Tag Archive for: perempuan

Hensat: Mahasiswa Sebagai Agen Perubahan Kritikannya Amat Dibutuhkan Bangsa ini Untuk Lebih Baik

JAKARTA – Keterlibatan perempuan dalam perhelatan pesta demokrasi 2024 dinilai belum maksimal, meski undang-undang pemilu mengamanatkan kuota caleg perempuan sebesar 30 persen.

Hal tersebut diungkapkan Ketua Korps PMII Putri UBK, Alda Zelfiana dalam orasi kebangsaannya di acara diskusi OTW 2024 yang mengambil tema “Anies-Muhaimin Deklarasi, Selanjutnya Siapa Lagi?” di Jakarta, Kamis 7 September 2023.

Alda mengatakan ketentuan tersebut secara realitas tidak terlaksana, oleh karena itu perjuangan atas keterwakilan perempuan harus terus diperjuangkan. Ia juga mengatakan bahwa sistem pemilu terbuka sudah tepat dan patut didukung.

Analis komunikasi politik Hendri Satrio mengatakan hadirnya tokoh perempuan dan pemenuhan keterwakilan perempuan dalam pemilu 2024 akan membawa manfaat bagi dunia politik nasional. Terlebih keterwakilan perempuan melalui kuota caleg telah diatur oleh undang-undang.

Hensat mengapresiasi orasi kebangsaan aktivis perempuan PMII tersebut, “Suara mahasiswa sebagai agen perubahan amat dibutuhkan bagi bangsa ini. Kritikan yang diajukan mahasiswa menjadi vitamin bagi langkah republik ini ke depan,” tambahnya.

Kegiatan diskusi tersebut menampilkan narasumber Masinton Pasaribu (Politikus PDIP), Habiburokhman (Politisi Gerindra) dan R. Siti Zuhro (Pengamat Politik BRIN). ***

Survei KedaiKOPI : Perempuan Mendukung Pengesahan RUU P-KS

Siaran Pers

Jakarta, 17 Maret 2021

Dalam rangka menyambut Hari Perempuan Internasional, Lembaga Survei KedaiKOPI meminta opini perempuan di lima kota besar Indonesia tentang Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS). Sebanyak 87,8% responden menyatakan bahwa mereka mendukung pengesahan RUU P-KS oleh Pemerintah dan DPR-RI.

Peneliti Senior Lembaga Survei KedaiKOPI, Rizky Anggia Nursanti, mengatakan “tingginya dukungan yang diberikan oleh perempuan terhadap proses pengesahan RUU P-KS merupakan representasi dari harapan perempuan mengenai perlindungan dari kekerasan seksual yang selama ini lebih banyak menyasar kepada perempuan sebagai korban”. Hanya 4,0% responden yang menjawab tidak mendukung pengesahan RUU P-KS, dan 8,2% lainnya menyatakan tidak tahu.

Dukungan yang besar terhadap pengesahan RUU P-KS didasari oleh banyak hal, sebanyak 61,8% responden menjawab adanya jaminan atas perlindungan hukum, 32,8% responden menyatakan bahwa RUU P-KS ini mendukung adanya kesetaraan gender. Sedangkan alasan responden yang menyatakan tidak mendukung RUU P-KS di antaranya aturan hukum yang sudah ada sudah cukup sebanyak 93,8% dan agenda liberalisasi di masyarakat sebanyak 6,2%. Rizky menambahkan “besarnya alasan responden yang mendukung RUU P-KS atas dasar alasan perlindungan hukum, menunjukkan bahwa banyaknya perempuan yang masih merasa hukum yang berlaku belum melindungi mereka secara menyeluruh dari kekerasan seksual.”

Menurut Wakil Ketua Komisi VIII DPR-RI, Diah Pitaloka, dalam catatan sejarah gerakan perempuan itu memang tidak pernah mudah, dan disitulah maka harus bertahan. “Memang nggak ada yang otomatis gitu, kita di tengah perjuangan ini, dan sinilah kita mencari dukungan lebih banyak, mencari sumber literasi, kita mencari argumentasi, kita berupaya untuk mematahkan stigmatisasi. Disitulah gitu effort-nya gitu ya, jangan dipahami ini sebagai satu hal yang iya atau tidak. Pahamilah ini sebagai satu perjuangan yang membutuhkan kehadiran kita dan satu catatan saya kekerasan seksual itu bukan hal yang baik, jadi saya pikir di titik itu everybody I agree,” katanya.

