas Hendri Satrio.

Alasan responden memberikan penilaian adanya disparitas hukum yang besar ini terlihat dari hasil survei mengungkapkan bahwa hukum masih bersifat tumpul ke atas dan tajam ke bawah.

Efek lain dari skandal kasus Pinangki adalah kesetujuan masyarakat yang tinggi terhadap permintaan Indonesia Corruption Watch (ICW) kepada Presiden Jokowi untuk memberhentikan Jaksa Agung ST. Burhanudin. Terdapat 81,7% responden yang setuju dengan permintaan ICW tersebut dengan alasan menurunnya performa kejaksaan (30,8%), tidak transparan dalam penanganan kasus (22,7%), dan dianggap terlibat dalam kasus Pinangki (9%).

Sedangkan 18,3% responden tidak setuju dengan permintaan ICW tersebut dengan alasan antara lain, belum terbukti terlibat (12%) dan kinerjanya masih baik (10,5%). Direktur Eksekutif Lembaga Survei KedaiKOPI, Kunto Adi Wibowo, mengatakan, “Secara umum, tingkat kepuasan masyarakat terhadap kepemimpinan ST. Burhanudin di Kejaksaan relatif rendah, hal tersebut terlihat dari 61,8% menyatakan tidak puas akan kinerjanya memimpin institusi Kejaksaan.”

“Dari hasil survei juga tampak bahwa 59,8% lapisan masyarakat menyangsikan komitmen Jaksa Agung ST. Burhanudin dalam melaksanakan reformasi birokrasi di Kejaksaan,” imbuh Kunto.

Di lain sisi, pada penanganan kasus Jiwasraya dan Asabri, yang menarik adalah sebanyak 30,4 persen responden tidak setuju dengan penyitaan aset yang bukan berasal dari hasil korupsi. Mereka memiliki alasan antara lain, merugikan pihak yang tidak bersalah seperti investor (49,9%) dan harus ada pemisahan aset nasabah dan aset perusahaan (12,5%). Sedangkan dari 69,6% responden yang setuju, sebagian beralasan bahwa untuk mengembalikan kerugian negara (23,2%), menimbulkan efek jera (21,6%), dan dikembalikan kepada nasabah (20,3%).

“Yang paling penting adalah bahwa 69,1% publik menganggap pengusutan kasus Jiwasraya dan Asabri ini telah mengganggu roda pasar saham dan investasi di Indonesia,” Hendri Satrio menambahkan.

Kunto mengatakan, “Dalam survei ini, publik juga menyoroti transparansi seleksi CPNS di Kejaksaan, terbukti 52,4% responden menyatakan kurang transparan. Lebih lanjut lagi, 62,4% publik menengarai praktik jual beli lowongan CPNS di Kejaksaan terjadi dalam skala yang besar.”

Permasalahan SDM di tubuh Kejaksaan terpotret dari persepsi responden yang sebagian besar (69,5%) menganggap Jaksa atau penyidik sangat diskriminatif saat melakukan penanganan perkara. Publik juga menyoroti praktik pemaksaan pemberian hadiah dengan janji, atau suap dalam bentuk material maupun non material yang dianggap oleh 71,1% responden sangat sering terjadi. Survei ini juga mengungkapkan bahwa 11% dari responden pernah mengalami atau mengetahui cerita adanya pelecehan seksual ketika berperkara di Kejaksaan.

Hendri Satrio menginterpretasikan,”61,1% responden masih yakin ada penyidik atau jaksa memiliki integritas yang tinggi. Modal integritas ini haruslah didukung dengan institusi dan pemimpin yang kuat dan bersih sehingga bisa menegakkan hukum tanpa tebang pilih.” Hensat menambahkan, “namun secara keseluruhan hasil survei ini merupakan lampu kuning dari masyarakat untuk Kejaksaan.”

Pernyataan Hendri Satrio ini seiring dengan saran responden yang 64,5% di antaranya menghendaki Kejaksaan untuk tidak tebang pilih dan lebih transparan dalam menangani kasus. Disusul dengan 8,3% responden menyarankan peningkatan kualitas SDM.