Survei ini juga mengungkap mengenai pengalaman kekerasan seksual yang dialami oleh para responden. Sebanyak 91,2% menyatakan tidak pernah mengalami kekerasan seksual di tempat umum, kerja ataupun sekolah. Sedangkan 8,8% menyatakan pernah mengalami kekerasan seksual di tempat tersebut. “hanya 8,8 % responden yang menjawab mereka mengalami kekerasan seksual itu merupakan pertanda masih banyaknya perempuan yang belum memahami pengertian dari kekerasan seksual itu sendiri,” kata Rizky.

Kalis Mardiasih pun mengamini hal tersebut, Ia juga mengungkapkan bahwa tidak semua masyarakat mengerti mengenai kekerasan seksual apalagi mengenai RUU ini, bahkan dari kultur masyarakat yang belum ramah bagi perempuan itu sendiri. “Secara umum kita hidup di dalam masyarakat yang memandang tubuh perempuan itu sebagai fitnah laki-laki, memandang tubuh perempuan itu sebagai ujian laki-laki. Kita ini kan mau mereformasi, baik secara kultural maupun secara struktural gitu, tetapi ada kepala nih yang menganggap dirinya superior yang merasa berhak mempunyai power dan kuasa untuk merendahkan perempuan gitu,” tuturnya

Kemudian, responden yang pernah mengalami tindak kekerasan seksual yang melaporkan kejadian tersebut hanya 65,7%. Mereka melaporkannya ke berbagai pihak seperti orang sekitar (43,5%), aparat (26,1%) orang tua (21,7%), guru (21,7%), keluarga (8,7%), rekan kerja (4,3%), dan atasan (4,3%). Di sisi lain, sebanyak 34,3% yang mengalami tindak kekerasan seksual menyatakan bahwa mereka tidak melaporkan kejadian tersebut. Alasan mereka tidak melaporkan di antaranya merasa tidak perlu melapor (16,7%), pelaku sudah dihakimi massa (16,7%), takut (16,7%), takut dengan pandangan orang, diancam oleh pelaku, merasa percuma dan tidak memberi alasan, masing-masing 8,3%.

Rahayu Saraswati juga mengungkapkan bahwa masih banyak yang tidak mengerti bahwa apa yang mereka alami itu adalah kekerasan seksual, apalagi meliputi kekerasan seksual secara verbal maupun juga secara psikis, itu banyak yang belum mengerti antara kekerasan seksual dengan hal-hal yang dialami. Jadi memang pendidikan ini masih sangat dibutuhkan. Ia juga mengungkapkan bahwa perlu adanya perlindungan yang terbaik bagi korban, dan tidak hanya hukuman bagi pelaku tetapi rehabilitasi, sehingga ketika kembali ke masyarakat tidak akan terulang kembali.

Untuk kedepannya Iwan merasa optimis dapat memberikan literasi kepada masyarakat dan sudah merupakan tugasnya. “Jadi itu tugas yang bisa kita lakukan masing-masing untuk memberikan dukungan kepada RUU P-KS ini. Bahwa memang masih banyak masyarakat yang kurang memahami apa yang dimaksud dengan kekerasan seksual, saya pikir itu tugas kita bersama. Dengan melakukan itu di lingkungan masing-masing, maka kita juga sudah memberikan dukungan kepada Ibu Diah dan teman-teman mengesahkan RUU P-KS ini,” pungkasnya.

Survei Opini Perempuan ini diselenggarakan oleh Lembaga Survei KedaiKOPI dalam rangka menyambut Hari Perempuan Internasional 2021. Survei ini diselenggarakan pada tanggal 06-08 Maret 2021 dengan menggunakan telepon (telesurvei) kepada 400 responden perempuan yang berada di daerah Jabodetabek, Surabaya, Bandung, Medan, dan Makassar. Responden survei berasal dari panel survei Lembaga Survei KedaiKOPI dari Maret 2018 – Maret 2021 yang berjumlah 1360 orang, dengan kriteria berjenis kelamin perempuan. Dengan demikian, tingkat respons (response rate) telesurvei adalah sebesar 29,4%.

Hasil Survei Selengkapanya hanya di sini

Survei KedaiKOPI : Kata Perempuan, Peran Pemerintah Masih Kurang Dalam Perubahan Iklim

Siaran Pers

Jakarta, 15 Maret 2021 – Perempuan Indonesia berpendapat bahwa peranan pemerintah dalam menanggulangi perubahan iklim masih kecil. Sebanyak 55,7% responden menyatakan peran pemerintah kecil, sedangkan 39,0% menyatakan sedang, dan 5,3% lainnya menyatakan peran pemerintah sudah besar. Hal tersebut terungkap di dalam Survei Opini Perempuan yang diselenggarakan oleh Lembaga Survei KedaiKOPI di lima kota besar Indonesia dalam rangka menyambut Hari Perempuan Internasional.