‘Survei Kata Publik Tentang Kinerja Kejaksaan’ ini dilakukan secara daring oleh Lembaga Survei KedaiKOPI pada tanggal 22-30 Juli 2021 di 34 Provinsi dengan menjaring 1047 responden. Jumlah responden proporsional berdasarkan besaran populasi di setiap provinsi dengan sampel yang cenderung lebih besar laki-laki (55,2%) dari pada perempuan (44,8%), sebagian besar adalah generasi milenial dengan usia 25-40 tahun (45,5%) disusul oleh generasi Z dengan usia 17-24 tahun (31,8%) sebagai pengguna internet terbesar di Indonesia. Tingkat pendidikan sampel survei ini relatif lebih tinggi dari pada rata-rata tingkat pendidikan masyarakat Indonesia pada umumnya yaitu 40,8% lulusan S1 atau D4 dan 41,5% adalah lulusan SLTA atau sederajat. Survei ini didanai secara internal oleh Lembaga Survei KedaiKOPI. ***

Narahubung: Kunto Adi Wibowo (082116657021)

 

Hasil Survei selengkapnya bisa diakses dengan klik pranala di bawah ini

Survei Kata Publik Tentang Kinerja Kejaksaan

Sudirman Said: Solidaritas Sosial Warga Perlu Dikuatkan Dengan Kepemimpinan Instrinsik

Siaran Pers

Jakarta, 22 Juli 2021

Pandemi COVID-19 membuat masyarakat Indonesia semakin dermawan dan memunculkan Festival Tolong Menolong yang dilakukan oleh warga ungkap tokoh kemanusiaan Sudirman Said di dalam diskusi Gerakan Solidaritas Masyarakat yang diselenggarakan oleh Forum 2045 berkolaborasi dengan Lembaga Survei KedaiKOPI pada hari Kamis, 22 Juli 2021 secara daring. Hadir dalam diskusi tersebut Karlina Oktaviani dari BTS ARMY Indonesia, Muhammad Anshori dari Peduli Klaten, Wahyu Aji yang merupakan CEO Good News From Indonesia, Ni Kadek Dwi dari Karang Taruna Bali, dan Sudirman Said yang merupakan Sekjen PMI.

Muhammad Anshori yang merupakan aktivis pemuda dari Peduli Klaten mengungkapkan bahwa masyarakat nusantara sejatinya sudah siap untuk saling membantu dan gotong royong. Peduli Klaten yang berdiri sejak 2014 memiliki motto “Ora usah nyalahne sopo sopo, awak’e dhewe iso opo, ayo tumandang opo”(Tidak usah menyalahkan siapa-siapa, kita bisa apa, ayo kita kerjakan). Dengan motto tersebut Anshori melakukan gerakan pangan di desa-desa di Klaten untuk membantu meringankan beban warga di desa karena pandemi COVID-19.

Pemuda di dalam organisasi Karang Taruna juga tidak ketinggalan dalam gerakan solidaritas warga demi membantu sesama dalam pandemi COVID-19 yang dituturkan oleh Ni Kadek Dwi yang merupakan anggota Karang Taruna dari Bali. Ni Kadek mencontohkan kegiatan barbagi bahan pangan dan masker yang dilakukan oleh Karang Taruna di Bali. Lebih Lanjut edukasi kepada masyarakat tentang penggunaan masker dan partisipasi vaksinasi juga dilakukan secara intensif oleh anggota Karang Taruna di Bali. “Dengan vaksinasi kita berharap pariwisata di Bali bisa dibuka kembali, karena hampir 80% perekonomian di Bali tergantung dari pariwisata”, ujar Ni Kadek Dwi.

Solidaritas sosial yang sama didemonstrasikan oleh BTS ARMY Indonesia yang membantu makanan untuk ojek daring yang sedang isolasi mandiri serta membantu perempuan korban kekerasan yang angkanya meningkat sejak Pandemi COVID-19. Good News from Indonesia membantu dengan mengabarkan inisiatif solidaritas sosial warga di berbagai daerah yang pada akhirnya dapat menginspirasi dan dapat ditiru oleh masyarakat di daerah yang membutuhkan.

Sudirman Said mengapresiasi solidaritas sosial yang telah ditunjukkan oleh beragam komunitas di Indonesia di dalam bersama-sama menghadapi pandemi COVID-19. Solidaritas sosial warga perlu dikuatkan dengan kepemimpinan bangsa yang mengedepankan sisi intrinsik, yaitu sisi kerendah-hatian, layanan, dan kejujuran. “Hasil dari kepemimpinan dengan sisi intrinsik adalah penghormatan dan kerelaan untuk bergerak bersama,” tambah Sudirman Said. “Para pemimpin formal dan informal, di publik, dan di privat serta di masyarakat sipil harus berlomba-lomba menimbulkan keluhuran budi, kejujuran, kepedulian pada sesama dan keikhlasan untuk membangun kesediaan berkorban untuk tumbuh bersama, ” ujar tokoh kemanusiaan yang juga Sekretaris Jendral PMI.
***

Narahubung: Yoga Setyo Wibowo (0877-3880-6407)

KedaiKOPI Luncurkan Gerakan Bantu 1 Senyum 1000, Kedermawanan Kunci Tangani COVID-19

Lembaga Survei KedaiKOPI (Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia) meluncurkan Gerakan Bantu Satu Senyum Seribu bersamaan Diskusi Publik bertajuk “Memprediksi Keampuhan PPKM Mikro Darurat”. Gerakan ini diperkenalkan Direktur Eksekutif Lembaga Survei KedaiKOPI, Kunto Adi Wibowo, Ph.D. Kunto mengatakan Gerakan Bantu 1 Senyum 1000 adalah untuk mengapresiasi setiap individu yang membantu sesama walaupun hanya membantu 1 orang untuk meringankan beban orang tersebut. “Bantuannya apa saja boleh, tidak harus uang, nanti mereka akan mengisi data di situs kita dan akan kami berikan PIN sebagai tanda apresiasi. Nanti akan kami luncurkan resmi, saat ini masih soft launch, dalam proses,” jelas Kunto.

Indonesia sendiri baru saja dinobatkan sebagai negara dengan tingkat kedermawanan tertinggi di Dunia oleh Charities Aid Foundation. Di dalam rilis berjudul World Giving Index 2021 tersebut menyebutkan bahwa 8 dari 10 masyarakat Indonesia menyumbangkan uangnya pada tahun 2021. Kedermawanan ini dapat menjadi kekuatan bagi masyarakat untuk melewati Pandemi COVID-19 ini. “Kedermawanan sudah menjadi kultur di Indonesia. Semakin sulit keadaan masyarakatnya, keinginan untuk menyumbang masyarakat lainya pun juga semakin tinggi” kata Sudirman Said, Sekjen Palang Merah Indonesia.

Oleh karena itu, di waktu yang sulit ini dengan terutama dengan adanya Pelaksanaan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat yang membatasi mobilitas dapat dijadikan momentum untuk bergerak bersama saling membantu satu sama lain. “Kini waktu yang tepat untuk bergandeng tangan, menguatkan solidaritas untuk melewati masa yang sulit ini. Ini bukan hal mustahil terlebih masyarakat kita ini memiliki sifat kolektif yang tinggi.” lanjut Sudirman.

Selain kedermawanan masyarakatnya, kunci untuk melewati masa PPKM Darurat ini juga harus pematuhan terhadap kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah. Namun, di sisi lain, kebijakan yang dikeluarkan pun juga harus memenuhi berapa syarat. “Kebijakan tersebut harus seragam, serentak, konsisten, serta dijadikan sebagai sebuah gerakan sehingga suasananya itu semacam suasana kebangkitan gerakan masyarakat, bukan sebuah kewajiban,” kata Sudirman.