Direktur Lembaga Survei KedaiKOPI, Latifani Halim mengatakan “Opini perempuan yang menyatakan peran pemerintah masih kecil di dalam penanggulangan perubahan iklim merupakan peringatan untuk pemerintah agar lebih berperan proaktif dalam menangani masalah iklim ini”.

Terlebih, hanya 12,7% responden saja yang merasa UU Omnibus Law Cipta Kerja akan mengurangi dampak dari perubahan iklim. Padahal salah satu poin utama yang di bahas UU tersebut adalah penanggulangan perubahan iklim. Sedangkan, 56,0% responden lainnya merasa akan sama saja, dan 31,3% justru merasa UU tersebut akan memperburuk.

Di sisi lain, sebagian besar responden menyatakan bahwa mereka percaya dengan adanya perubahan iklim. Hal tersebut dapat terlihat dari 67,5 % menyatakan percaya dan hanya 32,5% lainnya yang menyatakan tidak percaya. “Hal tersebut merupakan sebuah hal positif karena masyarakat sudah sadar bahwa perubahan iklim benar terjadi” Kata Latifani.

Responden yang percaya perubahan iklim melihat hal tersebut dari adanya perubahan pada cuaca yang berubah-ubah (60,7%), lalu percaya saja karena memang terjadi (9,3%), terjadi cuaca ekstrem (8,1%), dan terjadi bencana alam seperti banjir, longsor, gunung Meletus (6,3%).

Sedangkan bagi mereka yang tidak percaya beralasan bahwa masih sama seperti yang dahulu (35,7%), iklim Indonesia yang hanya dua saja (24,8%), cuaca susah ditebak (15,5%), dan karena merasa tidak perubahan (8,5%).

Namun, di sisi lain, sebagian besar responden justru percaya bahwa perubahan iklim disebabkan oleh fenomena alam. Sebanyak 57,0% menyatakan demikian. “Sedangkan hanya 35,0% responden saja yang menjawab bahwa perubahan iklim disebabkan oleh manusia, dan 8,0% lainnya menyatakan tidak tahu.” tutur Latifani.

Di samping itu, sebanyak 74,9% responden merasa tidak akan merasakan langsung dampak dari perubahan iklim yang terjadi di Indonesia. Untuk 25,1% lainnya, menjawab akan merasakan secara langsung karena mereka sudah melihat banjir karena curah hujan yang tinggi (27,0%), menghambat aktivitas sehari-hari (24,0%), harus beradaptasi dengan lingkungan (12,0%), lingkungan jadi tercemar (10,0%), terjadi penurunan Kesehatan (8,0%), dan cuaca yang berubah-ubah (8,0%).

Hasil survei di atas menunjukkan bahwa penanggulangan perubahan iklim merupakan kerja bersama. “Pemerintah harus lebih proaktif dalam menggencarkan kebijakan-kebijakan yang bertujuan melindungi lingkungan, dan untuk masyarakat harus lebih menyadari bahwa kerusakan dan perubahan iklim ini disebabkan oleh manusia, bukan alam.” tutur Latifani.

Oleh karena itu, peran perempuan di dalam usaha menjaga lingkungan pun semakin besar. “Perempuan Indonesia bisa menjadi garda terdepan untuk menyelamatkan iklim kita dengan menyuarakan kepedulian kepada masyarakat untuk menjaga iklim kita demi masa kini dan yang akan datang”. kata Latifani.

Survei Opini Perempuan ini diselenggarakan oleh Lembaga Survei KedaiKOPI dalam rangka menyambut Hari Perempuan Internasional 2021. Survei ini diselenggarakan pada tanggal 6-8 Maret 2021 dengan menggunakan telepon (telesurvei) kepada 400 responden perempuan yang berada di daerah Jabodetabek, Surabaya, Bandung, Medan, dan Makassar. Responden survei berasal dari panel survei Lembaga Survei KedaiKOPI dari Maret 2018-Maret 2021 yang berjumlah 1360 orang, dengan kriteria berjenis kelamin perempuan. Dengan demikian, tingkat respons (response rate) telesurvei adalah sebesar 29,4%.

Dapatkan hasil lengkapnya di sini