Menciptakan suasana gerakan masyarakat ini menjadi kunci agar masyarakat memahami bahwa peran mereka sangat penting di masa seperti ini. Hal ini juga diamini oleh Arifin Purwakananta, Direktur Badan Amil dan Zakat Nasional (Baznas). Ia mengatakan bahwa perbedaan masyarakat kita dengan negara lain adalah motor terkuat justru ada di masyarakatnya. “Oleh karena itu, gagasan seperti Gerakan Bantu 1 Senyum 1000 harus didukung karena hal ini menunjukkan bahwa kita sama-sama dalam satu tim menghadapi pandemi ini” kata Arifin.

Pendapat ini juga didukung oleh Wida Septarina, Pendiri Foodbank Of Indonesia (FOI) yang menyatakan bahwa peran masyarakat yang membantu di kala Pandemi ini sangat bermakna. Keterlibatan tersebut dapat dilakukan di dalam berbagai bentuk, seperti ikut sebagai relawan atau membantu mendeteksi daerah mana yang sedang butuh bantuan.

“Mengingat bahwa keterlibatan masyarakat sangat penting, maka Gerakan Gerakan Bantu 1 Senyum 1000 dapat menjadi wadah bagi masyarakat untuk membantu dengan bentuk apapun di masa sulit seperti saat ini,” kata Wida.   

Oleh karena itu, gerakan seperti Gerakan Bantu 1 Senyum 1000 ini bisa wadah bagi masyarakat yang ingin membantu dan menghubungkan kepada mereka yang sedang membutuhkan. “Setiap krisis maupun bencana di Indonesia, yang menolong masyarakat ya masyarakat itu sendiri, oleh karena itu saya percaya Indonesia akan keluar dari krisis ini dengan kekuatan sosial yang luar biasa.” Sudirman mengakhiri.

Tentang PTM, BPKN : Keamanan Murid, Tenaga Pendidik, dan Lingkungan Sekolah Harus Jadi Prioritas

Siaran Pers

Jakarta, 24 Juni 2021

Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) menekankan bahwa keamanan murid, tenaga pendidik, dan lingkungan sekolah merupakan prioritas utama di dalam rencana Pemerintah Pusat di dalam mengembalikan proses pembelajaran secara tatap muka pada Juli 2021 nanti.

Hal tersebut disampaikan oleh Komisioner BPKN, Dr. Megawati Simanjuntak di dalam diskusi daring bertajuk “Mencari Yang Terbaik Bagi Pendidikan Indonesia Di Era Pandemi, Tatap Muka atau Tetap Daring?” yang diselenggarakan oleh Lembaga Survei KedaiKOPI, Kamis (24/6).

Rencana Pembelajaran Tatap Muka dapat dijalankan jika memenuhi beberapa syarat, seperti tenaga pendidik yang sudah divaksinasi, menjalankan protokol kesehatan ketat, berada di zona hijau, dan mendapat izin orang tua.

“Namun, titik kritis yang harus diperhatikan semua pihak adalah saat perjalanan siswa dari rumah, juga saat kembali ke rumah, dan sarana transportasi yang digunakan karena hal tersebut kurang bisa dikontrol oleh sekolah maupun orang tua,” lanjut Megawati.

Perlindungan terhadap murid, tenaga pendidik, dan lingkungan sekolah juga diamini oleh Syaiful Huda, Ketua Komisi X DPR RI yang merupakan mitra kerja Kemendikbudristek. “Untuk seluruh daerah Jawa dan zona merah di luar Jawa, jangan memaksakan Pembelajaran Tatap Muka karena kondisi saat ini tidak memungkinkan,” kata Syaiful Huda.

Syaiful Huda juga mengingatkan bahwa vaksinasi untuk tenaga pendidik merupakan syarat mutlak jika Pembelajaran Tatap Muka ingin dilaksanakan. “hingga saat ini, baru 20% tenaga pendidik di seluruh Indonesia yang sudah divaksinasi, itu masih jauh sekali capaian sehingga Kemendikbudristek jangan memaksakan Pembelajaran Tatap Muka.” lanjut Syaiful Huda.

dr. Daeng M Faqih, Ketua PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI) setuju bahwa vaksinasi terhadap tenaga pendidik merupakan hal wajib bagi berjalannya Pembelajaran Tatap Muka. “Bukan hanya itu, murid pun juga sudah harus divaksinasi karena saat ini vaksin sudah aman untuk anak-anak sehingga potensi terpapar pun menjadi lebih kecil,” kata dr. Daeng.

Pembelajaran Tatap Muka memang dinantikan oleh murid dan orang tua karena dalam pembelajaran secara daring selain memiliki keterbatasan teknologi, dan kemampuan orang tua dalam menggantikan posisi guru, dampak paling besarnya adalah learning loss.

“Murid akan cenderung kehilangan minat belajar atau learning loss karena adanya perbedaan situasi penerimaan pembelajaran, yang biasanya di sekolah kini hanya di depan gawai saja,” Megawati menambahkan.

Argumentasi ini juga didukung oleh Prof. Unifah Rosyidi, Ketua PB Persatuan Guru Republik Indonesia yang menyatakan bahwa learning loss merupakan salah satu hambatan utama dari pembelajaran secara daring.

“Oleh karena itu, penyesuaian kurikulum menjadi penting dilakukan agar materi pembelajaran dapat lebih mudah diterima oleh peserta didik dengan segala keterbatasan melalui daring,” kata Prof. Unifah.

Kesimpangsiuran mengenai informasi Pembelajaran Tatap Muka di Juli 2021 ini membuat bingung semua pihak. “Pemerintah Pusat seharusnya bisa menjelaskan secara gamblang dan memutuskan jadi atau tidaknya mengenai rencana ini agar masyarakat khususnya murid, orang tua, dan tenaga pendidik tidak kebingungan” kata Kunto Adi Wibowo, Ph.D., Direktur Eksekutif Lembaga Survei KedaiKOPI.

Ia menambahkan bahwa saat ini kecenderungan publik tidak mendukung rencana Pembelajaran Tatap Muka di Juli 2021 karena meningkatnya kasus positif di Indonesia yang semakin parah tiap harinya. “Dari hasil survei yang KedaiKOPI lakukan, sebanyak 59% tidak mendukung rencana ini, dan hanya 41% yang mendukung rencana ini” Kunto mengakhiri.

 

Selengkapnya, rekaman diskusi “Mencari Yang Terbaik Bagi Pendidikan Indonesia Di Era Pandemi, Tatap Muka atau Tetap Daring?”  dapat disaksikan dengan klik di sini

Rekaman Diskusi 

Hasil presentasi dari diskusi “Mencari Yang Terbaik Bagi Pendidikan Indonesia Di Era Pandemi, Tatap Muka atau Tetap Daring?” bisa di unduh di pranala berikut ini:

KedaiKOPI-Opini Publik Indonesia Sekolah PTM
BPKN-Kajian PTM

Survei KedaiKOPI : 84,8% Publik Putuskan Tidak Mudik Pasca Larangan Dari Pemerintah

Siaran Pers

Jakarta, 9 Mei 2021

Publik menyatakan tidak akan melakukan mudik setelah mengetahui adanya peraturan yang melarang kegiatan mudik di Lebaran 2021 ini. Sebanyak 84,8% responden menyatakan tidak akan melakukan mudik pada Lebaran 2021 ini. Hal ini terungkap dari survei yang diselenggarakan oleh Lembaga Survei KedaiKOPI pada 15-21 April 2021 lalu.

Peneliti Senior Lembaga Survei KedaiKOPI, Rizky Anggia, menyatakan, “Tingginya angka yang memutuskan untuk tidak melakukan mudik pasca mengetahui larangan dari pemerintah merupakan hal baik di dalam menekan penyebaran COVID-19 meski masih ada 10,0% responden yang masih ragu-ragu, dan 5,2% menyatakan akan tetap melakukan mudik di Lebaran 2021 ini.”

Survei ini juga mengungkapkan bahwa sebagian besar publik menyatakan kesetujuannya dengan adanya larangan mudik dari pemerintah. Sebanyak 60,5% responden menyatakan bahwa mereka setuju dengan adanya larangan, sedangkan ada 39,5% yang menyatakan tidak setuju dengan adanya larangan dari pemerintah ini.

Analis Komunikasi Politik, Hendri Satrio yang biasa disapa Hensat mengatakan, “Meski kesadaran masyarakat sudah tinggi mengenai COVID-19 yang terlihat dari respons masyarakat terhadap larangan mudik ini, namun pemerintah harus mewaspadai dibolehkannya pariwisata saat larangan mudik ini agar tidak menimbulkan kluster-kluster baru seperti halnya liburan-liburan sebelumnya selama masa pandemi ini”.

Hal ini diamini oleh Jurnalis Senior, Agus Rakasiwi menyatakan, “mungkin perlu ditekankan bahwa pemerintah masih harus terus mengkomunikasikan mengenai protokol kesehatan ini, dan juga mengkomunikasikan kebijakan secara lebih baik agar tidak menimbulkan kesimpangsiuran terutama mengenai permasalahan aglomerasi dan mudik lokal’.

“Alasan publik masih melakukan mudik pun beragam meski alasan rindu dengan keluarga di kampung dan pentingnya Silahturahmi masih menjadi alasan utama dengan 66,8%, diikuti oleh tujuan mudik yang masih satu provinsi dengan 9,7%, dan mudik asal masih mengikuti protokol kesehatan dengan 9,0%,” lanjut Rizky.

Sedangkan alasan tidak mudik di antaranya adalah masih tinggal di daerah yang sama (44,4%), adanya larangan pemerintah (16,8%), dan khawatir ada COVID-19 (12,9%).

“Namun, hanya 35,9% responden yang menyatakan akan mudik juga akan melakukan tes COVID-19 sebelum mudik, sedangkan 37,5% menyatakan tidak, dan 26,6% menyatakan mereka belum tahu. Sedangkan, untuk melakukan isolasi mandiri, 43,9% menyatakan tidak akan melakukan isolasi mandiri, sebanyak 36,5% menyatakan akan melakukan isolasi mandiri, dan 19,6% lainnya menyatakan belum tahu,” kata Rizky.

Selain itu, dari responden yang akan melakukan mudik di tahun ini, sebanyak 51,3% akan mudik pada minggu keempat Ramadhan, disusul akan melakukan mudik setelah lebaran sebanyak 14,4%, pertengahan Ramadhan sebanyak 14,3%, dan hari-h Lebaran 9,0%.

“Melihat hasil survei ini Pemerintah harus mewaspadai minggu-minggu akhir menuju Lebaran agar dapat menekan angka penyebaran COVID ini.” lanjut Agus.

Selain itu, perlu ada sinergi dari pemerintah dan masyarakat agar dapat memastikan tidak adanya kasus-kasus baru. “sinergi pemerintah dan masyarakat menjadi kunci dalam menyelesaikan permasalahan ini. Pada dasarnya masyarakat akan menurut dengan kebijakan pemerintah, oleh karena itu pemerintah harus bisa mengkomunikasikan secara baik kebijakannya” kata Hensat.

Survei ini diselenggarakan oleh Lembaga Survei KedaiKOPI dengan menggunakan metode face to face interview kepada 1215 responden yang berada di 34 provinsi. Survei ini dilaksanakan pada 15 – 21 April 2021 lalu dengan Margin of Error ± 2.81% pada interval kepercayaan 95.0%.

Hasil survei selengkapnya bisa didapatkan di sini

Survei KedaiKOPI : Zulkieflimansyah Teratas di Timur, Anies Baswedan Tertinggi di Barat

Jakarta, 6 Mei 2021

Siaran Pers

Gubernur Nusa Tenggara Barat, Zulkieflimansyah dan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan merupakan kepala daerah dengan elektabilitas tertinggi di masing-masing bagian Indonesia menuju Pemilihan Presiden 2024 nanti. Hal tersebut terungkap dari survei yang diselenggarakan oleh Lembaga Survei KedaiKOPI yang diselenggarakan pada 10 – 19 April 2021 lalu.

Direktur Eksekutif Lembaga Survei KedaiKOPI, Kunto Adi Wibowo, Ph.D. mengungkapkan, “nama Zulkieflimansyah mendapatkan nilai tertinggi di antara kepala daerah dari Indonesia Timur dengan nilai 20,8%, diikuti dengan Gubernur Bali, I Wayan Koster dengan 15,2%, dan Gubernur Kalimantan Timur, Isran Noor dengan 12,3%,”

Sedangkan di untuk Indonesia Barat, Anies Baswedan mendapatkan nilai tertinggi dengan 38,2%, diikuti oleh Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo dengan nilai 29,0%, Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil 21,0%, Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa (9,6%), dan Gubernur Sumatera Barat, Mahyeldi Ansharullah (2,2%).

Kunto menambahkan bahwa survei ini juga mengulik pendapat masyarakat mengenai tokoh dari Indonesia Timur. “nama mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla menjadi tertinggi dengan 35,5%, lalu ada Mantan Ketua KPK, Abraham Samad dengan 24,8%, diikuti Mantan Wakil Wali Kota Palu, Pasha Ungu dengan 11,3%, Fahri Hamzah dengan 9,7,%, Zulkieflimansyah dengan 9,6%, dan Mantan Gubernur NTB, TGB Muhammad Zainul Majdi dengan 4,9%.” ungkap Kunto.

Survei ini juga mengungkapkan kombinasi ideal capres-cawapres pilihan masyarakat. Kombinasi militer dan sipil menjadi pilihan utama (41,0%), diikuti oleh sipil-militer (25,2%), sipil-sipil (22,1%), dan militer-militer (11,7%).

Analis Komunikasi Politik, Hendri Satrio mengungkapkan bahwa hasil survei ini bisa menjadi pertanda bahwa akan ada tokoh dari Indonesia Timur di Pilpres 2024 terutama setelah kehadiran Jusuf Kalla di pilpres-pilpres sebelumnya.

“Minimal sebagai Cawapres. Mengacu pada hasil survei yang banyak menginginkan kombinasi Militer-Sipil atau Sipil-Sipil, sangat mungkin nama seperti Zulkiflimansyah atau tokoh masyarakat lain seperti Abraham Samad dan TGB Zainul Majdi muncul sebagai kandidat kuat Cawapres yang datang dari Timur Indonesia.” ungkap Hendri yang biasa disapa Hensat.

Selain itu, terdapat nama dan mantan menteri atau setingkat menteri yang muncul di dalam survei ini. “Susi Pudjiastuti mendapatkan nilai tertinggi dengan 22,2%, diikuti dengan Mahfud MD 17,8%, Gatot Nurmantyo 16,7%, lalu ada Erick Thohir 16,1%.” lanjut Kunto.

Hendri menambahkan bahwa para pejabat dan mantan pejabat ini akan memiliki peluang mengisi panggung politik 2024. “Terlebih mereka masih memiliki panggung politik yang lebih panjang dibanding beberapa Kepala Daerah yang akan selesai masa jabatannya di 2022 dan 2023. Jadi nama-nama seperti Susi Pudjiastuti, Sudirman Said, Erick Thohir, Mahfud MD, tokoh oposisi Gatot Nurmantyo tidak bisa dikesampingkan. Belum lagi para tokoh TNI/Polri yang muncul di survei sebelumnya seperti Tito Karnavian, Budi Gunawan, Boy Rafli, atau Doni Monardo.” kata Hensat.

Survei Peluang dari Timur diselenggarakan oleh Lembaga Survei KedaiKOPI dengan menggunakan metode face to face interview kepada 1215 responden yang berada di 34 provinsi. Survei ini dilaksanakan pada 10 – 19 April 2021 lalu dengan Margin of Error ± 2.81% pada interval kepercayaan 95.0%.

Saksikan peluncuran survei hanya di laman YouTube Refly Harun dan dapatkan hasil survei selengkapnya di sini